Senin, 21 April 2008

Pariwisata Budaya (Orasi Ilmiah)

Pariwisata Budaya
dan Arkeologi Pariwisata di Sumatera




Oleh: DR. Herwandi, M. Hum




Yth. Rektor / Ketua Senat, dan para Pembantu Rektor Universitas Andalas,
Yth. Kepala Dinas Pariwisata Seni dan Budaya (Parsenibud) Provin-si Sumatera Barat,
Yth. Kepala Museum Adityawarman, Provinsi Sumateara Barat,
Yth. Kepala Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala (SPSP) Sum-bar-Riau,
Yth. Kepala Balai Kajian Sejarah dan Nilai-Nilai Tradisional (BKSNT), Provinsi Sumatra Barat,
Yth. Para Bupati / Wali Kota Derah Tk. II dan Kepala Dinas Pariwi-sata Seni dan Budaya (Parsenibud) Kabupaten dan Kota se-Sumatera Barat.
Yth. Para Dekan dan Pembantu Dekan di Lingkungan Universitas Andalas,
Yth. Dekan Fakultas Sastra Universitas Bung Hatta,
Yth. Dekan Fakultas Sastra Universitas Negri Padang,
Yth. Dekan Fakultas Adab IAIN Imam Bonjol,
Yth. Dekan, Para Pembantu Dekan (PD), seluruh anggota senat, dan staf pengajar Fakultas Sastra Universitas Andalas,
Yth. Para Undangan dan hadirin seluruhnya,
Izinkan saya dalam acara yang penuh kebahagiaan ini terle-bih dahulu: memanjatkan puji syukur ke hadirat Allah SWT, kare-na atas limpahan rahmat dan atas izinan-Nya-lah saya diperkenan-kan berdiri di sini saat ini; dan menghadiahkan salawat dan salam ke pada Nabi Muhammad SAW, manusia sempurna yang dengan ilmu dan hidayahnya telah merubah dunia kearah yang lebih baik.
Izinkan juga saya mengucapkan terima kasih kepada jajaran pimpinan Fakultas Sastra Universitas Andalas yang telah memberi-kan kesempatan kepada saya dalam orasi ilmiah ini untuk menyam-paikan beberapa pokok fikiran dalam rangka dies natalis Fakultas Sastra Universitas Andalas yang kita cintai ini.
Orasi ini diberi judul dengan “Pariwisata Budaya dan Arkeo-logi Pariwisata di Sumatera”, judul yang sangat luas tetapi di dalam-nya terselip opini yang sederhana sekali.

Hadirin yang saya muliakan,
Terlebih dahulu saya akan menguraikan selintas tentang kon-sep pariwisata dan hal-hal yang mengitarinya, agar kita memiliki pe-mahaman yang seragam dalam memahami uraian-uraian berikutnya.
Istilah pariwisata dapat disamakan artinya dengan istilah tourism di dalam bahasa Inggris, yang mempunyai hubungan dekat dengan istilah tour dan tuorist dalam bahasa yang sama: Tour adalah kata kerja yang berarti perjalanan, raun-raun, mengadakan turne, dan berpariwisata; tourist adalah subjek, orang yang melakukan ke-giatan tour; sedangkan tourism kata benda yang dapat diartikan se-bagai hal yang menyangkut kepariwisataan (Echols & Shadily 1976: 599). Berpijak pada pengertian ini kelihatan istilah tourism memi-liki cakupan yang sangat luas. Kepariwisataan dapat saja mengenai wisatawan, akomodasi, transportasi, objek wisata, pelaksana, penge-lola kepariwisataan, keamanan, bahkan konsepsi tentang kepariwisa-taan yang hendak dikembangkan dan lain-lain yang memiliki keter-kaitan dengan pariwisata tersebut. Karena begitu luasnya maka tidak memungkinkan bagi saya untuk mengupas masalah kepari-wisataan secara lengkap dalam waktu dan jumlah halaman yang ter-batas. Oleh sebab itu saya hanya menfokuskan untuk melihat bagian tertentunya saja, yaitu tentang sumber daya manusia yang melaksa-nakan dan mengelola kepariwisataan.
Sejauh ini, di Indonesia paling tidak telah dikembangkan tiga jenis pariwisata, yaitu pariwisata alam, priwisata konvensi, dan pari-wisata budaya. Pariwisata alam adalah pariwisata yang mengandal-kan keindahan alam, pariwisata konvensi adalah yang dipadukan de-ngan kegiatan-kegiatan konvensi seperti rapat-rapat, seminar, perte-muan-pertemuan baik yang bersifat nasional, regional, dan interna-sional, sedangkan wisata budaya lebih mengandalkan kepada kein-dahan budaya daerah setempat (Ave 1987), yang dapat saja menge-depankan 3 wujud kebudayaan yang ada di setiap daerah (wujud ma-terial, perilaku, dan ideal). Meskipun begitu, selain dari tiga jenis tersebut sebetulnya sudah dikembangkan juga bentuk agro-tourism yaitu suatu kegiatan periwisata yang mengandalkan dan menyuguh-kan tentang kegiatan pertanian, atau wisata bahari yang mengan-dalkan objek-objek wisata kelautan. Sesungguhnya saat ini semua jenis tersebut telah dijalankan di Indonesia.

Hadirin sekalian,
Sumatera adalah kawasan yang sangat potensial untuk pe-ngembangan semua jenis pariwisata itu, karena memiliki modal dasar yang memadai untuk hal tersebut. Alamnya bergunung-gu-nung dan berlembah-lembah, di sana-sini ada danau yang memiliki panorama yang indah menjadi daya pikat untuk dijadikan sebagai daerah wisata alam dan agro-tourism, sebutlah misalnya Gunung Leuser, Brastagi, Danau Toba, Bukittinggi dan Danau Maninjau, Danau Singkarak, danau Diateh dan Dibawah, Kayu Aro, Kerinci dan lain-lain. Kota-kotanya yang nyaman, unik dan khas dapat digu-nakan sebagai tempat dilaksanakan konvensi baik berskala nasional, regional, maupun internasional, seperti Kota Sabang, Banda Aceh, Medan, Toba, Bukittinggi, Padang, Pakan Baru, Jambi, Palembang, Bengkulu dan beberapa kota lain yang tak sempat disebutkan. Ma-sing-masingnya memiliki kekhasan tersediri. Selanjutnya, yang sa-ngat berharga adalah Sumatera memiliki kekayaan budaya yang be-lum begitu “terapungkan” sebagai objek wisata. Kawasan ini secara kulturil memiliki kesaragaman di samping keberagaman. Keseraga-man budaya Sumatera barangkali dapat ditelusuri dari latar belakang sejarah budaya Melayu yang sudah memasuki daerah ini semenjak pra-sejarah yang lalu, sehingga wajar saja kalau saat ini muncul istilah Melayu Aceh, Melayu Deli, Melayu Riau, Melayu Minang (Padang), Melayu Jambi, Melayu Palembang, dan lain-lain, yang sesungguhnya di dalamnya tersirat suatu keseragaman (homogen) yang mampu menjadi elemen perekat antara satu dengan yang lain. Sebaliknya di dalam keseragaman itu ternyata masing-masing dae-rah memiliki keunikan tersendiri. Pendek kata, keindahan alam dan kebudayaan Sumatera adalah modal dasar yang sangat berharga un-tuk dijadikan sebagai objek wisata, saat ini dan akan datang.
Sehubungan dengan itu, khusus untuk wilayah Sumatera Ba-rat, tidak asing lagi bagi kita bahwa alam Minangkabau yang elok ini sudah dikenal oleh wisatawan di penjuru dunia, karena telah di-kunjungi oleh beberapa bangsa dari mancanegara. Tetapi sayangnya Sumatera Barat belum mampu mengoptimalkan diri sebagai kawa-san tujuan wisata. Berdasarkan data tahun 1986 kawasan ini hanya menduduki rangking ke 6 di Indonesia sebagi daerah tujuan wisata (Ave 1987). Perlu juga dicatat bahwa sampai tahun 1994, untuk wi-layah Sumatera, Sumatera Barat masih berada di bawah Sumatera Utara. Pada tahun 1994 Sumatera Utara dikunjungi oleh 206.599 wi-satawan mancanegara, sedangkan Sumatera Barat kurang dari sepa-ruhnya, hanya sebanyak 92.634 orang wisatawan (Sammeng 1996: 38-39).

