Senin, 21 April 2008

KALIGRAFI ISLAM DI ALAM MELAYU :

KALIGRAFI ISLAM DI ALAM MELAYU :
REFLEKSI AKULTURASI (ABAD XIII-XIV M)
Oleh : Herwandi


1. Pendahuluan
Kaligrafi di dalam masyarakat islami identik dengan seni khat yang lebih menekankan seni lukisan indah daripada seni lukis.1 Seni ini telah tersebar luas hampir ke segala pelosok dunia seiring dengan masuknya pengaruh Islam ke daerah-daerah tersebut. Oleh sebab itu, sejarah perkembangan kaligrafi Islam telah melalui perjalanan panjang dan memperlihatkan dinamika yang hidup dalam kebudayaan masyarakat setempat yang didatangi dan dipengaruhinya. Kaligrafi Islam bukan saja mewarnai kehidupan seni di daerah tersebut, namun mampu berdiri tegak pada baris depan sehingga menghasilkan berjenis-jenis tulisan yang populer, seperti tulisan kufi, andalusi, behari, shini, naskhi, nastalig, taglik, dan lain-lainnya.2
Alam Melayu di samping berkonotasi geografis juga berdimensi kebudayaan. Wilayah kebudayaan Melayu yang terbentang luas dari Semenanjung Malaysia, kepulauan Indonesia sampai ke Fhilipina, bahkan menyusuri jauh ke Lautan Pasifik di sebelah timur dan pantai timur Afrika di sebelah barat di beberapa kawasan tertentu kental dipengaruhi oleh Islam.3 Berdasarkan data arkeologis, kaligrafi Islam telah diperkenalkan di Alam Melayu semenjak abad ke-11 M dan dapat dikatakan telah menyebar semenjak abad ke-13 M. Munculnya kerajaan Islam Samudera Pasai pada abad ke-13 M4 menjadi pusat pengembangan agama Islam di Alam Melayu membawa tumbuh suburnya kaligrafi Islam di kawasan ini. Begitu juga ketika kerajaan Malaka menjadi pusat tamaddun5 Islam antara abad ke-15 dan 16 M, kaligrafi Islam tumbuh dengan baiknya. Paling tidak dari abad ke-13 M sampai 16 M di wilayah kerajaan-kerajaan Melayu Islam telah berkembang beberapa jenis tulisan yang populer di dunia Islam lainnya, seperti tulisan kufi dan naskhi, bahkan di Alam Melayu tumbuh sejenis tulisan yang khas, yaitu tulisan jawi.6
Kaligrafi Islam di Alam Melayu telah memperlihatkan perkembangan yang menarik karena merefleksikan bagaimana kreativitas budaya Melayu berperan aktif dalam menerima kedatangan pengaruh Islam. Dengan demikian, kaligrafi Islam diselaraskan, diinteraksikan dengan budaya setempat yang pada akhirnya bermuara menghasilkan produk seni yang akulturatif.
Tulisan ini sengaja menyoroti kaligrafi Islam sebagai hasil akulturasi antara unsur-unsur kebudayaan Melayu sebelum Islam dengan Islam. Tulisan ini berlandaskan data arkeologi Islam, terutama inskripsi-inskripsi warisan masa Kerajaan Samudera Pasai dan Malaka dari abad ke-13 M sampai abad ke-16 M.7

2. Benda Budaya dan Akulturasi
Arkeolog sering mengatakan benda budaya merupakan fossilized behavior,8 berisi endapan-endapan budaya, baik berupa aktivitas maupun berupa budaya ide. Oleh sebab itu, benda budaya dapat merekleksikan dan mewakili suatu zaman. Dalam konteks yang tidak berbeda, benda seni sebagai benda budaya merupakan cerminan budaya di mana ia tumbuh dan pada masa apa ia muncul. Benda seni pada akhirnya berisi muatan budaya, pantulan budaya dan merefleksikan peristiwa-peristiwa budaya pada masa kekiniannya.
Sejarah kebudayaan di Alam Melayu penuh dengan peristiwa kontak budaya yang pada gilirannya kemudian menimbulkan akulturasi, yaitu proses perpaduan dua budaya yang berbeda akibat adanya kontak budaya tersebut. Di dalam literatur-literatur antropologi dikatakan ada dua jenis akulturasi yang berkemungkinan muncul ketika terjadinya kontak budaya. Pertama, akulturasi ekstrem (Extreme Accultiration) akulturasi yang negatif memunahkan unsur-unsur budaya asli. Kedua, akulturasi yang memberikan peluang kepada kebudayaan asli untuk berkembang mengintegrasikan dirinya dengan kebudayaan luar (a lessextreme acculturation).9 Akulturasi jenis kedua masih memperlihatkan local genius, adanya unsur dan ciri kebudayaan asli yang mampu bertahan dan mempunyai kemampuan untuk mengakomodasikan unsur budaya dari luar serta mengintegrasikan dalam kebudayaan asli.10 Akulturasi jenis ini merefleksikan adanya kreativitas budaya untuk mempertahankan unsur-unsur budaya asli oleh pendukungnya sehingga ketika menghadapi serangan budaya dari luar tidak tercerabut dari akar budaya mereka. Oleh sebab itu, akulturasi jenis ini dapat disebut akulturasi positif.
Kaligrafi Islam di Alam Melayu, sebagai benda budaya, jelas merefleksikan adanya proses akulturasi budaya Melayu pra-Islam dengan kebudayaan Islam. Kaligrafi Islam di kawasan ini telah melalui proses akulturasi dan memasuki wilayah kebudayaan yang kreatif.

3. Kaligrafi Islam di Alam Melayu
3.1. Kaligrafi Islam Tertua

Jauh sebelum munculnya kerajaan Samudera Pasai dan Malaka telah dijumpai bukti-bukti kaligrafi Islam di Alam Melayu. Semenjak abad ke-11 M telah muncul batu nisan yang berisi tulisan Arab yang memperlihatkan kecenderungan gaya tulisan yang khas. Jika diperhatikan temuan-temuan arkeologi Islam di Alam Melayu, paling tidak tercatat dua batu nisan yang benar-benar memperlihatkan munculnya kaligrafi Islam tertua di wilayah ini, yaitu batu nisan yang ditemui di Phanrang (Vietnam) dan batu nisan di Leran (Jawa Timur).
Di daerah Phanrang, tepatnya di suatu tempat bernama Padurangga terdapat batu nisan dari seorang tokoh bernama Ahmad. Di batu nisan itu terukir inskripsi yang bertuliskan tulisan Arab bergaya kufi tua berisi kalimat antara lain “Ahmad bin Abu Ibrahim, bin Abu Aradah, yang Radhar, nama samaran Abu Kamil yang meninggal dunia pada malam Kamis 29 Safar empat ratus tiga puluh satu H’’ (1039 M). Di daerah Leran (Jawa Timur) ditemukan sebuah batu nisan seorang tokoh bernama Fatimah binti Maimun yang wafat tahun 475 H (1082 M).11 Jika dibandingkan, kedua batu nisan tersebut memperlihatkan kemiripan yang dekat sekali sama-sama ditulis dengan tulisan kufi tua.12
Kedua inskripsi di masing-masing batu nisan itu memperlihatkan gaya tulisan yang relatif berbeda dengan inskripsi-inskripsi yang muncul kemudian, terutama masa-masa kejayaan Kerajaan Samudera Pasai dan Malaka antara abad ke-13 dan 16 M. Pemakaian tulisan kufi tua pada kedua nisan itu dapat dianggap sebagai babak awal perkembangan kaligrafi Islam di Alam Melayu.

3.2. Kaligrafi Islam masa Kerajaan Samudera Pasai dan Malaka
3.2.1. Jenis Tulisan

Perkembangan Islam di Alam Melayu baru tumbuh dengan suburnya setelah munculnya Kerajaan Samudera Pasai dan Malaka sebagai pusat pengembangan agama dan tamaddun Islam di kawasan ini. Bukti-bukti peninggalan kaligrafi Islam masa ini sebagian besar masih dapat dilihat sampai sekarang ini, tersebar di beberapa tempat di Indonesia maupun di Semenanjung Malaysia. Temuan-temuan peninggalan kaligrafi dapat brupa nisan yang belum difungsikan ataupun berupa nisan dan makam para raja, ulama yang berpengaruh pada zamannya.13
Secara garis besar, kaligrafi Islam masa Kerjaan Samudera Pasai dan Malaka sebetulnya dapat digolongkan dalam dua kategori, yaitu berupa inskripsi dengan memakai “tulisan gores” atau “tulisan timbul” dan berupa naskah kuno islami. Dari data penanggalan pada inskripsi tersebut dapat disimpulkan kaligrafi Islam telah tumbuh subur semenjak akhir abad ke-13 M (kaligrafi Islam terawal pada masa ini tenukil di nisan Sultan Malik as Saleh di Samudera Pasai yang berangka tahun 1297 M).14 Kaligrafi berupa naskah-naskah kuno islami merupakan hasil pikiran dari penulis-penulis Islam yang berkarya di zaman kejayaan kerajaan-kerajaan tersebut, berisikan cerita-cerita kesejarahan dan ajaran keagamaan. Berbeda dengan kaligrafi, inskripsi pada nisan dan makam yang masih dapat dijumpai di tempat awalnya (in situ), kaligrafi dalam naskah-naskah kuno islami sangat sulit dijumpai kalau tidak tepat untuk dikatakan tidak ada lagi, meskipun tadi penulisan naskah itu diperkirakan sudah dimulai semenjak abad ke-14 M.15
Perkembangan kaligrafi Islam pada masa kejayaan Kerajaan Samudera Pasai dan Malaka boleh dianggap sebagai perkembangan tahap kedua di Alam Melayu karena ditandai dengan populernya jenis tulisan lain dari masa sebelumnya. Pada tahap ini pemakaian tulisan ‘kufi tua’ seperti sudah kurang diminati lagi, tetapi malah pemakaian tulisan naskhi muncul dengan suburnya. Secara garis besar temuan-temuan kaligrafi Islam di masa ini paling sering mempergunakan tulisan naskhi. Meskipun begitu, pada temuan-temuan tertentu ada kecenderungan untuk memakai dua jenis tulisan, yaitu naskhi dan kufi. Othman Mohd. Yatim (1988) berkesimpulan bahwa tipe dan jenis tulisan yang banyak dipakai pada inskripsi-inskripsi Batu Aceh di daerah Semenanjung Malaysia adalah tulisan naskhi dan kufi tua.16 Sementara itu, Husaini Ibrahim (1994) yang meneliti data tekstual di makam Islam masa Samudera Pasai berkesimpulan bahwa di daerah ini tulisan yang paling sering dipergunakan adalah tulisan naskhi yang kadang-kadang disertai dengan pemakaian tulisan kufi, terutama tulisan kufi ornamental.

3.2.2. Petikan Ayat Al Quran dan Syahadah

Di dalam kaligrafi Islam di masa Kerajaan Samudera Pasai dan Malaka banyak mengutip ayat-ayat Al Quran dan syahadah sebagai objek tulisan. Ayat Al Quran yang ternukil pada nisan dan makam kuno Islam masa Kerajaan Samudera Pasai cukup bervariasi, tediri bermacam-macam surat dan ayat. Husaini Ibrahim (1994) menjelaskan ada beberapa ayat kursi (Al Baqarah, ayat 255), Surat At Taubah, ayat 21 dan 22, 23 dan 24.17 Untuk lebih jelasnya dapat dilihat tabel 1. berikut ini.
Tabel 1
Ayat-ayat Al Quran Yang dipetik dalam Nisan
Batu Aceh dan Makam-makam Islam di Kerajaan Samudera Pasai

Nama Surat Ayat Frekuensi Nama Surat Ayat Frekuensi
- Al Baqarah




- Ali Imran




- Al An’am
- Al A’raf
- Al Ankabut
- Saba’
- Yaa siin



- Ash-Shaffaat
- Az-Zumar

- Fush Shilat
- Al Jaatsiyah

- Ar Rahman 148
156
255
285
286
18
19
27
28
29
100
22
64
37
56
57
78
81
158
73
74
30
35
36
26 1
1
10
1
2
8
4
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
2 - Al A’raf


- At Taubah

- Al Kahfi
- Al Mukmin


- Al Qashah


- Ar Rahman
- Al Hasyr


- Al Ma’arj 128
169
170
21
22
9
12
13
14
45
68

27
22
23
24
18
19
20
21
22
23
1
1
1
5
5
1
1
1
1
2
1

2
6
4
4
1
1
1
1
1
1
Sumber: Diolah dari, Husaini Ibrahim. Data Tekstual Pada Makam Islam di Kecamatan Samudera Pasai Aceh Utara Hubungannya dengan Perkembangan Kerajaan Samudera Pasai, Tesis Magister Humaniora. Jakarta: UI. 1994. hal. 125-127

Othman Mohd. Yatim (1988) mengemukakan dalam kaligrafi Islam yang ternukil di Batu Aceh yang dijumpai di Semenanjung Malaysia paling sering mengutip Al Quran Surat Al Qashash, ayat 88. dan Ar Rahman, ayat 26.18 Untuk lebih jelasnya lihat pada tabel 2. berikut:
Tabel 2
Ayat-ayat Al Quran yang dipetik dalam Nisan
Batu Aceh di Semenanjung Malaysia

Nama Surat Ayat Frekuensi Nama Surat Ayat Frekuensi
- Al Baqarah
- Ali Imran







- At Taubah

- Yunus 255
17
18
19
25
26
27

185
128
129
62 1
1
3
1
2
1
1

2
1
1
1 - Thana
- Al Ambiyaa
- Al Qashash
- Al Angkabut
- Ar Rahman



- Al Hasyr 55
35
88
57
26
27
28

21
23
24 1
1
4
2
4
2
1

1
1
1

Sumber: Diolah dari, Othman Mohd. Yatim. Batu Aceh Early Islamic Gravestones in Paninsular Malaysia. Kuala Lumpur: United Selangor Press. Sdn. Bhd. 1988. hal. 68-69.

Di samping penggunaan petikan ayat-ayat Al Quran dalam kaligrafi Islam, baik yang dijumpai di wilayah kerajaan Samudera Pasai maupun Malaka, penggunaan syahadah juga sering dijumpai. Untuk itu lihat tabel 3 dan 4 berikut:

Tabel 3
Penggunaan Syahadah dalam Nisan
Batu Aceh di Ker. Samudera Pasai

Nama Situs Frekuensi
- Tgk. Samudera
- Kt. Karang
- Tgk. Sidi
- Tgk. Syarif
- Naina Hasamuddin
- Hatee Bale
- Tgk. Di Iboh
- Tgk. Said Syarif 1
5
2
1
1
1

Sumber: Husaini Ibrahim. Data Tekstual Pada Makam Islam Kecamatan Aceh Utara Hubungannya dengan Perkembangan Kerajaan Samudera Pasai. Tesis Magister Humaniora. Jakarta. UI. 1994, hal. 129.

Tabel 4
Penggunaan Syahadah dalam Nisan
Batu Aceh Semenanjung Malaka

Nama Daerah Frekuensi
- Pahang
- Johore
- Perak
- Kedah
- Perlis
- Melaka
- Trengganu 3
6
8
3
5
1
1
Sumber: Othman Mohd. Yatim. Batu Aceh Early Islamic Gravestones in Paninsular Malaysia. Kuala Lumpur: United Selangor Press. Sdn. Bhd. 1988. hal. 71.

Banyaknya digunakan petikan ayat suci dan syahadah memperlihatkan betapa Al Quran benar-benar dijadikan sumber inspirasi aktivitas seni umat muslim. Kenyataan ini menjelaskan kolerasi langsung antara Al Quran sebagai Kitab Suci berisi pedoman segala aktivitas dengan benda seni sebagai hasil aktivitas seni di masa kejayaan Kerajaan Samudera Pasai dan Malaka.

3.2.3. Petikan Puisi dan Ayat Al Quran yang Berbau Tasauf.

Selain ayat-ayat suci Al Quran dan syahadah, di dalam temuan kaligrafi Islam masa Kerajaan Samudera Pasai dan Malaka ditemukan juga puisi-puisi sufi yang merupakan refleksi langsung dari masyarakat dan ide yang melestarikan seni tersebut. Hal ini jelas membuktikan pada masa Kerajaan Samudera Pasai dan Malaka mencapai keemasannya telah tumbuh pula dalam masyarakatnya kehidupan tasauf. Dari temuan arkeologi dapat diberikan beberapa contoh hasil kaligrafi yang kental dipengaruhi oleh ide kesufian, sebutlah misalnya kaligrafi yang terdapat dalam inskripsi nisan Malik as Saleh di Samudera Pasai, Sultan Mansyur Syah di Malaka, Raja Fatima dan Raja Jamil di Nibong.
Kaligrafi yang tertera di nisan Sultan Malik as Saleh di Samudera Pasai dan makam Sultan Mansyur Syah di Malaka jelas merefleksikan unsur-unsur tasauf. Pada kedua temuan ini terdapat tulisan sebagai berikut.19
Innama d-dunya fana Laisa d-dunya syabut
Ala. Innama d-dunya kabaiti Nassjathui l-angkabut
Terjemahannya :
‘Sesungguhnya dunia itu fana, dunia itu tiadalah kekal, sesungguhnya dunia ibarat sarang yang ditenun laba-laba’.

Pada nisan kubur Raja Fatima dan Raja Jamil di Makam Nibong terdapat pula tulisan bersyair sebagai berikut :20
Alamautu kasun wakullu n-nas syaribun
Alamautu bab wakullu n-nas dakhiluh
Terjemahnya:
‘Kematian ibarat sebuah cangkir, yang sama semua orang akan minum dengannya. Kematian adalah sebuah pintu di mana semua orang akan masuk’.

Di samping itu pada nisan kepala makam Sultan Abdul Jalil, keturunan Sultan Mansyur Syah Malaka di jumpai puisi sufi sebagai barikut:21
Ala innama d-dunya fana Laisa d-dunya subut
Innama d-dunya kabaiti Nasajatha l-angkabut
Ayyuh az-za in minha qalaqad yakfika qut
Waqalililu l-umri fika laka mahmumun sumut
Terjemahannya:
‘Wahai (ingatlah) sesungguhnya dunia itu fana tiada kekal
Sesungguhnya dunia ini umpama sarang yang ditenun laba-laba
Hai mereka yang akan berpisah dengan dunia, memadailah apa yang telah engkau peroleh. Dalam usia yang terlalu pendek, engkau dirundung duka nestapa’

Menurut Uka Tjandrasasmita kalimat-kalimat yang tertera pada kaligrafi di atas berisi gambaran kefanaan dunia yang selalu didengung-dengungkan di dalam tasauf.22
Selain dari puisi tersebut dalam kaligrafi Islam masa kerajaan Samudera Pasai dan Malaka terdapat ayat Al Quran yang merefleksikan unsur-unsur tasauf, antara lain adalah Surat Al Baqarah, ayat 156, Surat Ar Rahman, ayat 26, 27, dan Surat Al Angkabut, ayat 57.
Di makam Sultan Nahrisyah di Kuta Karang, Samudera Pasai dijumpai ayat Al Quran surat Al Baqarah ayat 156 yang berbunyi:23
Inna I-illa wa inna ilaihi raji’un
Terjemahannya:
‘Sesungguhnya kami milik Allah dan kepada-Nya lah kami kembali’.

Sedangkan di makam Fatima yang dijumpai di situ yang sama dengan Sultan Nahrisyah terdapat ayat Al Quran Surat Ar Rahman, ayat 26 dan 27 yang berbunyi:24
Kullu man ‘alaihi fanin. Wayabqa wajhu rabbika zu l-jalali
Wa l-ikram
Terjemahannya:
‘Semua yang ada di bumi akan binasa. Dan tetap kekal zat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan’

Sementara itu, di nisan kubur Marhum Badarah Putih di Pogoh (Misai) di Semenanjung Malaka ditemukan kaligrafi berisi Surat Al Angkabut, ayat 57,25
Kullu nafsin zaikatas l-mautu tsumma ilaina turja’un
Terjemahannya:
‘Tiap-tiap yang berjiwa akan merasai mati kemudian hanyalah kepada kami kamu kembali’

4. Refleksi Akulturasi dalam Kaligrafi Islam di Alam Melayu
4.1. Refleksi Akulturasi

Temuan kaligrafi Islam di Alam Melayu antara abad ke-13 M sampai 16 M masa kejayaan Kerajaan Samudera Pasai dan Malaka merefleksikan peristiwa akulturasi. Pada temuan-temuan tersebut dapat dilihat betapa kreativitas seni mampu menginteraksikan unsur seni Melayu pra-Islam sehingga berhasil bertahan dan mengakomodasikan unsur seni Islam. Unsur-unsur tradisi seni Melayu pra-Islam berperan menyediakan “bingkai” yang kemudian dimasuki oleh kaligrafi Islam sehingga menjadi sesuatu yang berurat berakar dalam budaya Melayu.
Akar budaya untuk menjadikan batu sebagai media utama penuangan karya seni sudah mulai semenjak zaman neolitik, terutama pada masa tradisi megalitik berkembang dengan suburnya.26 Pada masa itu banyak motif yang sengaja ditempatkan di atas batu sebagai media utama. Tradisi yang menggunakan batu sebagai media untuk seni juga bertahan pada zaman Hindu-Budha, bahkan pada masa Islam. Kalau diperhatikan bentuk arsitektural batu nisan, media utama tempat penuangan kaligrafi Islam di Alam Melayu antara abad ke-13 sampai 16 M, dapatlah dilihat adanya kreativitas untuk mempertahankan seni arsitektur masa pra-Islam. Hasan M. Ambary (1988) mengemukakan bahwa bentuk batu nisan yang muncul pada masa Samudera Pasai secara umum selalu menampakkan adanya keberlanjutan unsur budaya pra-Islam: bentuk nisan sayap bucranc adalah yang mirip dengan tanduk kerbau mengingatkan kita dengan pola hias arsitektural rumah-rumah tradisional di Indonesia; bentuk persegi panjang dikatakan hampir merupakan sebuah miniatur menhir pada zaman neolitik serta dengan bentuk gada pada zaman Hindu-Budha.27
Sebelum Islam berpengaruh luas di Alam Melayu, tradisi seni kaligrafi sudah ada. Masyarakat pendukung kebudayaan Budha-Hindu di wilayah ini sudah banyak menghasilkan kaligrafi berupa prasasti yang ternukil di atas batu oleh raja dan pendeta yang berpengaruh saat itu. Prasasti itu dikerjakan dengan teknik menggores maupun dengan tulisan, dengan menggunakan tulisan Pallawa dan bahasa Sanskerta.28 Teknik penulisan pada prasasti zaman Hindu-Budha masih berlanjut pada masa Islam ketika kaligrafi Islam muncul dengan suburnya. Hal ini terlihat dengan jelas karena kaligrafi Islam juga mengenal dua teknik penulisan, yaitu dengan tulisan gores dan tulisan timbul.
Dalam kaligrafi Islam di Alam Melayu antara abad ke-13 dan 16 M nampak adanya usaha dan kreativitas untuk memadukan dua tulisan dan dua bahasa yang berbeda seperti yang dijumpai pada nisan Ratu Al Ala (wafat tahun 1388 M) di Samudera Pasai. Pada nisan itu dijumpai kalimat yang memakai bahasa dan tulisan Arab bersamaan dengan tulisan Kawi.29 Begitu juga pada batu nisan Ahmad Majanu (wafat tahun 1467 M) di Pangkalan Kempas, Semenanjung Malaysia. Pada batu nisan itu ada usaha untuk memadukan tulisan Kawi dengan tulisan Jawi pada suatu bidang.30
Tulisan Jawi sebetulnya merupakan suatu hasil usaha dan kreativitas untuk memadukan antara tulisan Arab dengan bahasa Melayu sehingga huruf Arab tertentu harus mengalami penyesuaian. Tulisan Jawi berhasil tampil dengan corak yang khas, berbeda jika dibandingkan dengan tulisan lainnya. Tulisan ini diperkirakan sudah muncul di Alam Melayu semenjak awal abad ke-14 M. Bukti tertua tentang munculnya tulisan ini dijumpai di daerah Sungai Teresat Kuala Berang, Trengganu berupa batu bersurat berangka tahun 702 H (1303 M). Batu bersurat itu berisikan undang-undang dan hukum Islam yang dipakai di Trengganu awal abad ke-14 tersebut.31

4.2. Kaligrafer dan Hubungannya dengan Para Ulama dan Kalangan Istana.

Di situs kampung pandai di Aceh Besar banyak dijumpai nisan berisi kaligrafi Islam yang belum difungsikan dalam bentuk kasar maupun yang “siap pakai”. Dari tofoname situs Kampung Pandai, Uka Tjandrasasmita 32 pernah mengungkapkan bahwa ada kemungkinan Kampung Pandai adalah suatu situs perbengkelan, di sekitarnya bertempat tinggal para pengrajin, tukang, atau ‘pandai’ yang mempunyai keahlian membuat nisan. Pada sisi tertentu barangkali para pandai itu mempunyai keahlian dalam membuat kaligrafi Islam dan dapat dikatakan sebagai kaligrafer.
Dari temuan yang dijumpai di sekitar situs Kampung Pandai maupun situs lainnya, ada kemungkinan para pandai telah mempunyai pengetahuan dan pemahaman tentang tasauf, dan barangkali telah terjadi semacam kerja sama yang erat antara mereka dengan ulama dan kalangan sufi dalam aktivitas mereka. Hal ini sesuai dengan apa yang diungkapkan oleh Azyumardi Azra (1990) bahwa telah terjadi semacam kerja sama dan afiliasi yang erat antara kaum sufi dengan para pengrajin yang di dalam memainkan perannya dalam dunia Islam.33
Dari data arkeologis yang banyak dijumpai di situs para bangsawan dan raja, dapat dikatakan bahwa kaligrafi Islam menduduki posisi dan tempat tersendiri di dalam kegiatan seni masyarakat Melayu. Semenjak perkembangan awalnya seni ini selalu memperlihatkan gejala elitisme dan istana. Kaligrafi Islam banyak dipakai oleh para ulama dan kalangan bangsawan istana. Kondisi seperti itu barangkali menjadi pemicu tumbuh suburnya kaligrafi pada masa tersebut.

5. Epilog
Temuan arkeologi berupa inskripsi-inskripsi Islam dapat dijadikan sumber kajian kaligrafi Islam di Alam Melayu. Sebagai benda budaya, kaligrafi Islam memantulkan peristiwa budaya yang muncul pada saat kekiniannya. Oleh sebab itu, kaligrafi Islam dapat merefleksikan adanya peristiwa akulturasi.
Di dalam peristiwa akulturasi seni islami di alam melayu antara abad ke-13 sampai 16 M, para pandai menempatkan diri sebagai kaligrafer yang mempunyai kreativitas untuk melakukan akulturasi seni dan bertindak sebagai penggeraknya. Para pandai dalam kegiatan mereka mengadakan afiliasi yang erat dengan para ulama dan kaum sufi sehingga menghasilkan produk seni islami yang bernilai tinggi.
Dalam kaligrafi Islam di Alam Melayu antara abad ke-13 sampai 16 M tertuang beberapa kutipan ayat Al Quran dan puisi-puisi sufi. Dari kenyataan ini dapat dikatakan kaligrafi Islam bukan hanya sebagai sarana penuangan rasa dan nilai keindahan, tetapi juga sarana penuangan konsepsi tentang sikap, cita-cita, dan dambaan seorang muslim dalam menjalani kehidupan yang “selamat’ di dunia dan “selamat” di akhirat, bahkan sampai kembali ke “Asal”.

Catatan-catatan:
1. Kaligrafi Islam pada intinya menekankan seni tulisan indah. Dalam hal ini yang lebih menonjol adalah keindahan huruf. Akhir-akhir ini, terutama di Indonesia, telah muncul suatu aliran dalam seni tulisan indah. Aliran ini sepertinya mengabaikan keindahan dalam kaligrafi Islam, tetapi lebih menonjolkan lukisan kaligrafi sehingga aliran ini sering disebut-sebut dengan aliran “pemberontak”. Lebih lanjut lihat. Drs. D. Sirojudin AR. Seni Kaligrafi Islam. Jakarta: Multi Kreasi. 1992. hal. 164-168.

2. Secara garis besar, bentuk tulisan yang muncul dalam kaligrafi Islam dapat dipilah-pilah atas bentuk huruf dan daerah tempat munculnya. Tulisan naskhi, taglik, nastalik lebih populer karena bentuk hurufnya: naskhi adalah tulisan berbentuk kreasif bergerak berputar (rounded); taglik adalah jenis tulisan yang menggantung, sedangkan nastalik adalah jenis tulisan yang merupakan paduan antara taglik dan naskhi. Tulisan lain seperti tsuluth (‘’tulisan sepertiga”) yang mempunyai perimbangan garis lurus terhadap garis lengkungnya tidak sama, riq’ah (tulisan cepat), diwani dan diwani jali yang bercorak miring bersusun, tumpang tindih dapat digolongkan berdasarkan bentuk huruf. Sehingga tulisan kufi (dari Kufah), andalusi dari Andalusia, behari dari India, dan shini dari Cina dapat digolongkan berdasarkan daerah tempat munculnya.

3. Ismail Husein et.al. Tamaddun Melayu. Jilid Satu. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian Pendidikan Malaysia. 1993. hal.xiii. Saat ini ada empat pengertian tentang masyarakat Melayu: yaitu dunia Melayu di Semenanjung Melayu bangsa yang tinggal di Semenanjung Malaysia; kedua termasuk orang Cina di daerah itu meskipun tidak beragama Islam tetapi ikut memakai bahasa Melayu; ketiga, pengertian Melayu Serumpun yang meliputi Indonesia, Brunei, Malaysia; dan pengertian keempat Melayu Polinesia yang melingkupi Asia Tenggara. Pendapat ini dilontarkan oleh Prof. Firdaus Haji Abdulah. Untuk selanjutnya baca Prof. Firdaus Haji Abdulah, ‘’Istilah Melayu perlu Referensi,’’ Harian Umum Independen Singgalang, Senin, 16 Desember 1996. hal. 1.

4. Kerajaan Samudera Pasai didirikan oleh Sultan Malik as Saleh yang memerintah sampai tahun 1297 M di utara Sumatra. Berturut ia digantikan oleh Sultan Muhammad (1927-1326), Sultan Malik az Zahir (1326-1345), Sultan Mansur Malik az Zahir (1326-?), Sultan Ahmad Malik az Zahir (1346-1383), Sultan Zain bin Abidin Malik az Zahir (1383-1405), Sultanah Nahrisyah (1405-1412), Sultan Sallah Ad-din (1405-1412), Abu Zaid Malik az Zahir (1455-1477), Zai al-Abidin (1477-1500), Abd-Allah Malik az Zahir (1501-1513), dan Sultan Zain al-Abidin (1513-1524) yang merupakan Raja terakhir karena ditaklukkan oleh Sultan Ali Mukhayat Syah dari Aceh Darussalam. Baca T. Ibrahim Alfian. Seri Penerbitan Museum Negeri Aceh: Mata Uang Emas Kerajaan-kerajaan di Aceh. Banda Aceh: Proyek Rehabilitasi dan Perluasan Museum Daerah Ist. Aceh. 1979. hal. 1527.

5. Kerajaan Malaka didirikan oleh Parameswara yang memerintah dari tahun 1403. Pada tahun 1414 ia memeluk agama Islam dan mengubah namanya dengan Mengat Iskandar Syah, yang memerintah sampai tahun 1421. Ia kemudian digantikan oleh Sultan Muhammad Syah (1424-1444). Selanjutnya secara berurutan memerintah Raja Ibrahim Sri Prameswara Dewa Syah (1444-1446), Sultan Muzafar Syah (1446-1456), Sultan Mansor Syah (1456-1477), Sultan Alaudin Riayat Syah (1477-1488), Raja Mahmud Syah (1488- 1511), yang mangkat di Kampar tahun 1529. Baca Yahya bin Abu Bakar “Malaka Sebagai Pusat Penyebaran Islam di Nusantara”, dalam Abdul Latif Abu Bakar. Sejarah di Selat Malaka. Kuala Lumpur: United Selangor Press Sdn. Bhd. 1984. Hal. 28-46.

6. Istilah jawi berasal dari perkataan Arab jawah dan jawi yang merujuk pada daerah sekitar Asia Tenggara dan penduduknya. Baca Prof. Madya Dr. Hj. Aamat Juhari Moain. “Penyebaran Tulisan Jawi di Asia Tenggara dan Kajian Khusus Tulisan Jawi dalam Surat Ratu Jambi kepada Gubenor Jeneral Belanda di Batavia (April 1669)”, Makalah Seminar Sejarah Melayu Kuno. Jambi, 7-8 Desember 1992.

7. Inskripsi tertua di Samudera Pasai terdapat di nisan Sultan Malik as Saleh yang mangkat tahun 1297 M.

8. Mundardjito. “Hakekat Local Genius dan Hakekat Data Arkeologi”, dalam Aayatrohaedi (editor). Kepribadian Budaya Bangsa (local genius). Jakarta: Pustaka Jaya. 1986. Hal. 39-45.

9. Soejanto Poespowardijo. “Pengertian Local Genius dan Relevansinya dalam Modernisasi”, dalam Aayatohaedi (editor). ibid Koetjaraningrat. Metode-metode Antropologi dalam Penyelidikan Masyarakat dan Kebudayaan di Indonesia (Sebuah Ikhtisar). Jakarta: Penerbit Universitas. 1958. Hal. 440-441.

10. Soejanto Poespowardijo. ibid.

11. Hasan M Ambary. ‘’Kaligrai Islam Indonesia Dimensi dan Signifikasinya dari Kajian Arkeologi’’. (pidato pengukuhan jabatan ahli peneliti utama pada pusat penelitian Arkeologi Nasional). Jakarta. 18 Februari 1991. Hal. 6-7. Lihat juga. Dr. Othman Mohd. Yatim dan A. Halim Nasir. Epigrafi Islam Terawal di Nusantara. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementrian Pendidikan Malaysia. 1990. Hal. 7.

12. ibid.

13. Othman Mohd. Yatim telah membuat suatu tabel pendistribusian nisan-nisan batu Aceh baik di Samudera Pasai maupun di Semenanjung Malaysia. Lebih lanjut lihat Dr. Othman Mohd. Yatim. Batu Aceh Early Islamic Gravestones in Peninsular Malaysia. Kuala Lumpur: United Selangor Press Sdn. Bhd. 1998. Hal. 6-40.

14. Meskipun ada suatu nisan lagi memuat inskripsi bertulisan Arab, yaitu di makam Tuhar Amisurid Barus, Sumatra Utara, namun diperkirakan nisan ini berangka tahun 1206 M, jauh sebelum Samudera Pasai. Lihat Hasan M. Ambay. op. cit.

15. Deng Cho Ming. “Menyingkap Naskah-naskah Melayu”. Makalah dengan Kongres Internasional ke-23 Studi-studi Asia dan Afrika Utara. 25 Agustus 1986. Hal. 2-3.

16. Othman Mohd. Yatim (1988). op. cit. Hal 68-69.

17. Husaini Ibrahim. Data Tekstual pada Makam Islam di Kecamatan Samudera Pasai Aceh Utara Hubungannya dengan Perkembangan Kerajaan Samudera Pasai. Tesis Magister Humanoria. Jakarta: UI. 1994. hal. 125.

18. Othman Mohd. Yatim (1988). op. cit. Hal. 68-69.

19. Uka Tjandrasasmita. “Peranan Kaum Sufi dalam Penyebaran Islam dan Refleksinya pada beberapa Nisan Kubur di Sebagian Daerah di Asia Tenggara”, dalam Procedings Pertemuan Ilmiah Arkeologi V. Yogyakakrta, 4-7 Juli 1989. Lihat Ibrahim. op. cit. Hal.139.

20. Uka Tjandrasasmita. ibid.

21. Othman Mohd. Yatim (1988). op. cit. Hal. 140; (1990) op. cit. Hal 81.

22. Uka Tjandrasasmita. loc. cit.

23. Husaini Ibrahim. op. cit. 28.

24. ibid. 35.

25. Uka Tjandrasasmita. loc. cit.

26. Pada masa tradisi megalitik banyak motif yang dinukilkan di atas batu-batu berupa ragam hias flora maupun fauna.

27. Hasan Maurif Ambary. “Persebaran Kebudayaan Aceh di Indonesia Melalui Peninggalan Arkeologi Khususnya Batu-batu Nisan”, dalam Hasan Muarif Ambary dan Dr. Phil. Bachtiar Aly, MA. Aceh dalam Restrospeksi Budaya Nusantara. Jakarta: Intim. 1988. Hal. 9-16.

28. Baca Setyawati Sulaiman. Sejarah Indonesia. Djilid IA. Bandung. K.PP.K. Balai Pendidikan Guru. TT. Hal. 24.

29. Othman Mohd. Yatim (1990). op. cit. Hal. 24-25.

30. ibid. Hal. 66-69.

31. ibid. Hal. 45-52.

32. Di dalam perkuliahan “Arkeologi Islam Asia Tenggara”, di Pasca Sarjana UI, Uka Tjandrasasmita pernah mengungkapkan bahwa di situs Kampung Pandai, di Adeh Besar banyak berserakan batu Aceh yang masih belum di fungsikan, dan kemungkinan menurutnya merupakan situs perbengkelan (pabrik) pembuatan batu Aceh tersebut. Hal serupa penulis saksikan sendiri ketika membimbing mahasiswa SKI Fakultas Adab. IAIN Imam Bonjol ke Provinsi Aceh tahun 1996 dalam kuliah lapangan Arkeologi Islam.

33. Azyumardi Azra. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad ZVIII-XV.

Tidak ada komentar: