Senin, 21 April 2008

Menhir & Akar Budaya Pola Hias Minangkabau

MENHIR DAN AKAR BUDAYA POLA HIAS MINANGKABAU



Oleh: Herwandi
Jurusan Sejarah, Fakultas Sastra Universitas Andalas Padang


Abstract
West Sumatra province has many prehistoric archaeological sites. Most of the sites are found at Limapuluh Koto district. The kinds of archaeological finding at those sites are menhir (stone act), and some of them decorated. The decorated menhir at archaeological sites in Limapuluh Koto are decorated with many ornamental design like geometrical and floral design. That prehistoric ornamental design has linked with the Minangkabau traditonal ornamental design that are used at tradisional and modern buildings like house, surau, and mosque.


Kata kunci: menhir berhias, pola hias, akar budaya, Minangkabau.


Pengantar
Provinsi Sumatera Barat, khususnya Kabupaten Limapuluh Koto kaya akan peninggalan kebudayaan prasejarah, terutama peninggalan tradisi megalitik. Peninggalan tersebut ditemukan di permukaan tanah hak milik keluarga, suku, dan ulayat masyarakat, berserakan hampir di seluruh Kecamatan dan Nagari-Nagari (desa tradisional Minangkabau) penting seperti Belubus, Mahat, Koto Tinggi, Guguk, Suliki Gunung Mas, dan lain-lain, (TPTMSB: 1984). Salah satu jenis peninggalan arkeologis di Limapuluh Koto adalah menhir yang diberi hiasan. Apakah ada hubungan kesejarahan antara pola-pola hias yang terdapat di menhir di Limapuluh Koto dengan pola hias tradisional Minangkabau saat ini ?
Tulisan ini mencoba mengidentifikasi pola hias yang dipakai untuk meng-hiasi menhir yang berkembang pada masa megalitik di Limapuluh Koto dan ber-usaha menghubungkannya dengan pola-pola hias tradisional Minangkabau yang berkembang kemudian untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut.
Kajian yang mempergunakan menhir berhias sebagai objek utama bukan-lah sesuatu yang baru sama sekali, karena sebelumnya sudah ada yang melaku-kannya. Husnizon (1996) misalnya, meski mengkaji menhir berhias, tetapi kajian-nya tidak menghubungkan pola hias di menhir tersebut dengan pola hias tradisio-nal yang berkembang di Minangkabau kemudian. Meskipun begitu kajian tersebut telah memberi kontribusi banyak dalam kajian ini.