Hadirin sekalian
Barangkali tak perlu dipungkiri pariwisata Indonesia, teruta-ma kawasan Sumatera (apalagi Sumatera Barat) dapat mengandal-kan sektor pariwisata budaya. Boleh jadi sektor ini dapat dikedepan-kan mengingat Sumatera kaya akan aneka kebudayaannya. Kekaya-an, keindahan dan kualitas budayanya menjadi modal utama untuk memikat wisatawan, sehingga bermuara meningkatnya kunjungan wisatawan ke daerah ini. Untuk mencapai semaksimal mungkin tuju-an tersebut diperlukan tenaga-tenaga yang mampu mengelola secara memadai kegiatan kepariwisataan tersebut, yang selama ini menjadi kendala tersendiri bagi kemajuan kepariwisataan di kawasan ini.

Hadiri yang saya muliakan,
Sebelum melanjutkan ke pembicaran berikutnya izinkanlah saya menceritakan secuil pengalaman saya berwisata budaya ke be-berapa tempat di Sumatera, yang mungkin dapat menggambarkan sedikit kondisi kepariwisataan di daerah ini saat ini.
Berapa kali saya melakukan perjalanan ke daerah-daerah wi-sata di Sumatera, baik sebagai seorang dosen pembimbing kuliah la-pangan, sebagai mahasiswa ataupun dalam kapasitas sebagai wisa-tawan domestik. Pada tahun 1996 saya bersama mahasiswa SKI-Fak. Adab IAIN Imam Bonjol ke Propinsi Aceh. Dalam perjalaan kami sempat singgah di Pulau Samosir, Danau Toba Sumatera Utara. Kemudian semejak akhir 1995 sampai 1998, hampir setiap ta-
hun saya bersama mahasiswa (kadang kala dari Jurusan Sejarah Fak. Sastra UNAND, dan kadang bersama mahasiswa SKI- Fak Adab IAIN) ke berbagai objek wisata Sumatera Barat, seperti di sekitar Padang, Pariaman, Tanah Datar dan Limapuluh Kota. Setidaknya saya telah mengunjungi sejumlah objek wisata (berupa peninggalan sejarah dan purbakala) di daerah-daerah itu. Dari pengalaman terse-but ada beberapa hal yang masih segar dalam ingatan. Di pulau Sa-mosir tepatnya di Tok-Tok kebetulan kami sempat mengunjungi su-atu objek wisata berupa beberapa hasil kebudayaan megalitis, salah satunya adalah kubur batu berbentuk konstruksi rumah adat tradi-sional Batak yang di bagian ujungnya terdapat patung manusia. Di sekitar kubur terdapat patung-patung lain seperti patung sapi dan be-berapa patung manusia, yang semuanya tersusun sedemikan rupa se-akan menggambarkan suatu prosesi ritual keagamaan dan menyirat-kan simbol tertentu. Sedangkan di Aceh sempat juga mengunjungi beberapa objek wisata peninggalan sejarah Islam, bekas peninggalan masa kerajaan Islam Samudera Pasai dan Aceh Darussalam berupa kubur, nisan-nisan yang penuh dengan bungong kalimah (kaligrafi Arab) . Di Limapuluh Kota dan Tanah Datar serta daerah sekitarnya saya telah mengunjungi beberapa peninggalan tradisi megalitik, pra-sasti-prasasti, bangunan-bangunan ibadah tradisional, dan beberapa makam-makam kuno Islam, yang umumnya berada di luar gedung (alam lepas). Di samping mengunjungi objek-objek wisata di luar gedung, kami juga mengunjung beberapa museum, yang di dalam-nya banyak di pajang benda-benda budaya.
Kunjungan-kunjungan seperti itu tetap berlanjut selang bebe-rapa tahun kemudian. Khususnya ke Propinsi Aceh kunjungan kepa-da sebagian objek yang sama berulang kembali pada tahun 2000, ketika melakukan penelitian untuk penulisan disertasi.
Tidak jauh berbeda dengan maksud di atas, saya juga telah menyaksikan beberapa objek wisata budaya di pulau Jawa, mulai da-ri Jawa Barat sampai ke daerah Jawa Timur. Meskipun ada kesan kondisi di pulau jawa agak lebih baik jika dibandingkan dengan di Sumatera namun secara esensial permasalahannya tidak jauh ber-beda.

Hadirin sekalian,
Beberapa pertanyaan telah dilontarkan oleh wisatawan kepa-da peramu wisata dan juru kunci (meminjam istilah yang dijumpai di pulau Jawa untuk orang-orang yang ditunjuk menjaga dan menjelas-kan hal-hal mengenai objek wisata tersebut). Sajauh itu peramu wi-sata dan juru kunci hanya mampu menjawab beberapa hal saja tanpa memuaskan. Hal senada juga dijumpai di setiap tempat, bahkan di sebagian besar tidak ditemukan orang-orang yang dapat memberikan keterangan meskipun secuil.
Yang sangat menyedihkan, umumnya museum-museum di kawasan Sumatera tidak memiliki koleksi yang memadai, sehingga kadang-kala tidak dapat diharapkan untuk mempelajari perkemba-ngan sejarah dan kebudayaan di derah tersebut. Di beberapa muse-um bahkan terkesan hanya menyuguhkan benda pajangan yang se-betulnya tidak layak dijadikan sebagi koleksi museum , sebab secara esensial koleksi museum tersebut adalah benda-benda yang dibuat pada suatu saat pada masa lalu, dan memiliki nilai kesejarahan. Di beberapa museum yang dijumpai malah sebaliknya, objeknya lebih banyak menyuguhkan benda-benda yang sungguhnya tidak memiliki nilai kesejarahan. Sehingga telah merubah hakekat dan fungsi se-sungguhnya museum itu sendiri.
Selanjutnya di beberapa tempat, beberapa objek wisata telah mengalami perubahan sangat menyolok, ada di antaranya yang ditata dan dibuat seindah mungkin tanpa memperhatikan keaslian benda-benda tersebut. Di Banda Aceh saya menemukan beberapa objek wi-sata yang telah diperbaiki, direhabilitasi, tetapi sangat merusak ter-hadap keorisionalan objek wisata, sehingga di antaranya sudah kehi-langan “greget” yang bernilai tinggi bagi penikmatnya. Di daerah ini saya menjumpai beberapa objek wisata yang telah mengalami keru-sakan karena salah urus, sebutlah misalnya makam-makam di Kan-dang XII dan Makam Keumalahayati. Beberapa jirat dan nisan di kompleks Kandang XII (Kompleks pemakaman 12 orang Sultan Ke-rajaan Aceh Darussalam) telah rusak karena diplaster dengan semen secara serampangan, dan nisan di makam Keumalahayati yang dicat sedemikian rupa sehingga menghilangkan beberapa hiasan dan in-skripsi bungong kalimah yang ada di makam tersebut. Salah urus ini juga dijumpai di beberapa objek wisata di Samosir. Konon kha-barnya beberapa benda-benda objek wisata tersebut sengaja dikum-pulkan, sehingga meskipun sebelumnya masih in situ kemudian se-ngaja dicopot dan dipindahkan ketempat yang diinginkan. Salah urus tersebut ternyata juga melanda Sumatera Barat. Batu Malin Kundang di Pantai Air Manis telah didandani seindah mungkin, sehingga me-robah bentuk dan tekstur batu Malin Kundang. Begitu juga Rumah Kampai Nan Panjang di Balimbing (Tanah Datar) yang ternyata su-dah dilengkapi dengan wc (water close) yang sebetulnya secara tra-disional tidak pernah dijumpai di rumah gadang Minangkabau.
Hal demikian hanyalah secuil contoh yang menggambarkan betapa kepariwisataan dikelola dengan tidak baik. Persoalan seperti itu merupakan potret kondisi pariwisata di kawasan yang dikunjungi, dan barangkali tidak jauh berbeda kondisinya di hampir seluruh pelosok Indonesia.

Hadirin sekalian,
Di sisi lain, seiring dengan perkembangan politik secara na-sional telah terjadi perubahan dahsyat di dalam kebijakan pengelo-laan kepariwisataan di Indonesia. Seiring dengan otonomi yang di-serahkan kepada daerah Kabupaten dan Kota, maka setiap Kabupa-ten dan Kota akan mengelola kepariwisataan secara otonom. Hal de-mikian jelas akan terjadi “balapan”, saling berlomba antara Kabupa-ten dan Kota untuk meningkatkan kualitas pengelolaan dan pelaya-nan terhadap objek-objek wisata yang sudah ada, dan berusaha membuat, mendisain, menata, dan menciptakan objek-objek wisata yang baru.
Hal seperti itu, akan memunculkan kondisi yang benar-benar sangat riskan. Tidak terbayangkan apa yang akan terjadi apabila ke-pariwisataan di tingkat Kabupaten dan Kota telah dikelola oleh orang-orang yang sebetulnya memiliki kendala wawasan kepariwi-sataan, kurangnya jam terbang (mengingat juga selama ini proyek pariwisata sering dikelola langsung dari tingkat Propinsi), dan hanya berorientasi proyek dalam mengolah dan mengelola dunia pariwi-sata, apalagi yang sangat penting, tidak faham dengan masalah tek-nis-metodologis yang memenuhi standar keilmiahan. Kondisi seperti itu akan menghancurkan terhadap objek wisata, yang justru lebih ba-ik dibiarkan begitu saja dari pada diasak-usik oleh orang yang tidak mengerti dengan pekerjaan mereka. Dapat diperkirakan pariwisata Indonesia masa datang akan mengalami salah kaprah dan merusak secara lambat laun terhadap objek wisata.
Oleh sebab itu pada gilirannya, setiap Kabupaten dan Kota harus menyediakan “praktisi”, pegawai yang mampu menjadikan Kabupaten dan Kota mereka menjadi daerah tujuan wisata, sekaligus memiliki wawasan tentang kepariwisataan yang tepat guna tanpa merusak kepentingan-kepentingan yang jauh lebih besar dari pa-riwisata tersebut.

Hadirin sekalian,
Apa yang terjadi pada makam-makam di Kandang XII Banda Aceh yang telah diplasteri dengan semen, Batu Malin Kundang di Pantai Air Manis Padang yang telah diparancak dan Rumah Gadang Kampai Nan Panjang di Kabupaten Tanah Datar yang telah dileng-kapi dengan wc di pekarangannya adalah contoh yang sangat tepat untuk menggambarkan kondisi yang dikuatirkan tadi. Di dalam hal tersebut paling tidak telah terjadi perubahan-perubahan bentuk yang sangat merusak terhadap informasi budaya yang terendap pada objek tersebut. Kasus pada makam-makam Kandang XII yang kehilangan beberapa bungong kalimah telah mengurangi keindahan aslinya, dan kehilangan beberapa informasi budaya yang sebetulnya sangat ber-harga bagi wisatawan dan dunia keilmiahan. Batu Malin Kundang yang telah diparancak telah membodohi pengunjung karena yang di-lihatnya bukan lagi benda yang sesungguhnya. Rumah Kampai Nan Panjang yang telah dilengkapi dengan wc, meskipun untuk alasan apapun, telah memberikan gambaran dan informasi yang keliru ke-pada wisatawan yang mengunjunginya, sebab secara tradisional tak satupun rumah gadang yang memiliki wc di sekitar rumah gadang.


Hadirin sekalian yang dimuliakan,
Dari sudut wisatawan paling tidak ada dua fungsi pariwisata yaitu fungsi rekreasi dan edukasi. Fungsi rekreasi menimbulkan rasa kesenangan, kekaguman, kenikmatan bagi wisatawan yang pada gili-rannya menimbulkan dampak pelenturan otot, saraf dan anggota tu-buh. Sedangkan fungsi edukasi akan memberikan pengetahuan-pe-ngetahuan yang selanjutnya bermuara memperluas wawasan wisa-tawan khususnya tentang objek-objek yang dikunjungi. Oleh sebab itu di dalam kegiatannya berpariwisata, wisatawan selalu mengaju-kan pertanyaan-pertanyaan kepada peramu wisata, atau ke pada siapapun yang ada.
Dalam wisata budaya, wisatawan akan berhadapan dengan benda-benda budaya (bukan berarti melupakan budaya selain benda) dan sering pertanyaan-pertanyaan yang muncul dari mereka tentang sejarah, fungsi, kegunaan dan hubungan benda budaya dengan ma-syarakat masa lalu dan sekarang. Pertanyaan-pertanyaan mereka pa-ling tidak mempunyai 3 tiga dimensi yaitu: pertama berdimensi wak-tu (time) seperti, kapan benda itu dibuat, kapan direnovasi, dihancur-kan, dan lain-lain; kedua berdimesi bentuk (form) seperti, bagaima-nakah bentuk benda budaya dan kenapa demikian, kenapa kuburan berbentuk rumah adat tradisional Batak, kenapa batu Malin Kundang mirip kapal: ketiga berdimensi ruang (space) seperti, apakah benda tersebut sudah berada di tempat itu semenjak awal ditemukan, atau apa-kah sudah terjadi pemindahan lokasi, apakah masih ada benda sejenisnya di kawasan lain, atau sampai ke daerah mana persebaran dan distribusi benda budaya tersebut, dan lain-lain sebagainya.
Sebetulnya pertanyaan-pertanyaan di atas tidak jauh berbeda dengan pertanyaaan-pertanyaan yang diapungkan oleh para arkeolog dalam kajian-kajian mereka tentang kebudayaan. Oleh sebab itu per-tanyaan-pertanyaan wisatawan merupakan pertanyaan bernuansa ar-keologis. Dengan demikian kalau wisatawan mengajukan pertanyaan seperti itu maka para peramu wisata harusnya menjawab sebagimana arkeolog mendeskripsikan dan merekonsruksi sejarah kebudayaan. Oleh sebab itu, peramu wisata tersebut harus juga memiliki wawa-san dan pengetahuan tentang kearkeologisan. Dengan demikian juga, pariwisata budaya sangat membutuhkan peramu-peramu wisata yang memiliki wawasan dan cara berfikir arkeolog, paling tidak mereka mempunyai dasar-dasar logika berfikir arkeologis. Barangkali meru-pakan hal yang wajar saja kalau selama ini wisatawan menemui ken-dala di lapangan dan pulang tanpa memuaskan, karena terkesan pe-ramu-peramu wisata yang ada hanya bermodalkan pengetahuan sea-danya, terkesan sebatas pelepas hutang, tanpa wawasan yang cukup mengenai objek wisata tersebut. Mereka muncul begitu saja, tanpa kriteria yang jelas.

Hadirin sekalian,
Barangkali bukan merupakan hal yang mengada-ada jika su-dah seharusnya memikirkan untuk memperbanyak lembaga-lembaga pendidikan yang menawarkan kurikulum tentang arkeologi pariwi-sata, semacam Ilmu yang memadukan antara arekologi dan pariwisa-ta, yang diarahkan untuk mendukung kepentingan pariwisata, yang mengajarkan tentang hakekat benda budaya, sebagai benda arkeolo-gis dan sebagai sumber ilmu pengetahuan yang harus dijaga, sekali-gus sebagai objek wisata.

Hadirin yang saya hormati,
Sebelum bicara lebih jauh tentang arkeologi pariwisata ada baiknya terlebih dahulu dijelaskan secara sepintas apa itu arkeologi.
Arkeologi berasal dari istilah Yunani, dari kata archaeos yang berarti kuna dan logos yang berarti ilmu. Secara bebas dapat dikatakan arkeologi adalah ilmu tentang kekunoan, yang pada masa lalu disebut ilmu purbakala, tetapi pada tataran atmosfer akademis Indonesia saat ini, justru lebih populer dengan arkeologi saja.
Joukowsky (1980) menyatakan arkeologi adalah ilmu penge-tahuan yang bergelut dengan tinggalan budaya masa lalu yang dila-kukan secara sistematis dan metodologis untuk mempelajari dan me-rekonstruksi kehidupan manusia pada masa lalu selengkap mungkin. Untuk mempelajari masa lalu tersebut, arkeologi sangat mengandal-kan kepada tinggalan material budayanya, karena ada anggapan bah-wa tinggalan budaya tersebut merupakan fosilized behavior (fosi-lisasi dari prilaku) manusia pendukungnya. Oleh sebab itu, seseder-hana apapun, sekecil apapun benda budaya adalah refleksi dari bu-dayanya, berisikan endapan-endapan budaya masa lalu tersebut, dan sangat fungsional untuk mengkaji manusia pembuatnya, pemakai (pendukung) budaya tersebut.
Sehubungan dengan itu, oleh sebab itu arkeologi sangat tabu sekali untuk memindahkan, merubah bentuk dan ukuran benda pur-bakala, karena tempat ditemukan, bentuk dan ukuran benda tersebut adalah refleksi dari budaya pendukungnya. Di dalamnya terendap cara dan tempat pembuatan, pemakaian, dan pembuangan benda tersebut.
Clark (1960) memberikan definisi bahwa arkeologi adalah sebuah disiplin ilmu yang berusaha mengungkapkan, mengkaji dan menganalisa kekunoan secara sistematis. Baik Joukowsky maupun Taylor sama-sama menekankan bahwa arkeologi pada intinya meru-pakan ilmu yang berusaha untuk mengungkapkan kebudayaan ma-nusia. Dalam tataran ini agaknya mirip dengan ilmu sejarah dan an-tropologi budaya yang sama-sama berusaha mengungkapkan kebu-dayaan manusia. Oleh sebab itu berkemungkinan ada yang menya-takan arkeologi berebut lahan dengan ilmu sejarah dan antropologi. Pada bagian tertentu memang arkeologi agak mirip dengan ilmu se-jarah yang sama-sama mendalami masa lalu manusia, dan sepertinya juga identik dengan antropologi budaya karena juga sama-sama me-ngungkapkan tentang budaya manusia. Pada hal kalau diperhatikan lebih jauh terdapat perbedaan yang menyolok. Dari pernyataan Jou-kowsky jelas bahwa arkeologi lebih menekankan, dan lebih banyak bergelut dengan tinggalan budaya (material) dalam merekonstruksi kebudayaan manusia pada masa lalu tersebut. Untuk keperluan itu arkeologi telah mengembangkan metode khusus yang membeda-kannya dengan ilmu sejarah dan antropologi.
Seperti yang dikemukakan Taylor (1971) bahwa arkeologi adalah suatu disiplin ilmu yang mengembangkan teknik-teknik khu-sus (seperti ekskavasi) untuk mengumpulkan dan menghasilkan in-formasi-informasi budaya. Dalam arkeologi pada intinya berusaha memperoleh benda-benda budaya, mengkonservasi (memelihara dan melestarikan), merehabilitasi (memugar), masa lalu yang nantinya dipergunakan untuk mengungkapkan budaya masa lalu tersebut.
Sejarah munculnya arkeologi sangat erat hubungannya de-ngan kegiatan peminat benda-benda seni (art collectors) di Eropah pada abad ke-17 M. Pada masa itu para peminat seni begitu bernafsu mengumpulkan benda-benda seni, karena ada anggapan semakin ba-nyak koleksi benda seni yang dikumpulkan akan menambah kesena-ngan hidup, ketenaran, bahkan meningkatkan status sosial mereka. Oleh sebab itu art collectors bersedia menyediakan dana untuk me-ngumpulkan benda-benda seni, baik yang berasal dari Eropah sendiri maupun dari wilayah di luarnya, seperti Afrika, Amerika Selatan, dan terutama yang berasal dari Asia Barat, Asia Selatan, Cina, dan wilayah Asia lainnya. Kegiatan itu bahkan dilakukan dalam skala yang besar, sehingga yang muncul adalah penjarahan terhadap ben-da-benda seni tersebut, dan perusakan situs-situs purbakala karena telah dilakukan penggalian-penggalian secara serampangan.
Benda-benda yang diperoleh kemudian mereka pajang di ga-leri-galeri seni, dan bahkan di museum-museum pribadi mereka. Benda-benda yang dipajang tersebut pada awalnya diberi sedikit ke-terangan seperti: wilayah asal tempat ditemukan, bahan, perkiraan umur, dan lain-lain. Pada perkembangannya, akibat tuntutan dari be-berapa art collectors, pengunjung galeri dan museum, kemudian muncul keinginan untuk memberikan keterangan yang memadai tentang benda-benda seni tersebut. Maka, pada abad ke-19 muncul-lah niat dari mereka untuk mengembangkan suatu sistem dan metode ilmiah dalam mencari dan mengumpulkan benda-benda itu. Dapat dikatakan pada abad ke-19 arkeologi sebagai ilmu telah dirintis dan dirancang. Semenjak itu kemudian bermunculanlah para arkeolog yang profesional di bidangnya.
Dapat dikatakan sejarah munculnya arkeologi tidak bisa dile-paskan dari unsur tourism, karena dipersembahkan untuk museum dan galeri seni yang tak lain adalah untuk kepentingan pariwisata. Bahkan sampai saat ini, sebagian hasil-hasil kegiatan arkeolog masih diperuntukan guna memenuhi museum-museum.

Hadirin sekalian,
Di Indonesia telah berdiri beberapa jurusan dan program studi arkeologi seperti: Jurusan Arkeologi Fakultas Ilmu-Ilmu Bu-daya Universitas Indonesia; Jurusan Arkeologi Fakultas Ilmu-Ilmu Budaya Universitas Gajah Mada; Program Studi Arkeologi di Ju-rusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Hasanudin Ujung Pan-dang; dan Jurusan Arkeologi di Fakultas Ilmu-Ilmu Budaya Univer-sitas Udayana Bali. Dari empat universitas tersebut, Jurusan Arkeo-logi di Fakultas Ilmu-Ilmu Budaya Universitas Indonesia dan Gajah Mada, dan Program studi Arkeologi di Fakultas Satra Universitas Hasanudin menekankan terhadap arkeologi murni, hanya program studi arkeologi di Universitas Udayana Bali yang mengkhususkan tentang Arkeologi Pariwisata. Di sisi lain di beberapa kota di Indo-nesia telah berdiri dan bermunculan Perguruan Tinggi Swasta yang bidang keilmuannya khusus tentang Pariwisata yang hampir dipasti-kan belum lagi menyediakan sebuah jurusan dan program studi atau setidaknya sebuah mata kuliah Arkeologi Pariwisata.
Khusus untuk daerah Sumatera, terutama Sumatera Barat sungguh ironis dan ganjil kalau suatu kawasan yang kaya akan te-muan benda purbakala, atau benda arkelogis, dan berpotensi untuk dikembangkan sebagai kawasan wisata budaya tak satupun dijumpai lembaga pendidikan yang menawarkan dan mengajarkan arkeologi pariwisata. Barangkali merupakan suatu yang sangat mendesak, me-ngingat perkembangan arah otonomi daerah yang menekankan kepa-da Kabupaten dan Kota, sehingga akan banyak membutuhkan “prak-tisi” (pegawai) yang mampu mendisain dan “menyulap” daerahnya menjadi tujuan wisata.
Dalam kesempatan ini tidak salah kiranya kalau saya mengu-sulkan agar salah satu perguruan tinggi di Sumatera Barat dapat menjadi pemula (frontir) di Sumatera untuk mendirikan sebuah lembaga studi yang benar-benar mengajarkan dan mengembangkan tentang arkeologi pariwisata.
Ada hal yang sangat penting dalam hal ini, yaitu dengan ada-nya jurusan / program studi arkeologi pariwisata, maka program itu dapat menjadi motor penggerak untuk kajian-kajian budaya dan pa-riwisata untuk kawasan Sumatera, yang selama ini dapat dikatakan tertinggal.














Daftar Pustaka


Ave, Job
1987 “Kebijaksanaan Nasional Dalam Pembinaan dan Pe-
ngembangan Kepariwisataan”, Makalah dalam Semi-
nar Pembinaan dan Pengembangan Pariwisata Me-nuju Tahun 2000 di Propinsi Bali.

Chas, Nasroel
1996 “Pariwisata Sumateara Barat dan Alternatif Pengem-bangannya”, Makalah dalam Seminar Pariwisata Da-lam Rangka Lustrum Ke VIII Universitas Andalas Padang. 9 Oktober 1999.

Clark, Grahame
1960 Archaelogy and Society. London: Methuen & Co Ltd.

Echols, John M,
1976 Kamus Inggris Indonesia. Jakarta: Gramedia

Hasanuddin
2003 “Kesadaran Identitas Kemelayuan Minangkabau da-
lam Gagasan Kepariwisataan Sumatera Barat” dalam
Sastri Yunarti Bakry dan Media Sandra Kasih (edt).
Menelusuri Jejak Melayu Minangkabau. Padang: Ya-
yasan Citra Buadaya Indonesia. hal.213-227.

Herwandi,
1997 “Pariwisata Budaya dan Arkeologi Pariwisata” dalam Harian Singgalang Minggu, 6 Juli 1997.

2000 “Bungong Kalimah”, dalam Penelitian Naskah Nu-santara Dari Sudut Pandang Kebudayaan Nusantara Kumpulan Makalah Simposium Internasiional Ma-syarakat Pernaskahan Nusantara (manassa) V. Pa-dang: Masyarakat Pernaskahan Sumatera Barat.

2002 “Kaligrafi Islam Pada Makam-Makam di Aceh Da-russalam: Telaah Sejarah Seni (abad XVII-XVIII M). Disertasi Pascasarjana UI.

Joukowski, Martha
1980 A Complete Manual of Field Archaelogy.

Sammeng, Andi Mappi
1996 “Pola Sarana Perhubungan dalam Pengembangan Pa-
riwisata Wilayah Sumateara”, Makalah dalam Semi-nar Nasional Pengembangan Prasarana Perhubu-ngan Wilayah Sumatera dalam Mengahadapi IMS-GT, IMT-GT dan Globalisasi, Prosiding. Padang: Kerjasama Pemda Tk. I Sumatera Barat dengan UNAND.

Sharer , Wendi Asmore,
1980 Fundamentals of Archaeology. London, Amsterdam, Don Mils, Ontario, Sydney: The Benjamun/ Cum-mings Publishing Company, Inc

Taylor,
1971 A Study of Archaeology. London & Amsterdam: Southern Illinois Univ. Press Corbondale and Edward Sville Feffer & Simons Inc.

Tidak ada komentar: