Selasa, 14 Juli 2009

TANAH DATA, LUHAK NAN TUO :KEBERADAANYA DARI PERSPEKTIF SEJARAH[1]

Oleh: Herwandi[2]

Pengantar

Pertama sekali ketika mendapat tawaran menjadi pemakalah dalam kegiatann ini, saya merasakan betapa beratnya judul yang diberikan., karena topik ini terasa sangat luas. Bagaimana mungkin melihat keberadaan Luhak Nan Tuo dalam perspektif sejarah. Rentang waktu sejarah Minangkabau yang sudah berjalan panjang semenjak berabad-abad yang lalu, apalagi akan melihat bagaimana keberadaan dan kiprah Luhak Nan Tuo dalam konstelasi kesejarahan Minangkabau semenjak semula jadi sampai saat sekarang ini. Sungguh ini merupakan pekerjaan berat, apalagi hanya ditulis dalam bentuk makalah dalam jumlah yang terbatas. Hal lain terasa sangat menyulitkan adalah masalah sumber kesejarahan yang terbatas dan banyak mengalami kekaburan sehingga kevalidatasannya akan berpengaruh terhadap penulisan sejarah yang ilmiah. Sumber sejarah tradisional (tambo--historiografi tradisional Minangkabau) tidak memadai untuk dijadikan sumber utama dalam pengkajian sejarah tersebut. [3] Namun demikian harapan penyelenggara saya usahakan dalam bentuk yang diinginkannya meskipun terasa tidak begitu memadai. Oleh sebab itu makalah ini hanya sebagai pengantar diskusi.

Luhak Nan Tuo yang didahulukan selangkah

Sulit mendefinisikan secara etimologis apa sesungguh maksud istilah luhak dalam bahasa Minangkabau. Di dalam tulisan Saiydam (2004) dinyatakan bahwa pengertian luhak adalah :

“nama kawasan pemerintahan di Minangkabau zaman dahulu yang kini setara dengan Kabupaten di bawah Keresidenan, tetapi di atas nagari”. [4]

Difinisi ini sangat rancu, karena sulit memahaminya secara kesejarahan. Mungkin ada benarnya bahwa luhak adalah “nama kawasan pemerintahan di Minangkabau zaman dahulu”, tetapi kalimat berikutnya membingungkan. Kalimat “yang kini setara dengan Kabupaten di bawah keresidenan, tetapi di atas nagari” adalah kalimat yang anakronistik, tidak sesuai dengan konteks waktu saat kini. Difinisi ini menjadi lebih membingungkan lagi kalau dikatakan kabupaten itu adalah bagian dari struktur pemerintahan masa kolonial, karena masa kolonial tidak ada istilah kabupaten, yang ada adalah: nagari (Desa), distrik, regenschaap, dan Keresidenan.[5]

Terlepas dari kerancuan tersebut yang jelas luhak dapat diartikan sebagai wilayah etnografi Minangkabau. Secara tradisional, daerah Minangkabau terbagi atas dua wilayah etnografis, yaitu darek dan rantau. Darek adalah daerah yang terletak di pedalaman Minangkabau, sementara daerah rantau adalah kawasan yang berada di luarnya, yang teletak di pesisir barat dan timur. Di dalam Tambo berulangkali dinyatakan bahwa daerah luhak terbagi atas tiga kawasan utama, yang biasa disebut Luhak Nan Tigo, yaitu Luhak Tanah Data, Luhak Agam, Luhak Limopuluah Koto.

Secara tradisional Luhak Tanah Data dianggap sebagai luhak nan tuo.[6] Anggapan ini muncul karena menurut tambo di luhak ini kerajaan dan nagari tertua di Minangkabau pertama kali didirikan. Di dalam tambo dinyatakan bahwa kerajaan pertama (Pasumayam Koto batu)[7] dan nagari tertua dibentuk di nagari Pariangan Padangpanjang,[8] sekaligus sebagi tempat permulaan adat Minangkabau mulai direkonstruksi. Anggapan tersebut didukung oleh cerita-cerita tambo, dan sulit mencarikan sumber kesejarahan yang benar-benar dapat dipercaya. Salah satu sumber yang dapat menjembatani pernyataan tersebut hanya berupa peninggalan kebudayaan material yang terbatas, yaitu dari tinggalan-tinggalan arkeologis.

Berdasarkan tinggalan-tinggalan arkeologis yang dijumpai di Pariangan Padangpanjang, lebih cenderung berorientasi muncul setelah masa Hindu-Budha dan mulainya Islam berpengaruh di Tanah Data. Di Pariangan terdapat kubur panjang yang diyakini sebagai kubur Tantedjo Gurhano, yang dianggap merupakan tokoh yang sama dengan Cati Bilang Pandai (?). Kalau anggapan tersebut ada benarnya, maka dari namanya berkemungkinan tokoh ini adalah seorang yang berasal dari India, dan beragama Budha. Ceti adalah seseorang yang berasal dari kasta Çentri atau centrya, berarti kesatria, orang hebat, perkasa,[9] dan pande adalah orang yang pandai, orang-orang yang sangat mahir, terutama dalam bidang-bidang tertentu, seperti dalam masalah pertukangan dan kerajinan (tokoh ini di Minang dipercayai sebagai arsitek Rumah Gadang), di samping mempunyai kearifan berfikir.[10] Karena keahliannya maka di gelari dengan Cati Bilang Pandai. Kuburan tokoh ini diyakini terdapat di Pariangan dalam ukuran yang cukup panjang (24,7 m), uniknya kuburan ini berorientasi Utara-selatan, tradisi yang biasa dilakukan oleh penganut Islam (terutama di Asia Tenggara) jika menguburkan seseorang. Kalau kubur itu benar sebagai makam Ceti Bilang Pandai maka ada dua kemungkinan yang terjadi: pertama tokoh tersebut sudah beragama Islam; dan yang kedua meskipun belum beragama Islam, ia hidup dalam lingkungan masyarakat yang islami, yang berarti tokoh tersebut telah dikuburkan secara islami. Kedua kemungkinan tersebut muncul hanya dalam masyarakat yang “transisi”, masyarakat di mana Hindu-Budha masih berkembang tetapi Islam sudah mulai memasyarakat di Minangkabau.

Pernyataan ini diperkuat lagi dengan adanya salah satu dusun di Pariangan bernama Biaro yang menurut tradisi lisan berasal dari biara, yaitu tempat ibadah pemeluk agama Budha, [11] dan tak jauh dari biaro tersebut terdapat sekelompok bangunan surau yang mengelilingi sebuah mesjid tua di Pariangan. Istilah biaro, berasal dari istilah vihara dalam ajaran Hindu-Budha, yang fungsinya adalah sebagai pusat lembaga pendidikan yang mengajarkan ajaran Hindu-Budha. Peran biaro tersebut kemudian dilanjutkan oleh surau-surau dan mesjid yang tak jauh dari lokasi biaro tersebut.[12] Dengan demikian besar kemungkinan Pariangan diretas menjadi nagari mulai semenjak Hindu-Budha. Ketika Islam menjadi agama dominan dalam masyarakat peran biaro digantikan oleh fungsi surau dan mesjid, maka semakin lengkaplah Pariangan menjadi sebuah nagari yang islami, sesuai dengan syarat sebuah nagari, “Babalai bamusajik, balabuah batapian, dst......”.

Secara empiris sangat sulit untuk membenarkannya Luhak Tanah Data sebagai luhak nan tuo, karena berdasarkan bukti-bukti arkeologis di Luhak Tanah Data justru muncul jauh lebih kemudian, jauh setelah periode megalitik-neolitik di Limopuluah Koto, karena berdasarkan bukti-bukti arkeologis dapat dipastikan beberapa unsur-unsur kebudayaan Minangkabau telah disusun di Limopuluah Koto mulai semenjak masa prasejarah, masa neolitik-megalitik. [13] Sementara itu Luhak Tanah Data, lebih cenderung berorientasi muncul setelah masa Hindu-Budha dan mulainya Islam berpe-ngaruh, jauh setelah periode megalitik-neolitik di Lilampuluah Koto.

Berdasarkan hal tersebut, barangkali istilah Luhak Tanah Data sebagai Luhak Nan Tuo, lebih tepat diartikan sebagi Luhak Nan Dituokan, bukanlah Luhak Nan Tuo dalam pengertian empiris. Luhak Nan Tuo adalah luhak yang dituakan, yang dihormati, didulukan salangkah, ditinggikan sarantiang (didahulukan selangkah ditinggikan seranting).[14]

Luhak Tanah data sebagai tempat Formulasi Adat Minangkabau

Luhak Tanah Data, didahulukan selangkah karena beberapa formulasi aturan adat dilakukan di daerah ini. Di bidang adat Luhak Tanah telah mengambil peran menentukan dan telah mencatat dua peristiwa penting: pertama adalah lahirnya formulasi sistem pemerintahan adat Lareh Nan duo; kedua adalah di daerah ini dilaksanakan “perjanjian marapalam” yang berisi formulasi mendasar “Adat Basandi Syarak-syarak basandi Kitabullah”.

Sistem pemerintahan adat yang dikenal dengan Lareh Nan Duo, dicanangkan oleh dua orang tokoh lagendaris Minangkabau yaitu Dt. Parpatih Nan Sabatang dan Datuk Katamanggungan. Meskipun tidak jelas kapan waktu hidupnya Dt. Parpatih Nan Sabatang dan Dt. Ketamanggungan serta sistem lareh nan duo tersebut, namun dua sistem lareh inilah yang kemudian yang menjadi dua aliran sistem pemerintahan di Minangkabau, yang diakui dipakai di alam Minangkabau. Berdasarkan dua aliran sistem pemerintahan adat tersebut menempatkan keberadaan Luhak Tanah Datar menjadi lebih penting bagi daerah lain. Mulainya berlaku sistem pemerintahan tersebut, berarti mulainya pengaruh Luhak Tanah Data menjadi pusat dan poros yang menentukan terhadap perjalanan sejarah Minangkabau masa-masa berikutnya. Permasalahannya adalah tidak dapat diperkirakan secara pasti kapan waktu pencanangannya.

Selanjutnya, diperkirakan formulasi adat “Adat Basandi Syarak-Syarak Basandi Kitabullah” telah diformulasikan melalui sebuah perjanjian yang disebut dengan “Perjajian Bukik Marapalam” diambil dari nama sebuah bukit tempat dilakukan perjanjian tersebut di Dekat Sungayang, Tanah Data, yang diperkirakan dilakukan pada awal abad ke-19. Formulasi adat tersebut sampai saat sekarang masih menjadi tuntunan bagi masyarakat Minangkabau dalam menjalankan kehidupan.

Sebagai Pusat Kerajaan Budha dan Islam

Keberadaan Luhak Tanah Data semakin lebih diperhitungkan pada masa se-lanjutnya. Pada masa berjayanya kerajaan Melayu-Dharmasraya, Luhak Tanah Data sepertinya sudah menjadi perhatian serius bagi penguasa kerajaan tersebut, mulai dari rajanya Tribuana Mauliwarmandewa (1286-1316), dan Akarendrawarman (1316-1347).[15] Terbukti pada masa Akarendrawarman pusat kerajaan tersebut dipindahkan ke suatu tempat bernama Saruaso, di dekat Batusangkar. Akarendrawarman ini kemu-dian digantikan oleh Adityawarman (1347) anak dari Adyawarman. Casparis menya-takan bahwa Akarendrawarman adalah mamak dari Adityawarman.[16] Pada masa pe-merintahan raja-raja inilah agama Budha berkembang pesat di Luhak Tanah Data. Khusus pada masa Adityawarman, ia seringkali melaksanakan upacara keagamaan bersifat magis-tantris. Sepeninggal Adityawarman (diperkirakan wafat 1375) kerajaan yang berpusat di saruaso tersebut diperintahi oleh Ananggawarman, anak Adityawar-man. Namun setelah itu tidak terdengar lagi khabar beritanya.

Dapat dipastikan pada masa tersebut ajaran Islam telah berkembang luas di Luhak nan Tuo, menyaingi keberadaan agama Buha Tantrayana. Agama Islam terse-but berkembang karena propoganda Islam sudah masuk ke Minangkabau sudah mulai semenjak masa-masa sebelumnya, dan mengalami peningkatan pada masa Aditya-warman, meski baru dapat menjangkau nagari-nagari yang berada di sekitar pusat pemerintahan Adityawarman.[17] Sepeninggal Adityawarman dan anaknya Anangga-warman agama Islam dapat merasuk ke kalangan keluarga kerajaan. Pada saat itulah diperkirakan munculnya kerjaan Islam Pagaruyung yang diperintahi oleh seorang perempuan yaitu Bundo Kanduang (diperkirakan lembaga Rajo tigo Selo dan Basa Ampek Balai sudah muncul namun belum berperan penting). Asmaniar Idris memperkirakan pada masa “gelap” inilah tokoh perempuan yang terkenal bergelar Bundo Kanduang mengambil peran penting dalam pemerintahan di Minangkabau. [18]

Berita tentang adanya kerajaan Islam di Luhak Tanah data baru muncul kemu-dian pada abad ke 17 M, dengan adanya seorang raja bernama Sultan Alif (wafat 1680 M). Kerajaan ini adalah sebuah kerajaan Islam karena raja yang memerintah sudah bergelar sultan. Selang antara akhir pemerintahan Ananggawarman dan Sultan Alif tidak diketahui dengan pasti. Berkemungkinan sisa-sisa kekuasaan Anangga-warman masih dilanjutkan oleh keturunannya tetapi tidak ada sumber yang mendu-kungnya, sehingga mengalami kekaburan. Setelah berdirinya kerajaan Islam inilah kemudian diperkirakan sistem pemerintahan Rajo Tigo Selo benar-benar berperan penting di Minangkabau: Rajo Alam, Rajo Adat, dan Rajo Ibadat. Rajo Alam berke-dudukan di Pagaruyung; Rajo Adat di Lintau Buo, dan Rajo Ibadat di Sumpurkudus. Rajo Tigo Selo ini dibantu oleh sebuah lembaga yang disebut dengan Basa Ampek Balai terdiri dari: Datuak Bandaro dari Sungai Tarab bergelar Taun Titah Sungai Tarab; Tuan Kadhi di Padang Gantiang; Tuan Indomo di Saruaso; dan Tuan Mangkhudum di Sumaniak. Konon, pada masa inilah Kerajaan Pagaruyung memiliki pengaruh yang luas terhadap daerah-daerah di pantai Timur Minangkabau, seperti daerah-daerah seperti Kuantan, Ceranti, Baserah, Siak, Indragiri, Jambi, Batanghari.[19]

Setelah wafatnya Sultan Alif pada akhir abad ke-17 M, sejarah Minangkabau kembali mengalami masa “gelap”, tidak jelas perkembangannya. Baru pada tahun 1803, menurut Asmaniar Idris tercatat Sultan Arifin Muning Alamsyah sebagai keturunan terakhir Adityawarman di Pagaruyung[20] Setelah itu, memasuki pertengahan abad ke-19 M, Minangkabau memasuki era kolonial, masa di mana eksistensi kerajaan Pagaruyung tidak terdengar lagi, dan keberadaan Luhak Nan Tuo berada di bawah pengaruh Kolonial Belanda.

Epilog

Permasalahan sejarah Luhak Nan Tuo seperti juga sejarah Minangkabau pada umumnya kalau masih berpijak kepada sumber tradisional tidak akan menghasilkan gambaran kausalitas kesejarahanan yang memadai. Sejarah yang ada hanyalah sebuah karya tambal-sulam yang tak mampu menggambarkan perjalalana sejarah yang lengkap, tak akan mungkin menggambarkan sejarah Luhak Nan Tuo selengkap mungkin. Meskipun begitu pengkajian-pengkajian kesejarahan terhadap Keberadaan Luhak nan Tuo harus tetap dilakukan seintensif mungkin dan disertai dengan melibatkan sumber-sumber yang beragam, agar sejarah Luhak nan Tuo khususnya, dan sejarah Minangkabau pada umunya dapat diungkap lebih terang.

Keberadaan Luhak Nan Tuo sudah dibuktikan dari pengalaman sejarah Minangkabau. Luhak ini dapat dikatakan sebagai luhak nan dituokan, didahulukan selangkah, ditinggikan seranting, karena di Luhak inilah beberapa hal yang men-dasar dalam adat Minangkabau diformulasikan, seperti Lareh Nan Duo, dan filsa-fah adat “Adat Basandi Syarak-Syarak basandi Kitabullah”. Selanjutnya dari segi sejarah pemerintahan di luhak inilah terletaknya pusat kerajaan Adityawarman dan Kerajaan Islam Pagaruyung.

Pada saat sekarang ini, sejarah sudah berlalu, yang tinggal hanya jejak-je-jak sejarah kejayaan masa lalu (itupun tak lengkap). Bicarta sejarah bukan untuk diingat-ingat saja tetapi bagaimana menjadikannya ia sebagai kekuatan dan modal untuk menata masa depan. Oleh sebab itu barangkali perlu dilakukan perenungan bagaimana memanfaatkannya untuk dijadikan sebagai sumber daya guna memper-cepat gerak pembangunan di Luhak Nan Tuo, khususnya Kabupaten Danah Datar pada saat kini dan akan datang. @@@@



[1] Makalah pengantar diskusi dalam Dialog Budaya Sumatera Barat dengan tema “Budaya Luhak Nan Tuo dan Pengembangannya”, yang diselenggarakan oleh Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional, Direktorat Jenderal Nilai Budaya, Seni dan Film, Dep. Kebudayaan dan Pariwisata, tanggal 6-7 Desember 2006, di Hotel Pagaruyung, Batusangkar, Sumatera Barat.

[2] Staf Pengajar, Jur. Sejarah Univ. Andalas, Padang. Memperoleh gelar Dr. (S3) dari Pascasarjana Univ. Indonesia, Jakarta. Tahun 2002.

[3] Selama ini sejarah Minangkabau banyak bersandarkan kepada sumber tambo, penulisan sejarah tradisional Minangkabau yang secara tradisional kebenarannya tidak diragukan lagi, tetapi bagi kalangan sejarahwan sangat sulit untuk mencari pembenaran-pembenarannya secara ilmiah kalau tambo tersebut tidak didukung oleh sumber-sumber yang berisi fakta keras.

[4] Drs. Gouzali Saydam Bc. TT. Kamus Lengkap Bahasa Minangkabau (Minang-Indonesia). Padang: PPIM. 2004. hal. 234.

[5] Lihat, Herwandi. “Munculnya Para Kepala Laras di Minangkabau”, Skripsi, Jur. Sejarah Unand. 1987. hal. 38-39.

[6] Batas-batas wilayah Luhak Nan Tuo tidak begitu jelas, namun begitu batas tersebut dapat diidentikkan dengan wilayah Kabupaten Tanah datar sekarang ditambah dengan Kota Padang Panjang.

[7] Menurut tambo, kerajaan tertua di Pariangan Padang Panjang bernama, Kerajaan Pasuma-yam Koto Batu. Untuk memperkuat pernyataan ini di Pariangan terdapat sebuah batu yang disebut dengan “Lantak Luhak Nan Tigo” yang terdapat di tebing Batang Bengkaweh yang ditulis dalam huruf Sanskerta. Iim Imaduddin, Zusnelli Zubir, Ernatip. Dinamika Kehidupan Surau di Minangkabau (Kasus di Nagari Pariangan, Kabupaten Tanah datar 1960-1990). Padang: Badan Pengembangan Kebudayaan dan Pariwisata & Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional. 2002.hal. 27.

[8] Ada beberapa versi tentang asal kata Pariangan. Umumnya penulis tambo mengatakan bahwa Pariangan berasal dari kata riang. Masyarakat riang karena dibangunnya sebuah nagari yang kemudian diberi nama Pariangan. tetapi ada versi yang menyatakan bahwa Pariangan berasal dari kata para hyang yang berarti para dewa.

[9]Edward Jamaris. Tambo Minangkabau: Suntingan Teks Disertai Analisis Struktur. Jakarta: Balai Pustaka. 1991. hal. 60.

[10] Pada masa Jawa Kuno (abad ke-10 M-16M), juga terdapat pemakaian istilah seperti pande gangsa (perunggu) pande mas (emas), pande galuh (kelompok ahli kerajinan emas), pande pirak (perak), dan lain-lain. M. Dwi Cahyono. “Rakitan dan Fungsi Seni Pertunjukan Pada Masyarakat Jawa Kuna Abad Ke-10 Hingga 16 M”. Tesis Magister Arkeologi. Program Studi Arkeologi PPS-UI, Jakarta. Hal 113-114

[11] Iim Imaduddin, Zusnelli Zubir, Ernatip. Dinamika Kehidupan Surau di Minangkabau (Kasus di Nagari Pariangan, Kabupaten Tanah Datar 1960-1990). Padang: Badan Pengembangan Kebudayaan dan Pariwisata & Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional. 2002.hal. 27.

[12] Di Limo Kaum, tepatnya di Kuburajo, di sebelah barat prasasti Kuburajo, sampai saat sekarang terdapat juga sekelompok bangunan surau yang lokasinya masih disebut dengan biaro.

[13] Berapa unsur kebudayaan Minangkabau bahkan cikal bakalnya yang berakar semenjak masa megalitik di Limopuluah Koto antara lain; masyarakat egaliter dan kehidupan demokrasi; bentuk pola hias Minangkabau; matrilinealisme. Lihat Herwandi “Limopuluah Koto Luhak nan Tuo: Menhir, Jejak budaya Minangkabau Membalik Paradigma Tradisional”, dalam Herwandi dan Zaiyardam Zubir (Edt.). Menggugat Minangkabau. Padang: Andalas University Press. Hal 1-12.

[14] Di Minangkabau banyak dipakai istilah nan tuo, istilah tersebut dalam kehidupan bermasyarakat bukan berkonotasi tua dari segi umur, tetapi adalah orang yang secara demokrartis diberi tanggungjawab mengurus dan memimpin. Istilah ini lebih tepatnya sebagai orang yang dituakan, nan dituokan, meskipun dari segi umur orang tersebut jauh lebih muda. Sebagai contoh sebutlah misalnya tuo banda, tuo rimbo, tuo suku (pangulu), tuo taratak, tuo dusun, dll meskipun mereka dari segi umur lebih muda dari yang lain mereka disebut juga dengan tuo banda, tuo rimbo, dan tuo suku (pangulu), tuo taratak,dan tuo dusun, dll.

[15] Daerah Tanah Data merupakan penghasil emas yang cukup banyak. Sepanjang selo, dulu adalah menjadi penghasil emas yang banyak bahkan sampai abad ke-19 masih banyak yang melakukan penambangan. Oleh sebab itu sungai itu pada masa lalu sering doisebut dengan sungai emas.

[16] J.G. de Casparis. Melayu dan Adityawarman” Makalah Seminar Sejarah Melayu Kuno. Jambi 7-8 Desember 1992. hal. 7-9.

[17] Menurut Agus Salim, seperti dikutip oleh Daya, Islam sudah masuk ke Minangkabau abad ke-7 M dibawa oleh pedagang-pedagang Arab dan langsung dari Timur Tengah. Seiring dengan itu Hamka menyatakan bahwa Islam mulai bersentuhan dengan adat Minangkabau semenjak abad ke-7 M, karena beliau menyatakan di daerah Minangkabau sudah ada koloni orang Arab. (Daya :1995: 35) Sedikit berlainan dengan itu, MD. Mansoer, mengidentifikasi bahwa Islam masuk ke Minangkabau semenjak abad ke-8 M. Mansoer (1969, 1970) menyatakan, melalui jalur timur pedagang-pedagang Islam telah memasuki wilayah pinggiran Minnagkabau di Riau Daratan semenjak abad ke-8 M, ketika kerajaan Sriwijaya masih memegang peranan penting di dalam perdaganagan dan menjadi peasing dalam perdagangan di Selat Malaka. Tjandrasasmita mengemukakan seiring dengan semakin meningkatnya perdagangan di Selat Malaka, pada saat itu Selat Malaka berada ditengah jalur perdagangan dunia, antara dua kerajaan Besar, Dinasti Abbasyiah di Timur Tengah dan Dinasti Tang di daratan Cina. (Tjandrasasmita: 1982). Oleh sebab itu Selat Malaka menjadi jalur yang cukup pada dari tahun ke tahun. Kemudian kisaran abad 12 M, perdagangan di pantai timur Sumatera tetap diramaikan oleh pedagang-pedagang Islam. Bersamaan dengan aktivitas perdagangan tersebut proses kontak budaya Islam dengan budaya Minangkabau tetap berlanjut. Kontak budaya tersebut berjalan cukup intensif dengan munculnya kerjaan Kuntu Kampar yang masyarakatnya telah menganut Islam. Proses Islamisasi tersebut abad ke-13 sampai abad ke-15 dilanjutkan dibawah bianaan kerajaan Samudra Pasai di Aceh dan Kerjaan Malaka di Semenjung Melayu. Dengan begitu intensifnya kontak-kontak budaya di Pesisir Timurt Sumatera, maka kemudian banyak pedagang dan santri-sasntri Islam yang sengaja berdatangan ke Pedalaman Minanagkabau. Barangkali dari kegiatan santri-santri itu munculnya istilah “Urang Siak” di Minangkabau kepada orang-orang yang pintar mengaji, mendoa, dan membaca al-Quran serta memiliki laku perangan yang saleh. Mereka-meraka ini yang diperkirakan menjadi penyebar-penyebar Islam dari daerah timur tersebut. Untuk lebih jelasnya baca, Burhanuddin Daya, Gerakan Pembaharuan Pemikiran Islam Kasus SumateraTawalib. Yogyakarta: PT. Tiara Wacana. 1995. hal.35.; Baca juga MD Mansoer.”Masuk dan Berkembangnya Agama Islam di Minangkabau” Makalah Seminar Islam di Minanagkabau. Padanga. 1969.; Baca juga. Uka Tjandrasasmita (edt.). Sejarah nasional Indonesia III. JakartaThesis magister Humaniora pada Program Studio Arkjeologi. PPS-UI. 1994. hal.75-80. Depdikbud. 1982; Herwandi . Nisan-Nisan di Situs Mejan Tinggi, Desa talago Gunung, kabupaten tanah datar, sumatera Barat: kajian kelanjutan Budaya Tradisi megalitik ke Budaya Islam”,

[18]Asmadiar Idris. “Kerajaan Pagarruyung” dalam Menelusuri Sejarah Minangkabau. Padang: Citra Budaya Indonesia & LKAAM Sumatra Barat. 2002. Hal. 66-68.

[19] Ibid. Hal. 70.

[20] Ibid. hal. 71