Menhir Berhias di Limapuluh Koto
Di dalam masyarakat Minangkabau istilah yang dipergunakan untuk menhir adalah batu tagak. Istilah ini tidak jauh berbeda artinya dengan pengertian yang biasanya dipergunakan dalam dunia keilmiahan, terutama bagi arkeolog di Indonesia. Berdasarkan pe¬nelitian terdahulu kata menhir yang berasal dari bahasa Breton --Inggris Utara, berarti batu berdiri (Sukendar 1993, 1). Sedangkan kata batu tagak jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia berarti batu berdiri, seperperti arti yang biasa digunakan dalam dunia keilmiah¬an, para arkeolog di Indonesia (Herwandi: 1993: 1).
Menhir adalah produk tradisi megalitik, tradisi yang telah muncul semen-jak prasejarah yang menggunakan batu-batu besar sebagai materi kebudayaan; mega berarti besar, lithos berarti batu (Kartodirdjo: 1975: 195). Lebih jelasnya menhir termasuk salah satu produk budaya yang terikat erat dengan tradisi batu besar. Sejarah pendirian menhir telah meliputi kurun waktu yang cukup lama, berlangsung semenjak zaman neolitik. Menhir pada awalnya dapat digolongkan ke dalam produk tradisi megalitik tua yang telah muncul semenjak awal tradisi itu, meskipun demikian tradisi pendirian menhir masih berlanjut sampai sekarang ini. Prinsip pendirian menhir berkaitan erat dengan unsur penghormatan dan pengagungan arwah nenek moyang, dan sering dihubungkan dengan kesakralan dan kesaktian lelu¬hur (Sukendar: 1980, 82). Hal ini terjadi karena manusia pendukung tradisi megalitik beranggapan bahwa nenek moyang yang telah meninggal, arwahnya dianggap ma¬sih hidup terus di dunia arwah, dan bersemayam di tempat-tempat yang tinggi (Soejono: 1987). Oleh sebab itu tidak jarang menhir dijadikan seba¬gai benda sakral, didirikan di tempat-tempat yang tinggi, atau dibuat sedemikian rupa menghadap ke tem¬pat-tempat yang dianggap suci.
Di Sumatera Barat menhir banyak terdapat di wilayah Kabupa¬ten Limapu-luh Koto, meskipun dijumpai juga di beberapa kabupaten lain seperti Tanah Datar dan Solok namun dalam jumlah yang tidak banyak. Di Kabupaten Limapuluh Ko-to menhir-menhir tersebut umumnya terletak di atas bukit yang berketinggian an-tara 210-540 meter di atas permukaan laut. Berdasarkan penelitian terdahulu men-hir-menhir di Kabupaten Limapuluh Ko¬to telah muncul pertama kali ±1500 th yang lalu, sekitar awal-awal abad pertama masehi (TPTMSB: 1984: 37). Pada menhir-menhir di Kabupaten Limapuluh Koto, unsur penghormatan dan pengagungan arwah nenek moyang kelihatan jelas sekali. Menhir yang cenderung didirikan di atas bukit-bukit dan arah hadap dominan ke satu arah, ke Gunung Sago merefleksikan adanya kepercayaan tersebut. Adanya kecenderungan keletakan menhir di atas bukit merefleksikan adanya penghargaan tertentu dari masyarakat untuk menghormati tempat-tempat yang tinggi. Sedangkan arah hadap menhir yang cenderung ke gunung Sago mereflek¬sikan gunung tersebut merupakan tempat yang dianggap suci. Hal demikian seiring pula dengan arti kata gunung Sago yang berkonotasi mensucikan gunung itu: Sago berasal dari kata saugo yang dapat diartikan dengan Surga (Sudibyo: 1984: 28).
Menurut Sukendar (1993: 92-108) di dalam khasanah penemuan arkeologis di Indonesia menhir berfungsi sebagai monumen tanda peringatan terhadap keagungan arwah para leluhur. Sukendar juga menjelaskan bahwa menhir dapat berfungsi sebagai batas (patok) anta¬ra suatu lokasi yang dianggap sakral dengan yang tidak, dan dapat sebagai tanda kubur (Sukendar: 1983). Meskipun begitu khu-sus pada menhir-menhir yang dijumpai di Kabupaten Limapuluh Koto berfungsi sebagai tanda kubur dan lebih cenderung merupakan bagian dari sistem pengubur-an. Hal ini dapat dibuktikan berdasarkan hasil ekskavasi yang dilakukan di kawa-san tersebut. Dalam ekskavasi yang dilakukan terhadap 12 menhir di situs Ronah, Bawah Parit, Belubus Limapuluh Koto, ternyata 10 menhir buah berisi kerangka manusia (Sukendar: 1993, 468).
Mehir-menhir di Kabupaten Limapuluh Kota diperkirakan berjumlah ribu buah yang tersebar di puluhan situs, terdiri dari berbagai ukuran dan bentuk, baik yang masih sederhana maupun telah dikerjakan dengan halus serta dihiasi. Secara garis besar bentuk-bentuk menhir yang muncul di Limapuluh Koto adalah: menhir tipe pedang; tipe tanduk; tipe kepala binatang; tipe phalus; dan tipe tonggak persegi --tipe pedang merupakan bentuk yang popular (Herwandi: 1994).
Dari puluhan situs di Kabupaten Limapuluh Koto, tercatat 11 situs yang mempunyai menhir berhias. Situs-situs terse¬but adalah situs Kubang, Belubus, Balai Adat, Guguk Nunang, Ampang Gadang, P. Batung, Balai Batu, Ateh Sudu, Ronah, Bawah Parit, dan Koto Tangah, tersebar di dua kecamatan di Limapuluh Koto: Kecamatan Guguk dan Suliki Gunung Mas. Menurut Husnizon di 11 situs tersebut dijumpai 38 buah menhir berhias (Husnizon 1989, 59), tetapi penulis ha-nya menemukan 37 buah. Di antara situs-situs tersebut yang paling banyak mem-punyai tinggalan menhir berhias adalah situs Bawah Parit yang mempunyai ting-galan sebanyak 13 buah menhir berhias, kemudian disusul oleh situs Ateh Sudu dan Belubus yang mempunyai masing-masing 5 buah, dan situs Balai Batu seba-nyak 3 buah.

Teknik Pengerjaan dan Klassifikasi Pola Hias Pada Menhir
Teknis pengerjaan hiasan-hiasan yang terdapat pada menhir-menhir di Kabupaten Limapuluh Koto dapat digolong atas dua cara: pertama adalah dengan menggoreskan, kedua dengan hiasan timbul. Di bawah ini dapat dilihat teknik pengerjaan hiasan tersebut:



Hubungan Pola Hias Tradisional Minangkabau dengan Hiasan Pada Menhir di Situs-Situs Megalitik Limopuluh Koto

a. Pola Hias Tradisional Minangkabau
Bentuk dasar ragam hias tradisional Minangkabau sebetulnya beranjak da¬ri garis melingkar dan persegi. Barangkali prototipenya berasal dari garis meleng-kung dan lurus. A.A. Navis mengatakan bahwa pola hias Minangkabau bersifat ti-dak konfiguratif, tidak melukiskan lambang-lambang, simbol-simbol. Lebih ba-nyak motifnya diangkat dari tumbuh-tumbuhan; akar, daun ranting, buah, bunga, dan lain-lain. Lebih jauh Navis mengatakan pada dasarnya variasi-variasi pola hi-as tersebut diberi nama berdasarkan garis dominan seperti ;
1) Lingkaran yang berjajar dinamakan ular gerang (Ular Garang) karena lingkaran itu menimbulkan asosiasi pada bentuk ular yang melingkar.
2) Lingkaran yang berkaitan dinamakan saluak (seluk) karena bentuknya yang berseluk atau berhubungan satu sama lain.
3) Lingkaran berjalin dinamakan jalo (jala) atau tangguak tangguk) atau jarek (jerat) karena menyerupai jalinan benang pada jala penangkap ikan.
4) Lingkaran sambung-bersambung disebut aka (akar), karena bentuknya merambat. Akar ganda yang paralel dina¬makan kambang (kembang).
5) Lingkaran bercabang atau beranting terputus disebut kaluak (keluk).
6) Lingkaran yang bertingkat dinamakan salompek (selompat).
Di samping itu masih ada motif geometris, bentuk dasar segi tiga, empat, dan gen-jang (Navis: 1986, 184).
Dari uraian tersebut kelihatan dengan jelas betapa bentuk melingkar men-jadi sesuatu yang utama dan mendominasi bentuk pola hias tradisional Minangka-bau. Meskipun begitu keberadaan dari motif geometris masih mendapat tempat di dalam khasanah ragam hias Minangkabau.
Pada dasarnya pola hias tradisional Minangkabau bersumber kepada ling-kungan dan alam sekitarnya, sesuai dengan dasar filsafah adat Mi¬nangkabau, alam takambang jadi guru (alam terkembang jadi guru). Sehingga motif yang muncul selalu berlandaskan dari lingkungan dan alam seki¬tarnya. Beberapa motif yang muncul dari bentuk dasar dedaunan, bu¬nga, dan akar-akaran seperti; aka cino sa-gagang (akar Cina satu gagang), aka cino duo gagang (akar Cina dua gagang), aka cino tangah duo gagang (akar Cina satu setengah gagang), sikambang manih (si kembang manis), siriah gadang (sirih besar), siku-siku badaun (siku-siku ber-daun), pucuak rabuang (pucuk rebung), sitaba (daun sitaba). Motif yang muncul dari nama binatang seperti; kumbang papo (kumbang papa), sikumbang janti (si kumbang janti), kuciang lalok (kucing tidur), sipatung tabang (si capung terbang), bada mudiak (ikan kecil-kecil ke mudik), cincadu bararak (cancadu bararak), itiak pulang patang (itik pulang petang), cincadu manyasok (cancadu menghisap bunga), dan lain-lain. Sedangkan dari motif la¬in yang diambil dari nama alat per-kakas seperti; jarek takambang (jerat terkembang), tangguak lamah (tangguk lemah). Umumnya nama motif yang telah disebutkan mempu¬nyai prototipe garis melingkar (lengkung), Sedangkan nama-nama yang mempunyai prototipe garis lu-rus adalah seperti; wajik (jajaran genjang), dan motif campuran seperti; siku-siku badaun (siku-siku berdaun), siku-siku baragi (siku-siku berenda), siku-siku babu-ngo (siku-siku berbunga), saik galamai (potong gelamai), sikambang perak (si kembang perak) (Navis: 1986, XXXIX-L). Untuk lebih jelasnya lihat tabel berikut.
Tabel. 4. Motif dan Pola Dasar Hiasan Minangkabau
Motif Pola Dasar
Flora Fauna Geometris Alat Gabungan
Aka cino sagagang X - - - -
Aka cino tangah duo gagang X - - - -
Aka cino duo gagang X - - - -
Aka cino bakaluak _ - - - -
Aka barayun X - - - -
Aka baduyun X - - - -
Aka basau X - - - -
Lumuik hanyuik X - - - -
Sikambang manih X - - - -
Siriah gadang X - - - -
Kambang papo X - - - -
Sitampuak manggih X - - - -
Tangguak lamah X - - - -
Jarek takambang X - - - -
Rajo tigo selo X - - -
Siku kalalawa bagayuik - - X - X
Saik galamai X - X - X
Wajik - - X - -
Siku-siku badaun X - X - X
Siku babungo X - X - X
Siku-siku baragi X - X - X
Sikambang perak X - X - X
Pucuak rabuang salompek gunuang X - X - X
Pucuak rabuang bajari - - X - -
Pucuak Rabuang basisiak - - X - -
Pucuak Rabuang baselo - - X - -
Salompek X - - - -
Kuciang lalok X X - - -
Sikumbang Janti X X - - -
Sipatuang tabang - X - - -
Bada mudiak - X - - -
Cancadu Bararak - X - - -
Itiak pulang patang a . - X - - -
Itiak pulang patang b - - X - -
Cancadu manyasok Bungo X X - - X
Karih pusako - - - X -
Bugih batali - - - X -
Sumber: diolah dari A.A. Navis (1984), dan observasi lapangan
Penggunaan pola hias tradisional Minangkabau masih dapat diobservasi dari ben-da-benda budaya. Di Minangkabau umumnya benda budaya yang mempunyai fungsi sosial dan budaya banyak yang diberi ukiran atau hiasan, sebutlah misalnya mesjid (musajik), surau (langgar), rumah gadang (rumah tradisional Minangka-bau) tak terkecuali juga rumah biasa, bahkan beberapa atribut kuburan seperti ni-san dan cungkub.
Di antaranya benda-benda budaya tersebut ada yang dihiasi sangat raya sekali tetapi ada pula yang hanya pada bagaian-bagian tertentu saja. Dari benda-benda budaya itu akan kelihatan pola-pola hias yang sering dipergunakan, yang mendominasi, atau pola hias yang hanya sebagai pelengkap, dan hanya muncul pada bagian-bagian tertentu saja. Seperti yang dijumpai di ustano basa Pagaru-yung, rumah ga¬dang Dt. Cumano Ikua Koto di Nagari Balimbing, Mesjid Raya Rao-Rao, Mesjid Saadah di Gurun di Kabupaten Tanah Datar, dan Mesjid Asasi di Kota Padang Panjang, Mesjid Raya Batang di Pariaman, Surau Atap Ijuk di Sicincin Kab Padang Pariaman, Surau Lubuk Bauk di Batipuh Kabupaten Tanah Datar raya dengan ukiran terutama yang bermotif floral, yang diselingi oleh motif geometris (lihat juga Sugiharta: 2005). Sedangkan pada atribut kuburan beberapa motif tersebut tak jarang juga dijumpai, yang kadang-kadang diselingi oleh motif lain seperti hiasan senjata pedang atau keris, seperti yang dijumpai di beberapa makam kuno Is¬lam sekitar Pagarruyung, Saruaso, dan Talago Gunung di Kabupa-ten Tanah Datar (Herwandi: 1994).

b. Mencari Akar Budaya.
Kalau diperhatikan lebih jauh, pola hias tradisional Minangkabau yang berkembang sekarang jelas sekali mempunyai hubungan yang erat de¬ngan pola hias yang muncul di situs-situs megalitik Kabupaten Li¬mapuluh Koto. Hal ini dapat menjelaskan bahwa sejarah asal muasal pola hias Minangkabau berasal dari masa prasejarah, terutama masa megalitik. Dari pola hias masa megalitik itulah pola hias tradisional Minang¬kabau yang berkembang sekarang berawal. Artinya cikal bakal pola hias Minangkabau telah muncul semenjak zaman megalitik, kira-kira 1500 th yang lalu. Pola hias masa megalitik tersebut jelas telah melalui perjalan panjang seiring dengan perkembangan sejarah Mi¬nangkabau pada masa berikut, masa Hindu-Budha dan masa Islam. Meskipun telah melalui beberapa periodisasi namun masih dapat ditelusuri bentuk-bentuk pola dasarnya.
Oleh sebab itu pola hias di situs situs megalitk Limapuluh Koto dikatakan sebagai akar pola hias Minangkabau. Bentuk dasar guratan lurus dan geometris yang telah muncul semenjak masa megalitik kemudian berkembang lebih jauh ke dalam pola hias tradisional Minangkabau seperti berbentuk; wajik, saik galamai, siku kalalawa bagayuik, siku-siku badaun, siku-siku baragi, siku-siku babungo, pucuak rabuang, pucuak rabuang salompek gunuang, pucuak rabuang bajari, pu-cuak rabuang basisik, sisik batang pinang, kaluak balingka, kalauak rantai, kalu-ak babungo, bugih batali, itiak pulang patang, bungo sitaba, dan lain-lain. Se-dangkan bentuk dasar pucuk pakis dan guratan dasar garis melengkung kemudian berkembang ke dalam motif seperti; aka cino, aka cino tangah duo gagang, aka cino duo gagang, lumuik hanyuik, aka baduyun, aka basau, tangguak lamah, si-kambang manih, jarek takambang, rajo tigo selo, siku kalalawa bagayuik, siku badaun, siku baragi, salompek, siriah gadang, pucuak rabuang salompek gu¬nu-ang, sikumbang janti, kuciang lalok, kambang papo, sitampuak manggih, aka ba-sau, saik galamai, sikambang perak, sipatuang, cancadu manyasok bungo, dan beberapa motif lain. Di dalam motif hiasan Minangkabau juga diberi nama dari lingkungan fauna, namun sebetulnya masih mengembangkan prototipe pucuk pa-kis dan guratan dasar garis melengkung seperti pola hias; sikumbang janti, sipatu-ang, can¬cadu bararak, bada mudiak, cancadu manyasok bungo (Untuk lebih je-lasnya lihat bagan bergambar di lampiran).

EPILOG
Pola hias Minangkabau sebetulnya sudah berusia sangat tua karena asal muasal sudah muncul semenjak zaman prasejarah, masa tradisi megalitik ber-kembang di kawasan Minangkabau. Kalau dipakai pertanggalan usia tinggalan-tinggalan arkeologis pada si¬tus-situs megalitik di Kabupaten Limapuluh Koto ma-ka dapat diperkirakan usia pola hias Minangkabau sudah muncul kira-kira 1500 tahun yang lalu. Hal ini dijadikan patokan karena banyak dijumpai tinggalan tra-disi megalitik di Kabupaten Limapuluh Koto yang sarat dimuati dengan pola-pola hias, terutama sekali menhir.
Pada dasarnya prototipe pola hias yang berkembang pada men¬hir-menhir di Kabupaten Limapuluh Koto adalah guratan garis lurus membentuk pola hias geometris seperti segi tiga, segi empat, jajaran genjang, serta guratan garis leng-kung membentuk pola hias berkeluk seperti pucuk pakis sehingga berkembang menjadi motif akar dan dedaunan. Dari pola hias tersebutlah munculnya akar pola hias Minangkabau masa sekarang. Oleh sebab itu dapat dikatakan bahwa pola hias masa megalitik di situs-situs megalitik Kabupaten Limapuluh Koto adalah cikal bakal pola hias tradisional Minangkabau.
Pola hias yang berkembang di situs-situs megalitik Kabupaten Limapuluh Koto merefleksikan betapa besarnya pengaruh alam terhadap hiasan-hiasan yang muncul, seperti hiasan berupa kepala binatang, muka manusia, dan beberapa motif hiasan lain seperti pu¬cuk pakis dan geometris. Hal ini menandakan bahwa masya-rakat pendukung kebudayaan megalitis pada masa prasejarah di kawasan ter¬sebut telah mampu beradaptasi dan belajar dari alam sekitarnya. Prinsip belajar dari alam barangkali merupakan dasar pemikiran adat-istiadat Minangkabau yang ber-kembang saat ini yaitu, alam takambang jadi guru.
Oleh sebab itu kajian tentang pola hias ini juga memberikan semacam pe-tunjuk bahwa dasar-dasar pembentukan sendi adat dan rekonstruksi awal adat Mi-nangkabau dapat dirunut jauh ke masa-masa prasejarah. Isyarat ini juga menjung-kir balikkan paradigma pemikiran tradisional yang tertuang dalam tambo (historiografi tradisional Minangkabau) bahwa adat Minangkabau itu disusun pertama kali di nagari tua, Pariangan Padang Panjang, di Kabupaten Tanah Datar. Sesungguhnya adat dan budaya Minangkabau sudah mulai disusun semenjak masa neolitik-megalitik di kawasan Limapuluh Koto (lihat peta).


Catatan: Artikel aslinya mempunyai tabel yuang lengkap, peta, dan bentuk pola hias tradisional Minangkabau, oleh sebab itu lihat artikel aslinya
































DAFTAR PUSTAKA


Brandes, J. 1889 "Een Jayapattra of Aote van Eene Rechterlijke-Uitspraak van
caka 849", dalam Tijschrift voor Indische Taal-, en Volkenkude, XXXII. Batavias Gravenhage: Martinus Nijhoff.

Herwandi . 1994. "Nisan-Nisan di Situs Mejan Tinggi, Desa Talago Gunung,
Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat: Kajian tentang Kelanjutan Buda-
ya Tradisi Megalitik ke Budaya Islam". Tesis Magister. Jakarta: Univ. Indonesia. 1994.

Kartodirdjo, Sartono 1975. Sejarah Nasional Indonesia I. Jakarta: Depdikbud.

Navis, A.A. 1986 Alam Terkembang Jadi Guru: Adat dan Kebudayaan Minang-
kabau. Jakarta: Grafiti Press.

Nizar, Husnison 1986. "Menhir Berhias dari Situs Megalitik Limapuluh Ko¬to
Sumatera Barat". Skripsi. Jakarta: Universitas Indonesia.

Sedyawati, Edi & Djoko Damono, Sapardi (edts.) 1982. Beberapa Masalah Per-
kembangan Kesenian Indonesia Deuasa ini Untuk Matakuliah Perkembangan Masyarakat dan Kesenian Indonesia. Jakarta: Fak. Sastra UI.

Soejono, R.P. 1987 "Sistem-Sistem Penguburan pada akhir masa Praseja¬rah di
Bali". Disertasi. Jakarta: Universitas UI.

Sugiharta, Sri. 2005.Masjid-Masjid Kuna di Sumatera Barat, Riau, dan kepulauan
Riau Batusangkar: BP3.

Sukendar, Haris. 1980. "Tradisi Megalitik di Indonesia", dalam Analisis Kebuda-
yaan. Jakarta.

Sukendar, Haris. 1993."Peranan Menhir dalam Masyarakat Prasejarah Indo¬nesia",
Makalah PIA-III. Ciloto 23-28 Mei. 1993 "Arca Menhir di Indonesia: Fungsinya dalam Peribadatan", Disertasi. Jakarta: UI.

Sudibyo, Yuwono. 1983. Mahat dengan Peninggalan Sejarahnya. Padang: PPSP
Sumatera Barat.
Sudibyo, Yuwono. 1983. Menhir di Kawasan Limapuluh Koto, Sebuah Pengan-
tar. Padang: PPSP.

Tim Peneliti Tradisi Megalitik Sumatera Barat (TPTMSB). 1984. Laporan
Penelitian Tradisi Megalitik di Kabupaten Limapuluh Koto Propinsi Sumatera Barat. Jakarta: Puslit-Arkenas.

Lampiran

Tidak ada komentar: