Senin, 09 Juni 2008

Puisi Sufi dalam Kaligrafi Pada Makam di Banda Aceh


Puisi Sufi dalam Kaligrafi pada Makam Raja-Raja Kampung Pande, : Al-mautu kasyun wa kulli an-nas Syaribuh (foto, koleksi: Herwandi)

Kaligrafi Islam Pada Makam Kandang XII, Banda Aceh, Indonesia




Kaligrafi Islam dalam kalimat basamalah dan al-Quran, Surat Yasin
foto: koleksi Herwandi

Senin, 21 April 2008

Menhir & Akar Budaya Pola Hias Minangkabau

MENHIR DAN AKAR BUDAYA POLA HIAS MINANGKABAU



Oleh: Herwandi
Jurusan Sejarah, Fakultas Sastra Universitas Andalas Padang


Abstract
West Sumatra province has many prehistoric archaeological sites. Most of the sites are found at Limapuluh Koto district. The kinds of archaeological finding at those sites are menhir (stone act), and some of them decorated. The decorated menhir at archaeological sites in Limapuluh Koto are decorated with many ornamental design like geometrical and floral design. That prehistoric ornamental design has linked with the Minangkabau traditonal ornamental design that are used at tradisional and modern buildings like house, surau, and mosque.


Kata kunci: menhir berhias, pola hias, akar budaya, Minangkabau.


Pengantar
Provinsi Sumatera Barat, khususnya Kabupaten Limapuluh Koto kaya akan peninggalan kebudayaan prasejarah, terutama peninggalan tradisi megalitik. Peninggalan tersebut ditemukan di permukaan tanah hak milik keluarga, suku, dan ulayat masyarakat, berserakan hampir di seluruh Kecamatan dan Nagari-Nagari (desa tradisional Minangkabau) penting seperti Belubus, Mahat, Koto Tinggi, Guguk, Suliki Gunung Mas, dan lain-lain, (TPTMSB: 1984). Salah satu jenis peninggalan arkeologis di Limapuluh Koto adalah menhir yang diberi hiasan. Apakah ada hubungan kesejarahan antara pola-pola hias yang terdapat di menhir di Limapuluh Koto dengan pola hias tradisional Minangkabau saat ini ?
Tulisan ini mencoba mengidentifikasi pola hias yang dipakai untuk meng-hiasi menhir yang berkembang pada masa megalitik di Limapuluh Koto dan ber-usaha menghubungkannya dengan pola-pola hias tradisional Minangkabau yang berkembang kemudian untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut.
Kajian yang mempergunakan menhir berhias sebagai objek utama bukan-lah sesuatu yang baru sama sekali, karena sebelumnya sudah ada yang melaku-kannya. Husnizon (1996) misalnya, meski mengkaji menhir berhias, tetapi kajian-nya tidak menghubungkan pola hias di menhir tersebut dengan pola hias tradisio-nal yang berkembang di Minangkabau kemudian. Meskipun begitu kajian tersebut telah memberi kontribusi banyak dalam kajian ini.

Menhir Berhias di Limapuluh Koto
Di dalam masyarakat Minangkabau istilah yang dipergunakan untuk menhir adalah batu tagak. Istilah ini tidak jauh berbeda artinya dengan pengertian yang biasanya dipergunakan dalam dunia keilmiahan, terutama bagi arkeolog di Indonesia. Berdasarkan pe¬nelitian terdahulu kata menhir yang berasal dari bahasa Breton --Inggris Utara, berarti batu berdiri (Sukendar 1993, 1). Sedangkan kata batu tagak jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia berarti batu berdiri, seperperti arti yang biasa digunakan dalam dunia keilmiah¬an, para arkeolog di Indonesia (Herwandi: 1993: 1).
Menhir adalah produk tradisi megalitik, tradisi yang telah muncul semen-jak prasejarah yang menggunakan batu-batu besar sebagai materi kebudayaan; mega berarti besar, lithos berarti batu (Kartodirdjo: 1975: 195). Lebih jelasnya menhir termasuk salah satu produk budaya yang terikat erat dengan tradisi batu besar. Sejarah pendirian menhir telah meliputi kurun waktu yang cukup lama, berlangsung semenjak zaman neolitik. Menhir pada awalnya dapat digolongkan ke dalam produk tradisi megalitik tua yang telah muncul semenjak awal tradisi itu, meskipun demikian tradisi pendirian menhir masih berlanjut sampai sekarang ini. Prinsip pendirian menhir berkaitan erat dengan unsur penghormatan dan pengagungan arwah nenek moyang, dan sering dihubungkan dengan kesakralan dan kesaktian lelu¬hur (Sukendar: 1980, 82). Hal ini terjadi karena manusia pendukung tradisi megalitik beranggapan bahwa nenek moyang yang telah meninggal, arwahnya dianggap ma¬sih hidup terus di dunia arwah, dan bersemayam di tempat-tempat yang tinggi (Soejono: 1987). Oleh sebab itu tidak jarang menhir dijadikan seba¬gai benda sakral, didirikan di tempat-tempat yang tinggi, atau dibuat sedemikian rupa menghadap ke tem¬pat-tempat yang dianggap suci.
Di Sumatera Barat menhir banyak terdapat di wilayah Kabupa¬ten Limapu-luh Koto, meskipun dijumpai juga di beberapa kabupaten lain seperti Tanah Datar dan Solok namun dalam jumlah yang tidak banyak. Di Kabupaten Limapuluh Ko-to menhir-menhir tersebut umumnya terletak di atas bukit yang berketinggian an-tara 210-540 meter di atas permukaan laut. Berdasarkan penelitian terdahulu men-hir-menhir di Kabupaten Limapuluh Ko¬to telah muncul pertama kali ±1500 th yang lalu, sekitar awal-awal abad pertama masehi (TPTMSB: 1984: 37). Pada menhir-menhir di Kabupaten Limapuluh Koto, unsur penghormatan dan pengagungan arwah nenek moyang kelihatan jelas sekali. Menhir yang cenderung didirikan di atas bukit-bukit dan arah hadap dominan ke satu arah, ke Gunung Sago merefleksikan adanya kepercayaan tersebut. Adanya kecenderungan keletakan menhir di atas bukit merefleksikan adanya penghargaan tertentu dari masyarakat untuk menghormati tempat-tempat yang tinggi. Sedangkan arah hadap menhir yang cenderung ke gunung Sago mereflek¬sikan gunung tersebut merupakan tempat yang dianggap suci. Hal demikian seiring pula dengan arti kata gunung Sago yang berkonotasi mensucikan gunung itu: Sago berasal dari kata saugo yang dapat diartikan dengan Surga (Sudibyo: 1984: 28).
Menurut Sukendar (1993: 92-108) di dalam khasanah penemuan arkeologis di Indonesia menhir berfungsi sebagai monumen tanda peringatan terhadap keagungan arwah para leluhur. Sukendar juga menjelaskan bahwa menhir dapat berfungsi sebagai batas (patok) anta¬ra suatu lokasi yang dianggap sakral dengan yang tidak, dan dapat sebagai tanda kubur (Sukendar: 1983). Meskipun begitu khu-sus pada menhir-menhir yang dijumpai di Kabupaten Limapuluh Koto berfungsi sebagai tanda kubur dan lebih cenderung merupakan bagian dari sistem pengubur-an. Hal ini dapat dibuktikan berdasarkan hasil ekskavasi yang dilakukan di kawa-san tersebut. Dalam ekskavasi yang dilakukan terhadap 12 menhir di situs Ronah, Bawah Parit, Belubus Limapuluh Koto, ternyata 10 menhir buah berisi kerangka manusia (Sukendar: 1993, 468).
Mehir-menhir di Kabupaten Limapuluh Kota diperkirakan berjumlah ribu buah yang tersebar di puluhan situs, terdiri dari berbagai ukuran dan bentuk, baik yang masih sederhana maupun telah dikerjakan dengan halus serta dihiasi. Secara garis besar bentuk-bentuk menhir yang muncul di Limapuluh Koto adalah: menhir tipe pedang; tipe tanduk; tipe kepala binatang; tipe phalus; dan tipe tonggak persegi --tipe pedang merupakan bentuk yang popular (Herwandi: 1994).
Dari puluhan situs di Kabupaten Limapuluh Koto, tercatat 11 situs yang mempunyai menhir berhias. Situs-situs terse¬but adalah situs Kubang, Belubus, Balai Adat, Guguk Nunang, Ampang Gadang, P. Batung, Balai Batu, Ateh Sudu, Ronah, Bawah Parit, dan Koto Tangah, tersebar di dua kecamatan di Limapuluh Koto: Kecamatan Guguk dan Suliki Gunung Mas. Menurut Husnizon di 11 situs tersebut dijumpai 38 buah menhir berhias (Husnizon 1989, 59), tetapi penulis ha-nya menemukan 37 buah. Di antara situs-situs tersebut yang paling banyak mem-punyai tinggalan menhir berhias adalah situs Bawah Parit yang mempunyai ting-galan sebanyak 13 buah menhir berhias, kemudian disusul oleh situs Ateh Sudu dan Belubus yang mempunyai masing-masing 5 buah, dan situs Balai Batu seba-nyak 3 buah.

Teknik Pengerjaan dan Klassifikasi Pola Hias Pada Menhir
Teknis pengerjaan hiasan-hiasan yang terdapat pada menhir-menhir di Kabupaten Limapuluh Koto dapat digolong atas dua cara: pertama adalah dengan menggoreskan, kedua dengan hiasan timbul. Di bawah ini dapat dilihat teknik pengerjaan hiasan tersebut:



Hubungan Pola Hias Tradisional Minangkabau dengan Hiasan Pada Menhir di Situs-Situs Megalitik Limopuluh Koto

a. Pola Hias Tradisional Minangkabau
Bentuk dasar ragam hias tradisional Minangkabau sebetulnya beranjak da¬ri garis melingkar dan persegi. Barangkali prototipenya berasal dari garis meleng-kung dan lurus. A.A. Navis mengatakan bahwa pola hias Minangkabau bersifat ti-dak konfiguratif, tidak melukiskan lambang-lambang, simbol-simbol. Lebih ba-nyak motifnya diangkat dari tumbuh-tumbuhan; akar, daun ranting, buah, bunga, dan lain-lain. Lebih jauh Navis mengatakan pada dasarnya variasi-variasi pola hi-as tersebut diberi nama berdasarkan garis dominan seperti ;
1) Lingkaran yang berjajar dinamakan ular gerang (Ular Garang) karena lingkaran itu menimbulkan asosiasi pada bentuk ular yang melingkar.
2) Lingkaran yang berkaitan dinamakan saluak (seluk) karena bentuknya yang berseluk atau berhubungan satu sama lain.
3) Lingkaran berjalin dinamakan jalo (jala) atau tangguak tangguk) atau jarek (jerat) karena menyerupai jalinan benang pada jala penangkap ikan.
4) Lingkaran sambung-bersambung disebut aka (akar), karena bentuknya merambat. Akar ganda yang paralel dina¬makan kambang (kembang).
5) Lingkaran bercabang atau beranting terputus disebut kaluak (keluk).
6) Lingkaran yang bertingkat dinamakan salompek (selompat).
Di samping itu masih ada motif geometris, bentuk dasar segi tiga, empat, dan gen-jang (Navis: 1986, 184).
Dari uraian tersebut kelihatan dengan jelas betapa bentuk melingkar men-jadi sesuatu yang utama dan mendominasi bentuk pola hias tradisional Minangka-bau. Meskipun begitu keberadaan dari motif geometris masih mendapat tempat di dalam khasanah ragam hias Minangkabau.
Pada dasarnya pola hias tradisional Minangkabau bersumber kepada ling-kungan dan alam sekitarnya, sesuai dengan dasar filsafah adat Mi¬nangkabau, alam takambang jadi guru (alam terkembang jadi guru). Sehingga motif yang muncul selalu berlandaskan dari lingkungan dan alam seki¬tarnya. Beberapa motif yang muncul dari bentuk dasar dedaunan, bu¬nga, dan akar-akaran seperti; aka cino sa-gagang (akar Cina satu gagang), aka cino duo gagang (akar Cina dua gagang), aka cino tangah duo gagang (akar Cina satu setengah gagang), sikambang manih (si kembang manis), siriah gadang (sirih besar), siku-siku badaun (siku-siku ber-daun), pucuak rabuang (pucuk rebung), sitaba (daun sitaba). Motif yang muncul dari nama binatang seperti; kumbang papo (kumbang papa), sikumbang janti (si kumbang janti), kuciang lalok (kucing tidur), sipatung tabang (si capung terbang), bada mudiak (ikan kecil-kecil ke mudik), cincadu bararak (cancadu bararak), itiak pulang patang (itik pulang petang), cincadu manyasok (cancadu menghisap bunga), dan lain-lain. Sedangkan dari motif la¬in yang diambil dari nama alat per-kakas seperti; jarek takambang (jerat terkembang), tangguak lamah (tangguk lemah). Umumnya nama motif yang telah disebutkan mempu¬nyai prototipe garis melingkar (lengkung), Sedangkan nama-nama yang mempunyai prototipe garis lu-rus adalah seperti; wajik (jajaran genjang), dan motif campuran seperti; siku-siku badaun (siku-siku berdaun), siku-siku baragi (siku-siku berenda), siku-siku babu-ngo (siku-siku berbunga), saik galamai (potong gelamai), sikambang perak (si kembang perak) (Navis: 1986, XXXIX-L). Untuk lebih jelasnya lihat tabel berikut.
Tabel. 4. Motif dan Pola Dasar Hiasan Minangkabau
Motif Pola Dasar
Flora Fauna Geometris Alat Gabungan
Aka cino sagagang X - - - -
Aka cino tangah duo gagang X - - - -
Aka cino duo gagang X - - - -
Aka cino bakaluak _ - - - -
Aka barayun X - - - -
Aka baduyun X - - - -
Aka basau X - - - -
Lumuik hanyuik X - - - -
Sikambang manih X - - - -
Siriah gadang X - - - -
Kambang papo X - - - -
Sitampuak manggih X - - - -
Tangguak lamah X - - - -
Jarek takambang X - - - -
Rajo tigo selo X - - -
Siku kalalawa bagayuik - - X - X
Saik galamai X - X - X
Wajik - - X - -
Siku-siku badaun X - X - X
Siku babungo X - X - X
Siku-siku baragi X - X - X
Sikambang perak X - X - X
Pucuak rabuang salompek gunuang X - X - X
Pucuak rabuang bajari - - X - -
Pucuak Rabuang basisiak - - X - -
Pucuak Rabuang baselo - - X - -
Salompek X - - - -
Kuciang lalok X X - - -
Sikumbang Janti X X - - -
Sipatuang tabang - X - - -
Bada mudiak - X - - -
Cancadu Bararak - X - - -
Itiak pulang patang a . - X - - -
Itiak pulang patang b - - X - -
Cancadu manyasok Bungo X X - - X
Karih pusako - - - X -
Bugih batali - - - X -
Sumber: diolah dari A.A. Navis (1984), dan observasi lapangan
Penggunaan pola hias tradisional Minangkabau masih dapat diobservasi dari ben-da-benda budaya. Di Minangkabau umumnya benda budaya yang mempunyai fungsi sosial dan budaya banyak yang diberi ukiran atau hiasan, sebutlah misalnya mesjid (musajik), surau (langgar), rumah gadang (rumah tradisional Minangka-bau) tak terkecuali juga rumah biasa, bahkan beberapa atribut kuburan seperti ni-san dan cungkub.
Di antaranya benda-benda budaya tersebut ada yang dihiasi sangat raya sekali tetapi ada pula yang hanya pada bagaian-bagian tertentu saja. Dari benda-benda budaya itu akan kelihatan pola-pola hias yang sering dipergunakan, yang mendominasi, atau pola hias yang hanya sebagai pelengkap, dan hanya muncul pada bagian-bagian tertentu saja. Seperti yang dijumpai di ustano basa Pagaru-yung, rumah ga¬dang Dt. Cumano Ikua Koto di Nagari Balimbing, Mesjid Raya Rao-Rao, Mesjid Saadah di Gurun di Kabupaten Tanah Datar, dan Mesjid Asasi di Kota Padang Panjang, Mesjid Raya Batang di Pariaman, Surau Atap Ijuk di Sicincin Kab Padang Pariaman, Surau Lubuk Bauk di Batipuh Kabupaten Tanah Datar raya dengan ukiran terutama yang bermotif floral, yang diselingi oleh motif geometris (lihat juga Sugiharta: 2005). Sedangkan pada atribut kuburan beberapa motif tersebut tak jarang juga dijumpai, yang kadang-kadang diselingi oleh motif lain seperti hiasan senjata pedang atau keris, seperti yang dijumpai di beberapa makam kuno Is¬lam sekitar Pagarruyung, Saruaso, dan Talago Gunung di Kabupa-ten Tanah Datar (Herwandi: 1994).

b. Mencari Akar Budaya.
Kalau diperhatikan lebih jauh, pola hias tradisional Minangkabau yang berkembang sekarang jelas sekali mempunyai hubungan yang erat de¬ngan pola hias yang muncul di situs-situs megalitik Kabupaten Li¬mapuluh Koto. Hal ini dapat menjelaskan bahwa sejarah asal muasal pola hias Minangkabau berasal dari masa prasejarah, terutama masa megalitik. Dari pola hias masa megalitik itulah pola hias tradisional Minang¬kabau yang berkembang sekarang berawal. Artinya cikal bakal pola hias Minangkabau telah muncul semenjak zaman megalitik, kira-kira 1500 th yang lalu. Pola hias masa megalitik tersebut jelas telah melalui perjalan panjang seiring dengan perkembangan sejarah Mi¬nangkabau pada masa berikut, masa Hindu-Budha dan masa Islam. Meskipun telah melalui beberapa periodisasi namun masih dapat ditelusuri bentuk-bentuk pola dasarnya.
Oleh sebab itu pola hias di situs situs megalitk Limapuluh Koto dikatakan sebagai akar pola hias Minangkabau. Bentuk dasar guratan lurus dan geometris yang telah muncul semenjak masa megalitik kemudian berkembang lebih jauh ke dalam pola hias tradisional Minangkabau seperti berbentuk; wajik, saik galamai, siku kalalawa bagayuik, siku-siku badaun, siku-siku baragi, siku-siku babungo, pucuak rabuang, pucuak rabuang salompek gunuang, pucuak rabuang bajari, pu-cuak rabuang basisik, sisik batang pinang, kaluak balingka, kalauak rantai, kalu-ak babungo, bugih batali, itiak pulang patang, bungo sitaba, dan lain-lain. Se-dangkan bentuk dasar pucuk pakis dan guratan dasar garis melengkung kemudian berkembang ke dalam motif seperti; aka cino, aka cino tangah duo gagang, aka cino duo gagang, lumuik hanyuik, aka baduyun, aka basau, tangguak lamah, si-kambang manih, jarek takambang, rajo tigo selo, siku kalalawa bagayuik, siku badaun, siku baragi, salompek, siriah gadang, pucuak rabuang salompek gu¬nu-ang, sikumbang janti, kuciang lalok, kambang papo, sitampuak manggih, aka ba-sau, saik galamai, sikambang perak, sipatuang, cancadu manyasok bungo, dan beberapa motif lain. Di dalam motif hiasan Minangkabau juga diberi nama dari lingkungan fauna, namun sebetulnya masih mengembangkan prototipe pucuk pa-kis dan guratan dasar garis melengkung seperti pola hias; sikumbang janti, sipatu-ang, can¬cadu bararak, bada mudiak, cancadu manyasok bungo (Untuk lebih je-lasnya lihat bagan bergambar di lampiran).

EPILOG
Pola hias Minangkabau sebetulnya sudah berusia sangat tua karena asal muasal sudah muncul semenjak zaman prasejarah, masa tradisi megalitik ber-kembang di kawasan Minangkabau. Kalau dipakai pertanggalan usia tinggalan-tinggalan arkeologis pada si¬tus-situs megalitik di Kabupaten Limapuluh Koto ma-ka dapat diperkirakan usia pola hias Minangkabau sudah muncul kira-kira 1500 tahun yang lalu. Hal ini dijadikan patokan karena banyak dijumpai tinggalan tra-disi megalitik di Kabupaten Limapuluh Koto yang sarat dimuati dengan pola-pola hias, terutama sekali menhir.
Pada dasarnya prototipe pola hias yang berkembang pada men¬hir-menhir di Kabupaten Limapuluh Koto adalah guratan garis lurus membentuk pola hias geometris seperti segi tiga, segi empat, jajaran genjang, serta guratan garis leng-kung membentuk pola hias berkeluk seperti pucuk pakis sehingga berkembang menjadi motif akar dan dedaunan. Dari pola hias tersebutlah munculnya akar pola hias Minangkabau masa sekarang. Oleh sebab itu dapat dikatakan bahwa pola hias masa megalitik di situs-situs megalitik Kabupaten Limapuluh Koto adalah cikal bakal pola hias tradisional Minangkabau.
Pola hias yang berkembang di situs-situs megalitik Kabupaten Limapuluh Koto merefleksikan betapa besarnya pengaruh alam terhadap hiasan-hiasan yang muncul, seperti hiasan berupa kepala binatang, muka manusia, dan beberapa motif hiasan lain seperti pu¬cuk pakis dan geometris. Hal ini menandakan bahwa masya-rakat pendukung kebudayaan megalitis pada masa prasejarah di kawasan ter¬sebut telah mampu beradaptasi dan belajar dari alam sekitarnya. Prinsip belajar dari alam barangkali merupakan dasar pemikiran adat-istiadat Minangkabau yang ber-kembang saat ini yaitu, alam takambang jadi guru.
Oleh sebab itu kajian tentang pola hias ini juga memberikan semacam pe-tunjuk bahwa dasar-dasar pembentukan sendi adat dan rekonstruksi awal adat Mi-nangkabau dapat dirunut jauh ke masa-masa prasejarah. Isyarat ini juga menjung-kir balikkan paradigma pemikiran tradisional yang tertuang dalam tambo (historiografi tradisional Minangkabau) bahwa adat Minangkabau itu disusun pertama kali di nagari tua, Pariangan Padang Panjang, di Kabupaten Tanah Datar. Sesungguhnya adat dan budaya Minangkabau sudah mulai disusun semenjak masa neolitik-megalitik di kawasan Limapuluh Koto (lihat peta).


Catatan: Artikel aslinya mempunyai tabel yuang lengkap, peta, dan bentuk pola hias tradisional Minangkabau, oleh sebab itu lihat artikel aslinya
































DAFTAR PUSTAKA


Brandes, J. 1889 "Een Jayapattra of Aote van Eene Rechterlijke-Uitspraak van
caka 849", dalam Tijschrift voor Indische Taal-, en Volkenkude, XXXII. Batavias Gravenhage: Martinus Nijhoff.

Herwandi . 1994. "Nisan-Nisan di Situs Mejan Tinggi, Desa Talago Gunung,
Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat: Kajian tentang Kelanjutan Buda-
ya Tradisi Megalitik ke Budaya Islam". Tesis Magister. Jakarta: Univ. Indonesia. 1994.

Kartodirdjo, Sartono 1975. Sejarah Nasional Indonesia I. Jakarta: Depdikbud.

Navis, A.A. 1986 Alam Terkembang Jadi Guru: Adat dan Kebudayaan Minang-
kabau. Jakarta: Grafiti Press.

Nizar, Husnison 1986. "Menhir Berhias dari Situs Megalitik Limapuluh Ko¬to
Sumatera Barat". Skripsi. Jakarta: Universitas Indonesia.

Sedyawati, Edi & Djoko Damono, Sapardi (edts.) 1982. Beberapa Masalah Per-
kembangan Kesenian Indonesia Deuasa ini Untuk Matakuliah Perkembangan Masyarakat dan Kesenian Indonesia. Jakarta: Fak. Sastra UI.

Soejono, R.P. 1987 "Sistem-Sistem Penguburan pada akhir masa Praseja¬rah di
Bali". Disertasi. Jakarta: Universitas UI.

Sugiharta, Sri. 2005.Masjid-Masjid Kuna di Sumatera Barat, Riau, dan kepulauan
Riau Batusangkar: BP3.

Sukendar, Haris. 1980. "Tradisi Megalitik di Indonesia", dalam Analisis Kebuda-
yaan. Jakarta.

Sukendar, Haris. 1993."Peranan Menhir dalam Masyarakat Prasejarah Indo¬nesia",
Makalah PIA-III. Ciloto 23-28 Mei. 1993 "Arca Menhir di Indonesia: Fungsinya dalam Peribadatan", Disertasi. Jakarta: UI.

Sudibyo, Yuwono. 1983. Mahat dengan Peninggalan Sejarahnya. Padang: PPSP
Sumatera Barat.
Sudibyo, Yuwono. 1983. Menhir di Kawasan Limapuluh Koto, Sebuah Pengan-
tar. Padang: PPSP.

Tim Peneliti Tradisi Megalitik Sumatera Barat (TPTMSB). 1984. Laporan
Penelitian Tradisi Megalitik di Kabupaten Limapuluh Koto Propinsi Sumatera Barat. Jakarta: Puslit-Arkenas.

Lampiran

KALIGRAFI ISLAM DI ALAM MELAYU :

KALIGRAFI ISLAM DI ALAM MELAYU :
REFLEKSI AKULTURASI (ABAD XIII-XIV M)
Oleh : Herwandi


1. Pendahuluan
Kaligrafi di dalam masyarakat islami identik dengan seni khat yang lebih menekankan seni lukisan indah daripada seni lukis.1 Seni ini telah tersebar luas hampir ke segala pelosok dunia seiring dengan masuknya pengaruh Islam ke daerah-daerah tersebut. Oleh sebab itu, sejarah perkembangan kaligrafi Islam telah melalui perjalanan panjang dan memperlihatkan dinamika yang hidup dalam kebudayaan masyarakat setempat yang didatangi dan dipengaruhinya. Kaligrafi Islam bukan saja mewarnai kehidupan seni di daerah tersebut, namun mampu berdiri tegak pada baris depan sehingga menghasilkan berjenis-jenis tulisan yang populer, seperti tulisan kufi, andalusi, behari, shini, naskhi, nastalig, taglik, dan lain-lainnya.2
Alam Melayu di samping berkonotasi geografis juga berdimensi kebudayaan. Wilayah kebudayaan Melayu yang terbentang luas dari Semenanjung Malaysia, kepulauan Indonesia sampai ke Fhilipina, bahkan menyusuri jauh ke Lautan Pasifik di sebelah timur dan pantai timur Afrika di sebelah barat di beberapa kawasan tertentu kental dipengaruhi oleh Islam.3 Berdasarkan data arkeologis, kaligrafi Islam telah diperkenalkan di Alam Melayu semenjak abad ke-11 M dan dapat dikatakan telah menyebar semenjak abad ke-13 M. Munculnya kerajaan Islam Samudera Pasai pada abad ke-13 M4 menjadi pusat pengembangan agama Islam di Alam Melayu membawa tumbuh suburnya kaligrafi Islam di kawasan ini. Begitu juga ketika kerajaan Malaka menjadi pusat tamaddun5 Islam antara abad ke-15 dan 16 M, kaligrafi Islam tumbuh dengan baiknya. Paling tidak dari abad ke-13 M sampai 16 M di wilayah kerajaan-kerajaan Melayu Islam telah berkembang beberapa jenis tulisan yang populer di dunia Islam lainnya, seperti tulisan kufi dan naskhi, bahkan di Alam Melayu tumbuh sejenis tulisan yang khas, yaitu tulisan jawi.6
Kaligrafi Islam di Alam Melayu telah memperlihatkan perkembangan yang menarik karena merefleksikan bagaimana kreativitas budaya Melayu berperan aktif dalam menerima kedatangan pengaruh Islam. Dengan demikian, kaligrafi Islam diselaraskan, diinteraksikan dengan budaya setempat yang pada akhirnya bermuara menghasilkan produk seni yang akulturatif.
Tulisan ini sengaja menyoroti kaligrafi Islam sebagai hasil akulturasi antara unsur-unsur kebudayaan Melayu sebelum Islam dengan Islam. Tulisan ini berlandaskan data arkeologi Islam, terutama inskripsi-inskripsi warisan masa Kerajaan Samudera Pasai dan Malaka dari abad ke-13 M sampai abad ke-16 M.7

2. Benda Budaya dan Akulturasi
Arkeolog sering mengatakan benda budaya merupakan fossilized behavior,8 berisi endapan-endapan budaya, baik berupa aktivitas maupun berupa budaya ide. Oleh sebab itu, benda budaya dapat merekleksikan dan mewakili suatu zaman. Dalam konteks yang tidak berbeda, benda seni sebagai benda budaya merupakan cerminan budaya di mana ia tumbuh dan pada masa apa ia muncul. Benda seni pada akhirnya berisi muatan budaya, pantulan budaya dan merefleksikan peristiwa-peristiwa budaya pada masa kekiniannya.
Sejarah kebudayaan di Alam Melayu penuh dengan peristiwa kontak budaya yang pada gilirannya kemudian menimbulkan akulturasi, yaitu proses perpaduan dua budaya yang berbeda akibat adanya kontak budaya tersebut. Di dalam literatur-literatur antropologi dikatakan ada dua jenis akulturasi yang berkemungkinan muncul ketika terjadinya kontak budaya. Pertama, akulturasi ekstrem (Extreme Accultiration) akulturasi yang negatif memunahkan unsur-unsur budaya asli. Kedua, akulturasi yang memberikan peluang kepada kebudayaan asli untuk berkembang mengintegrasikan dirinya dengan kebudayaan luar (a lessextreme acculturation).9 Akulturasi jenis kedua masih memperlihatkan local genius, adanya unsur dan ciri kebudayaan asli yang mampu bertahan dan mempunyai kemampuan untuk mengakomodasikan unsur budaya dari luar serta mengintegrasikan dalam kebudayaan asli.10 Akulturasi jenis ini merefleksikan adanya kreativitas budaya untuk mempertahankan unsur-unsur budaya asli oleh pendukungnya sehingga ketika menghadapi serangan budaya dari luar tidak tercerabut dari akar budaya mereka. Oleh sebab itu, akulturasi jenis ini dapat disebut akulturasi positif.
Kaligrafi Islam di Alam Melayu, sebagai benda budaya, jelas merefleksikan adanya proses akulturasi budaya Melayu pra-Islam dengan kebudayaan Islam. Kaligrafi Islam di kawasan ini telah melalui proses akulturasi dan memasuki wilayah kebudayaan yang kreatif.

3. Kaligrafi Islam di Alam Melayu
3.1. Kaligrafi Islam Tertua

Jauh sebelum munculnya kerajaan Samudera Pasai dan Malaka telah dijumpai bukti-bukti kaligrafi Islam di Alam Melayu. Semenjak abad ke-11 M telah muncul batu nisan yang berisi tulisan Arab yang memperlihatkan kecenderungan gaya tulisan yang khas. Jika diperhatikan temuan-temuan arkeologi Islam di Alam Melayu, paling tidak tercatat dua batu nisan yang benar-benar memperlihatkan munculnya kaligrafi Islam tertua di wilayah ini, yaitu batu nisan yang ditemui di Phanrang (Vietnam) dan batu nisan di Leran (Jawa Timur).
Di daerah Phanrang, tepatnya di suatu tempat bernama Padurangga terdapat batu nisan dari seorang tokoh bernama Ahmad. Di batu nisan itu terukir inskripsi yang bertuliskan tulisan Arab bergaya kufi tua berisi kalimat antara lain “Ahmad bin Abu Ibrahim, bin Abu Aradah, yang Radhar, nama samaran Abu Kamil yang meninggal dunia pada malam Kamis 29 Safar empat ratus tiga puluh satu H’’ (1039 M). Di daerah Leran (Jawa Timur) ditemukan sebuah batu nisan seorang tokoh bernama Fatimah binti Maimun yang wafat tahun 475 H (1082 M).11 Jika dibandingkan, kedua batu nisan tersebut memperlihatkan kemiripan yang dekat sekali sama-sama ditulis dengan tulisan kufi tua.12
Kedua inskripsi di masing-masing batu nisan itu memperlihatkan gaya tulisan yang relatif berbeda dengan inskripsi-inskripsi yang muncul kemudian, terutama masa-masa kejayaan Kerajaan Samudera Pasai dan Malaka antara abad ke-13 dan 16 M. Pemakaian tulisan kufi tua pada kedua nisan itu dapat dianggap sebagai babak awal perkembangan kaligrafi Islam di Alam Melayu.

3.2. Kaligrafi Islam masa Kerajaan Samudera Pasai dan Malaka
3.2.1. Jenis Tulisan

Perkembangan Islam di Alam Melayu baru tumbuh dengan suburnya setelah munculnya Kerajaan Samudera Pasai dan Malaka sebagai pusat pengembangan agama dan tamaddun Islam di kawasan ini. Bukti-bukti peninggalan kaligrafi Islam masa ini sebagian besar masih dapat dilihat sampai sekarang ini, tersebar di beberapa tempat di Indonesia maupun di Semenanjung Malaysia. Temuan-temuan peninggalan kaligrafi dapat brupa nisan yang belum difungsikan ataupun berupa nisan dan makam para raja, ulama yang berpengaruh pada zamannya.13
Secara garis besar, kaligrafi Islam masa Kerjaan Samudera Pasai dan Malaka sebetulnya dapat digolongkan dalam dua kategori, yaitu berupa inskripsi dengan memakai “tulisan gores” atau “tulisan timbul” dan berupa naskah kuno islami. Dari data penanggalan pada inskripsi tersebut dapat disimpulkan kaligrafi Islam telah tumbuh subur semenjak akhir abad ke-13 M (kaligrafi Islam terawal pada masa ini tenukil di nisan Sultan Malik as Saleh di Samudera Pasai yang berangka tahun 1297 M).14 Kaligrafi berupa naskah-naskah kuno islami merupakan hasil pikiran dari penulis-penulis Islam yang berkarya di zaman kejayaan kerajaan-kerajaan tersebut, berisikan cerita-cerita kesejarahan dan ajaran keagamaan. Berbeda dengan kaligrafi, inskripsi pada nisan dan makam yang masih dapat dijumpai di tempat awalnya (in situ), kaligrafi dalam naskah-naskah kuno islami sangat sulit dijumpai kalau tidak tepat untuk dikatakan tidak ada lagi, meskipun tadi penulisan naskah itu diperkirakan sudah dimulai semenjak abad ke-14 M.15
Perkembangan kaligrafi Islam pada masa kejayaan Kerajaan Samudera Pasai dan Malaka boleh dianggap sebagai perkembangan tahap kedua di Alam Melayu karena ditandai dengan populernya jenis tulisan lain dari masa sebelumnya. Pada tahap ini pemakaian tulisan ‘kufi tua’ seperti sudah kurang diminati lagi, tetapi malah pemakaian tulisan naskhi muncul dengan suburnya. Secara garis besar temuan-temuan kaligrafi Islam di masa ini paling sering mempergunakan tulisan naskhi. Meskipun begitu, pada temuan-temuan tertentu ada kecenderungan untuk memakai dua jenis tulisan, yaitu naskhi dan kufi. Othman Mohd. Yatim (1988) berkesimpulan bahwa tipe dan jenis tulisan yang banyak dipakai pada inskripsi-inskripsi Batu Aceh di daerah Semenanjung Malaysia adalah tulisan naskhi dan kufi tua.16 Sementara itu, Husaini Ibrahim (1994) yang meneliti data tekstual di makam Islam masa Samudera Pasai berkesimpulan bahwa di daerah ini tulisan yang paling sering dipergunakan adalah tulisan naskhi yang kadang-kadang disertai dengan pemakaian tulisan kufi, terutama tulisan kufi ornamental.

3.2.2. Petikan Ayat Al Quran dan Syahadah

Di dalam kaligrafi Islam di masa Kerajaan Samudera Pasai dan Malaka banyak mengutip ayat-ayat Al Quran dan syahadah sebagai objek tulisan. Ayat Al Quran yang ternukil pada nisan dan makam kuno Islam masa Kerajaan Samudera Pasai cukup bervariasi, tediri bermacam-macam surat dan ayat. Husaini Ibrahim (1994) menjelaskan ada beberapa ayat kursi (Al Baqarah, ayat 255), Surat At Taubah, ayat 21 dan 22, 23 dan 24.17 Untuk lebih jelasnya dapat dilihat tabel 1. berikut ini.
Tabel 1
Ayat-ayat Al Quran Yang dipetik dalam Nisan
Batu Aceh dan Makam-makam Islam di Kerajaan Samudera Pasai

Nama Surat Ayat Frekuensi Nama Surat Ayat Frekuensi
- Al Baqarah




- Ali Imran




- Al An’am
- Al A’raf
- Al Ankabut
- Saba’
- Yaa siin



- Ash-Shaffaat
- Az-Zumar

- Fush Shilat
- Al Jaatsiyah

- Ar Rahman 148
156
255
285
286
18
19
27
28
29
100
22
64
37
56
57
78
81
158
73
74
30
35
36
26 1
1
10
1
2
8
4
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
2 - Al A’raf


- At Taubah

- Al Kahfi
- Al Mukmin


- Al Qashah


- Ar Rahman
- Al Hasyr


- Al Ma’arj 128
169
170
21
22
9
12
13
14
45
68

27
22
23
24
18
19
20
21
22
23
1
1
1
5
5
1
1
1
1
2
1

2
6
4
4
1
1
1
1
1
1
Sumber: Diolah dari, Husaini Ibrahim. Data Tekstual Pada Makam Islam di Kecamatan Samudera Pasai Aceh Utara Hubungannya dengan Perkembangan Kerajaan Samudera Pasai, Tesis Magister Humaniora. Jakarta: UI. 1994. hal. 125-127

Othman Mohd. Yatim (1988) mengemukakan dalam kaligrafi Islam yang ternukil di Batu Aceh yang dijumpai di Semenanjung Malaysia paling sering mengutip Al Quran Surat Al Qashash, ayat 88. dan Ar Rahman, ayat 26.18 Untuk lebih jelasnya lihat pada tabel 2. berikut:
Tabel 2
Ayat-ayat Al Quran yang dipetik dalam Nisan
Batu Aceh di Semenanjung Malaysia

Nama Surat Ayat Frekuensi Nama Surat Ayat Frekuensi
- Al Baqarah
- Ali Imran







- At Taubah

- Yunus 255
17
18
19
25
26
27

185
128
129
62 1
1
3
1
2
1
1

2
1
1
1 - Thana
- Al Ambiyaa
- Al Qashash
- Al Angkabut
- Ar Rahman



- Al Hasyr 55
35
88
57
26
27
28

21
23
24 1
1
4
2
4
2
1

1
1
1

Sumber: Diolah dari, Othman Mohd. Yatim. Batu Aceh Early Islamic Gravestones in Paninsular Malaysia. Kuala Lumpur: United Selangor Press. Sdn. Bhd. 1988. hal. 68-69.

Di samping penggunaan petikan ayat-ayat Al Quran dalam kaligrafi Islam, baik yang dijumpai di wilayah kerajaan Samudera Pasai maupun Malaka, penggunaan syahadah juga sering dijumpai. Untuk itu lihat tabel 3 dan 4 berikut:

Tabel 3
Penggunaan Syahadah dalam Nisan
Batu Aceh di Ker. Samudera Pasai

Nama Situs Frekuensi
- Tgk. Samudera
- Kt. Karang
- Tgk. Sidi
- Tgk. Syarif
- Naina Hasamuddin
- Hatee Bale
- Tgk. Di Iboh
- Tgk. Said Syarif 1
5
2
1
1
1

Sumber: Husaini Ibrahim. Data Tekstual Pada Makam Islam Kecamatan Aceh Utara Hubungannya dengan Perkembangan Kerajaan Samudera Pasai. Tesis Magister Humaniora. Jakarta. UI. 1994, hal. 129.

Tabel 4
Penggunaan Syahadah dalam Nisan
Batu Aceh Semenanjung Malaka

Nama Daerah Frekuensi
- Pahang
- Johore
- Perak
- Kedah
- Perlis
- Melaka
- Trengganu 3
6
8
3
5
1
1
Sumber: Othman Mohd. Yatim. Batu Aceh Early Islamic Gravestones in Paninsular Malaysia. Kuala Lumpur: United Selangor Press. Sdn. Bhd. 1988. hal. 71.

Banyaknya digunakan petikan ayat suci dan syahadah memperlihatkan betapa Al Quran benar-benar dijadikan sumber inspirasi aktivitas seni umat muslim. Kenyataan ini menjelaskan kolerasi langsung antara Al Quran sebagai Kitab Suci berisi pedoman segala aktivitas dengan benda seni sebagai hasil aktivitas seni di masa kejayaan Kerajaan Samudera Pasai dan Malaka.

3.2.3. Petikan Puisi dan Ayat Al Quran yang Berbau Tasauf.

Selain ayat-ayat suci Al Quran dan syahadah, di dalam temuan kaligrafi Islam masa Kerajaan Samudera Pasai dan Malaka ditemukan juga puisi-puisi sufi yang merupakan refleksi langsung dari masyarakat dan ide yang melestarikan seni tersebut. Hal ini jelas membuktikan pada masa Kerajaan Samudera Pasai dan Malaka mencapai keemasannya telah tumbuh pula dalam masyarakatnya kehidupan tasauf. Dari temuan arkeologi dapat diberikan beberapa contoh hasil kaligrafi yang kental dipengaruhi oleh ide kesufian, sebutlah misalnya kaligrafi yang terdapat dalam inskripsi nisan Malik as Saleh di Samudera Pasai, Sultan Mansyur Syah di Malaka, Raja Fatima dan Raja Jamil di Nibong.
Kaligrafi yang tertera di nisan Sultan Malik as Saleh di Samudera Pasai dan makam Sultan Mansyur Syah di Malaka jelas merefleksikan unsur-unsur tasauf. Pada kedua temuan ini terdapat tulisan sebagai berikut.19
Innama d-dunya fana Laisa d-dunya syabut
Ala. Innama d-dunya kabaiti Nassjathui l-angkabut
Terjemahannya :
‘Sesungguhnya dunia itu fana, dunia itu tiadalah kekal, sesungguhnya dunia ibarat sarang yang ditenun laba-laba’.

Pada nisan kubur Raja Fatima dan Raja Jamil di Makam Nibong terdapat pula tulisan bersyair sebagai berikut :20
Alamautu kasun wakullu n-nas syaribun
Alamautu bab wakullu n-nas dakhiluh
Terjemahnya:
‘Kematian ibarat sebuah cangkir, yang sama semua orang akan minum dengannya. Kematian adalah sebuah pintu di mana semua orang akan masuk’.

Di samping itu pada nisan kepala makam Sultan Abdul Jalil, keturunan Sultan Mansyur Syah Malaka di jumpai puisi sufi sebagai barikut:21
Ala innama d-dunya fana Laisa d-dunya subut
Innama d-dunya kabaiti Nasajatha l-angkabut
Ayyuh az-za in minha qalaqad yakfika qut
Waqalililu l-umri fika laka mahmumun sumut
Terjemahannya:
‘Wahai (ingatlah) sesungguhnya dunia itu fana tiada kekal
Sesungguhnya dunia ini umpama sarang yang ditenun laba-laba
Hai mereka yang akan berpisah dengan dunia, memadailah apa yang telah engkau peroleh. Dalam usia yang terlalu pendek, engkau dirundung duka nestapa’

Menurut Uka Tjandrasasmita kalimat-kalimat yang tertera pada kaligrafi di atas berisi gambaran kefanaan dunia yang selalu didengung-dengungkan di dalam tasauf.22
Selain dari puisi tersebut dalam kaligrafi Islam masa kerajaan Samudera Pasai dan Malaka terdapat ayat Al Quran yang merefleksikan unsur-unsur tasauf, antara lain adalah Surat Al Baqarah, ayat 156, Surat Ar Rahman, ayat 26, 27, dan Surat Al Angkabut, ayat 57.
Di makam Sultan Nahrisyah di Kuta Karang, Samudera Pasai dijumpai ayat Al Quran surat Al Baqarah ayat 156 yang berbunyi:23
Inna I-illa wa inna ilaihi raji’un
Terjemahannya:
‘Sesungguhnya kami milik Allah dan kepada-Nya lah kami kembali’.

Sedangkan di makam Fatima yang dijumpai di situ yang sama dengan Sultan Nahrisyah terdapat ayat Al Quran Surat Ar Rahman, ayat 26 dan 27 yang berbunyi:24
Kullu man ‘alaihi fanin. Wayabqa wajhu rabbika zu l-jalali
Wa l-ikram
Terjemahannya:
‘Semua yang ada di bumi akan binasa. Dan tetap kekal zat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan’

Sementara itu, di nisan kubur Marhum Badarah Putih di Pogoh (Misai) di Semenanjung Malaka ditemukan kaligrafi berisi Surat Al Angkabut, ayat 57,25
Kullu nafsin zaikatas l-mautu tsumma ilaina turja’un
Terjemahannya:
‘Tiap-tiap yang berjiwa akan merasai mati kemudian hanyalah kepada kami kamu kembali’

4. Refleksi Akulturasi dalam Kaligrafi Islam di Alam Melayu
4.1. Refleksi Akulturasi

Temuan kaligrafi Islam di Alam Melayu antara abad ke-13 M sampai 16 M masa kejayaan Kerajaan Samudera Pasai dan Malaka merefleksikan peristiwa akulturasi. Pada temuan-temuan tersebut dapat dilihat betapa kreativitas seni mampu menginteraksikan unsur seni Melayu pra-Islam sehingga berhasil bertahan dan mengakomodasikan unsur seni Islam. Unsur-unsur tradisi seni Melayu pra-Islam berperan menyediakan “bingkai” yang kemudian dimasuki oleh kaligrafi Islam sehingga menjadi sesuatu yang berurat berakar dalam budaya Melayu.
Akar budaya untuk menjadikan batu sebagai media utama penuangan karya seni sudah mulai semenjak zaman neolitik, terutama pada masa tradisi megalitik berkembang dengan suburnya.26 Pada masa itu banyak motif yang sengaja ditempatkan di atas batu sebagai media utama. Tradisi yang menggunakan batu sebagai media untuk seni juga bertahan pada zaman Hindu-Budha, bahkan pada masa Islam. Kalau diperhatikan bentuk arsitektural batu nisan, media utama tempat penuangan kaligrafi Islam di Alam Melayu antara abad ke-13 sampai 16 M, dapatlah dilihat adanya kreativitas untuk mempertahankan seni arsitektur masa pra-Islam. Hasan M. Ambary (1988) mengemukakan bahwa bentuk batu nisan yang muncul pada masa Samudera Pasai secara umum selalu menampakkan adanya keberlanjutan unsur budaya pra-Islam: bentuk nisan sayap bucranc adalah yang mirip dengan tanduk kerbau mengingatkan kita dengan pola hias arsitektural rumah-rumah tradisional di Indonesia; bentuk persegi panjang dikatakan hampir merupakan sebuah miniatur menhir pada zaman neolitik serta dengan bentuk gada pada zaman Hindu-Budha.27
Sebelum Islam berpengaruh luas di Alam Melayu, tradisi seni kaligrafi sudah ada. Masyarakat pendukung kebudayaan Budha-Hindu di wilayah ini sudah banyak menghasilkan kaligrafi berupa prasasti yang ternukil di atas batu oleh raja dan pendeta yang berpengaruh saat itu. Prasasti itu dikerjakan dengan teknik menggores maupun dengan tulisan, dengan menggunakan tulisan Pallawa dan bahasa Sanskerta.28 Teknik penulisan pada prasasti zaman Hindu-Budha masih berlanjut pada masa Islam ketika kaligrafi Islam muncul dengan suburnya. Hal ini terlihat dengan jelas karena kaligrafi Islam juga mengenal dua teknik penulisan, yaitu dengan tulisan gores dan tulisan timbul.
Dalam kaligrafi Islam di Alam Melayu antara abad ke-13 dan 16 M nampak adanya usaha dan kreativitas untuk memadukan dua tulisan dan dua bahasa yang berbeda seperti yang dijumpai pada nisan Ratu Al Ala (wafat tahun 1388 M) di Samudera Pasai. Pada nisan itu dijumpai kalimat yang memakai bahasa dan tulisan Arab bersamaan dengan tulisan Kawi.29 Begitu juga pada batu nisan Ahmad Majanu (wafat tahun 1467 M) di Pangkalan Kempas, Semenanjung Malaysia. Pada batu nisan itu ada usaha untuk memadukan tulisan Kawi dengan tulisan Jawi pada suatu bidang.30
Tulisan Jawi sebetulnya merupakan suatu hasil usaha dan kreativitas untuk memadukan antara tulisan Arab dengan bahasa Melayu sehingga huruf Arab tertentu harus mengalami penyesuaian. Tulisan Jawi berhasil tampil dengan corak yang khas, berbeda jika dibandingkan dengan tulisan lainnya. Tulisan ini diperkirakan sudah muncul di Alam Melayu semenjak awal abad ke-14 M. Bukti tertua tentang munculnya tulisan ini dijumpai di daerah Sungai Teresat Kuala Berang, Trengganu berupa batu bersurat berangka tahun 702 H (1303 M). Batu bersurat itu berisikan undang-undang dan hukum Islam yang dipakai di Trengganu awal abad ke-14 tersebut.31

4.2. Kaligrafer dan Hubungannya dengan Para Ulama dan Kalangan Istana.

Di situs kampung pandai di Aceh Besar banyak dijumpai nisan berisi kaligrafi Islam yang belum difungsikan dalam bentuk kasar maupun yang “siap pakai”. Dari tofoname situs Kampung Pandai, Uka Tjandrasasmita 32 pernah mengungkapkan bahwa ada kemungkinan Kampung Pandai adalah suatu situs perbengkelan, di sekitarnya bertempat tinggal para pengrajin, tukang, atau ‘pandai’ yang mempunyai keahlian membuat nisan. Pada sisi tertentu barangkali para pandai itu mempunyai keahlian dalam membuat kaligrafi Islam dan dapat dikatakan sebagai kaligrafer.
Dari temuan yang dijumpai di sekitar situs Kampung Pandai maupun situs lainnya, ada kemungkinan para pandai telah mempunyai pengetahuan dan pemahaman tentang tasauf, dan barangkali telah terjadi semacam kerja sama yang erat antara mereka dengan ulama dan kalangan sufi dalam aktivitas mereka. Hal ini sesuai dengan apa yang diungkapkan oleh Azyumardi Azra (1990) bahwa telah terjadi semacam kerja sama dan afiliasi yang erat antara kaum sufi dengan para pengrajin yang di dalam memainkan perannya dalam dunia Islam.33
Dari data arkeologis yang banyak dijumpai di situs para bangsawan dan raja, dapat dikatakan bahwa kaligrafi Islam menduduki posisi dan tempat tersendiri di dalam kegiatan seni masyarakat Melayu. Semenjak perkembangan awalnya seni ini selalu memperlihatkan gejala elitisme dan istana. Kaligrafi Islam banyak dipakai oleh para ulama dan kalangan bangsawan istana. Kondisi seperti itu barangkali menjadi pemicu tumbuh suburnya kaligrafi pada masa tersebut.

5. Epilog
Temuan arkeologi berupa inskripsi-inskripsi Islam dapat dijadikan sumber kajian kaligrafi Islam di Alam Melayu. Sebagai benda budaya, kaligrafi Islam memantulkan peristiwa budaya yang muncul pada saat kekiniannya. Oleh sebab itu, kaligrafi Islam dapat merefleksikan adanya peristiwa akulturasi.
Di dalam peristiwa akulturasi seni islami di alam melayu antara abad ke-13 sampai 16 M, para pandai menempatkan diri sebagai kaligrafer yang mempunyai kreativitas untuk melakukan akulturasi seni dan bertindak sebagai penggeraknya. Para pandai dalam kegiatan mereka mengadakan afiliasi yang erat dengan para ulama dan kaum sufi sehingga menghasilkan produk seni islami yang bernilai tinggi.
Dalam kaligrafi Islam di Alam Melayu antara abad ke-13 sampai 16 M tertuang beberapa kutipan ayat Al Quran dan puisi-puisi sufi. Dari kenyataan ini dapat dikatakan kaligrafi Islam bukan hanya sebagai sarana penuangan rasa dan nilai keindahan, tetapi juga sarana penuangan konsepsi tentang sikap, cita-cita, dan dambaan seorang muslim dalam menjalani kehidupan yang “selamat’ di dunia dan “selamat” di akhirat, bahkan sampai kembali ke “Asal”.

Catatan-catatan:
1. Kaligrafi Islam pada intinya menekankan seni tulisan indah. Dalam hal ini yang lebih menonjol adalah keindahan huruf. Akhir-akhir ini, terutama di Indonesia, telah muncul suatu aliran dalam seni tulisan indah. Aliran ini sepertinya mengabaikan keindahan dalam kaligrafi Islam, tetapi lebih menonjolkan lukisan kaligrafi sehingga aliran ini sering disebut-sebut dengan aliran “pemberontak”. Lebih lanjut lihat. Drs. D. Sirojudin AR. Seni Kaligrafi Islam. Jakarta: Multi Kreasi. 1992. hal. 164-168.

2. Secara garis besar, bentuk tulisan yang muncul dalam kaligrafi Islam dapat dipilah-pilah atas bentuk huruf dan daerah tempat munculnya. Tulisan naskhi, taglik, nastalik lebih populer karena bentuk hurufnya: naskhi adalah tulisan berbentuk kreasif bergerak berputar (rounded); taglik adalah jenis tulisan yang menggantung, sedangkan nastalik adalah jenis tulisan yang merupakan paduan antara taglik dan naskhi. Tulisan lain seperti tsuluth (‘’tulisan sepertiga”) yang mempunyai perimbangan garis lurus terhadap garis lengkungnya tidak sama, riq’ah (tulisan cepat), diwani dan diwani jali yang bercorak miring bersusun, tumpang tindih dapat digolongkan berdasarkan bentuk huruf. Sehingga tulisan kufi (dari Kufah), andalusi dari Andalusia, behari dari India, dan shini dari Cina dapat digolongkan berdasarkan daerah tempat munculnya.

3. Ismail Husein et.al. Tamaddun Melayu. Jilid Satu. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian Pendidikan Malaysia. 1993. hal.xiii. Saat ini ada empat pengertian tentang masyarakat Melayu: yaitu dunia Melayu di Semenanjung Melayu bangsa yang tinggal di Semenanjung Malaysia; kedua termasuk orang Cina di daerah itu meskipun tidak beragama Islam tetapi ikut memakai bahasa Melayu; ketiga, pengertian Melayu Serumpun yang meliputi Indonesia, Brunei, Malaysia; dan pengertian keempat Melayu Polinesia yang melingkupi Asia Tenggara. Pendapat ini dilontarkan oleh Prof. Firdaus Haji Abdulah. Untuk selanjutnya baca Prof. Firdaus Haji Abdulah, ‘’Istilah Melayu perlu Referensi,’’ Harian Umum Independen Singgalang, Senin, 16 Desember 1996. hal. 1.

4. Kerajaan Samudera Pasai didirikan oleh Sultan Malik as Saleh yang memerintah sampai tahun 1297 M di utara Sumatra. Berturut ia digantikan oleh Sultan Muhammad (1927-1326), Sultan Malik az Zahir (1326-1345), Sultan Mansur Malik az Zahir (1326-?), Sultan Ahmad Malik az Zahir (1346-1383), Sultan Zain bin Abidin Malik az Zahir (1383-1405), Sultanah Nahrisyah (1405-1412), Sultan Sallah Ad-din (1405-1412), Abu Zaid Malik az Zahir (1455-1477), Zai al-Abidin (1477-1500), Abd-Allah Malik az Zahir (1501-1513), dan Sultan Zain al-Abidin (1513-1524) yang merupakan Raja terakhir karena ditaklukkan oleh Sultan Ali Mukhayat Syah dari Aceh Darussalam. Baca T. Ibrahim Alfian. Seri Penerbitan Museum Negeri Aceh: Mata Uang Emas Kerajaan-kerajaan di Aceh. Banda Aceh: Proyek Rehabilitasi dan Perluasan Museum Daerah Ist. Aceh. 1979. hal. 1527.

5. Kerajaan Malaka didirikan oleh Parameswara yang memerintah dari tahun 1403. Pada tahun 1414 ia memeluk agama Islam dan mengubah namanya dengan Mengat Iskandar Syah, yang memerintah sampai tahun 1421. Ia kemudian digantikan oleh Sultan Muhammad Syah (1424-1444). Selanjutnya secara berurutan memerintah Raja Ibrahim Sri Prameswara Dewa Syah (1444-1446), Sultan Muzafar Syah (1446-1456), Sultan Mansor Syah (1456-1477), Sultan Alaudin Riayat Syah (1477-1488), Raja Mahmud Syah (1488- 1511), yang mangkat di Kampar tahun 1529. Baca Yahya bin Abu Bakar “Malaka Sebagai Pusat Penyebaran Islam di Nusantara”, dalam Abdul Latif Abu Bakar. Sejarah di Selat Malaka. Kuala Lumpur: United Selangor Press Sdn. Bhd. 1984. Hal. 28-46.

6. Istilah jawi berasal dari perkataan Arab jawah dan jawi yang merujuk pada daerah sekitar Asia Tenggara dan penduduknya. Baca Prof. Madya Dr. Hj. Aamat Juhari Moain. “Penyebaran Tulisan Jawi di Asia Tenggara dan Kajian Khusus Tulisan Jawi dalam Surat Ratu Jambi kepada Gubenor Jeneral Belanda di Batavia (April 1669)”, Makalah Seminar Sejarah Melayu Kuno. Jambi, 7-8 Desember 1992.

7. Inskripsi tertua di Samudera Pasai terdapat di nisan Sultan Malik as Saleh yang mangkat tahun 1297 M.

8. Mundardjito. “Hakekat Local Genius dan Hakekat Data Arkeologi”, dalam Aayatrohaedi (editor). Kepribadian Budaya Bangsa (local genius). Jakarta: Pustaka Jaya. 1986. Hal. 39-45.

9. Soejanto Poespowardijo. “Pengertian Local Genius dan Relevansinya dalam Modernisasi”, dalam Aayatohaedi (editor). ibid Koetjaraningrat. Metode-metode Antropologi dalam Penyelidikan Masyarakat dan Kebudayaan di Indonesia (Sebuah Ikhtisar). Jakarta: Penerbit Universitas. 1958. Hal. 440-441.

10. Soejanto Poespowardijo. ibid.

11. Hasan M Ambary. ‘’Kaligrai Islam Indonesia Dimensi dan Signifikasinya dari Kajian Arkeologi’’. (pidato pengukuhan jabatan ahli peneliti utama pada pusat penelitian Arkeologi Nasional). Jakarta. 18 Februari 1991. Hal. 6-7. Lihat juga. Dr. Othman Mohd. Yatim dan A. Halim Nasir. Epigrafi Islam Terawal di Nusantara. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementrian Pendidikan Malaysia. 1990. Hal. 7.

12. ibid.

13. Othman Mohd. Yatim telah membuat suatu tabel pendistribusian nisan-nisan batu Aceh baik di Samudera Pasai maupun di Semenanjung Malaysia. Lebih lanjut lihat Dr. Othman Mohd. Yatim. Batu Aceh Early Islamic Gravestones in Peninsular Malaysia. Kuala Lumpur: United Selangor Press Sdn. Bhd. 1998. Hal. 6-40.

14. Meskipun ada suatu nisan lagi memuat inskripsi bertulisan Arab, yaitu di makam Tuhar Amisurid Barus, Sumatra Utara, namun diperkirakan nisan ini berangka tahun 1206 M, jauh sebelum Samudera Pasai. Lihat Hasan M. Ambay. op. cit.

15. Deng Cho Ming. “Menyingkap Naskah-naskah Melayu”. Makalah dengan Kongres Internasional ke-23 Studi-studi Asia dan Afrika Utara. 25 Agustus 1986. Hal. 2-3.

16. Othman Mohd. Yatim (1988). op. cit. Hal 68-69.

17. Husaini Ibrahim. Data Tekstual pada Makam Islam di Kecamatan Samudera Pasai Aceh Utara Hubungannya dengan Perkembangan Kerajaan Samudera Pasai. Tesis Magister Humanoria. Jakarta: UI. 1994. hal. 125.

18. Othman Mohd. Yatim (1988). op. cit. Hal. 68-69.

19. Uka Tjandrasasmita. “Peranan Kaum Sufi dalam Penyebaran Islam dan Refleksinya pada beberapa Nisan Kubur di Sebagian Daerah di Asia Tenggara”, dalam Procedings Pertemuan Ilmiah Arkeologi V. Yogyakakrta, 4-7 Juli 1989. Lihat Ibrahim. op. cit. Hal.139.

20. Uka Tjandrasasmita. ibid.

21. Othman Mohd. Yatim (1988). op. cit. Hal. 140; (1990) op. cit. Hal 81.

22. Uka Tjandrasasmita. loc. cit.

23. Husaini Ibrahim. op. cit. 28.

24. ibid. 35.

25. Uka Tjandrasasmita. loc. cit.

26. Pada masa tradisi megalitik banyak motif yang dinukilkan di atas batu-batu berupa ragam hias flora maupun fauna.

27. Hasan Maurif Ambary. “Persebaran Kebudayaan Aceh di Indonesia Melalui Peninggalan Arkeologi Khususnya Batu-batu Nisan”, dalam Hasan Muarif Ambary dan Dr. Phil. Bachtiar Aly, MA. Aceh dalam Restrospeksi Budaya Nusantara. Jakarta: Intim. 1988. Hal. 9-16.

28. Baca Setyawati Sulaiman. Sejarah Indonesia. Djilid IA. Bandung. K.PP.K. Balai Pendidikan Guru. TT. Hal. 24.

29. Othman Mohd. Yatim (1990). op. cit. Hal. 24-25.

30. ibid. Hal. 66-69.

31. ibid. Hal. 45-52.

32. Di dalam perkuliahan “Arkeologi Islam Asia Tenggara”, di Pasca Sarjana UI, Uka Tjandrasasmita pernah mengungkapkan bahwa di situs Kampung Pandai, di Adeh Besar banyak berserakan batu Aceh yang masih belum di fungsikan, dan kemungkinan menurutnya merupakan situs perbengkelan (pabrik) pembuatan batu Aceh tersebut. Hal serupa penulis saksikan sendiri ketika membimbing mahasiswa SKI Fakultas Adab. IAIN Imam Bonjol ke Provinsi Aceh tahun 1996 dalam kuliah lapangan Arkeologi Islam.

33. Azyumardi Azra. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad ZVIII-XV.

Pariwisata Budaya (Orasi Ilmiah)

Pariwisata Budaya
dan Arkeologi Pariwisata di Sumatera




Oleh: DR. Herwandi, M. Hum




Yth. Rektor / Ketua Senat, dan para Pembantu Rektor Universitas Andalas,
Yth. Kepala Dinas Pariwisata Seni dan Budaya (Parsenibud) Provin-si Sumatera Barat,
Yth. Kepala Museum Adityawarman, Provinsi Sumateara Barat,
Yth. Kepala Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala (SPSP) Sum-bar-Riau,
Yth. Kepala Balai Kajian Sejarah dan Nilai-Nilai Tradisional (BKSNT), Provinsi Sumatra Barat,
Yth. Para Bupati / Wali Kota Derah Tk. II dan Kepala Dinas Pariwi-sata Seni dan Budaya (Parsenibud) Kabupaten dan Kota se-Sumatera Barat.
Yth. Para Dekan dan Pembantu Dekan di Lingkungan Universitas Andalas,
Yth. Dekan Fakultas Sastra Universitas Bung Hatta,
Yth. Dekan Fakultas Sastra Universitas Negri Padang,
Yth. Dekan Fakultas Adab IAIN Imam Bonjol,
Yth. Dekan, Para Pembantu Dekan (PD), seluruh anggota senat, dan staf pengajar Fakultas Sastra Universitas Andalas,
Yth. Para Undangan dan hadirin seluruhnya,
Izinkan saya dalam acara yang penuh kebahagiaan ini terle-bih dahulu: memanjatkan puji syukur ke hadirat Allah SWT, kare-na atas limpahan rahmat dan atas izinan-Nya-lah saya diperkenan-kan berdiri di sini saat ini; dan menghadiahkan salawat dan salam ke pada Nabi Muhammad SAW, manusia sempurna yang dengan ilmu dan hidayahnya telah merubah dunia kearah yang lebih baik.
Izinkan juga saya mengucapkan terima kasih kepada jajaran pimpinan Fakultas Sastra Universitas Andalas yang telah memberi-kan kesempatan kepada saya dalam orasi ilmiah ini untuk menyam-paikan beberapa pokok fikiran dalam rangka dies natalis Fakultas Sastra Universitas Andalas yang kita cintai ini.
Orasi ini diberi judul dengan “Pariwisata Budaya dan Arkeo-logi Pariwisata di Sumatera”, judul yang sangat luas tetapi di dalam-nya terselip opini yang sederhana sekali.

Hadirin yang saya muliakan,
Terlebih dahulu saya akan menguraikan selintas tentang kon-sep pariwisata dan hal-hal yang mengitarinya, agar kita memiliki pe-mahaman yang seragam dalam memahami uraian-uraian berikutnya.
Istilah pariwisata dapat disamakan artinya dengan istilah tourism di dalam bahasa Inggris, yang mempunyai hubungan dekat dengan istilah tour dan tuorist dalam bahasa yang sama: Tour adalah kata kerja yang berarti perjalanan, raun-raun, mengadakan turne, dan berpariwisata; tourist adalah subjek, orang yang melakukan ke-giatan tour; sedangkan tourism kata benda yang dapat diartikan se-bagai hal yang menyangkut kepariwisataan (Echols & Shadily 1976: 599). Berpijak pada pengertian ini kelihatan istilah tourism memi-liki cakupan yang sangat luas. Kepariwisataan dapat saja mengenai wisatawan, akomodasi, transportasi, objek wisata, pelaksana, penge-lola kepariwisataan, keamanan, bahkan konsepsi tentang kepariwisa-taan yang hendak dikembangkan dan lain-lain yang memiliki keter-kaitan dengan pariwisata tersebut. Karena begitu luasnya maka tidak memungkinkan bagi saya untuk mengupas masalah kepari-wisataan secara lengkap dalam waktu dan jumlah halaman yang ter-batas. Oleh sebab itu saya hanya menfokuskan untuk melihat bagian tertentunya saja, yaitu tentang sumber daya manusia yang melaksa-nakan dan mengelola kepariwisataan.
Sejauh ini, di Indonesia paling tidak telah dikembangkan tiga jenis pariwisata, yaitu pariwisata alam, priwisata konvensi, dan pari-wisata budaya. Pariwisata alam adalah pariwisata yang mengandal-kan keindahan alam, pariwisata konvensi adalah yang dipadukan de-ngan kegiatan-kegiatan konvensi seperti rapat-rapat, seminar, perte-muan-pertemuan baik yang bersifat nasional, regional, dan interna-sional, sedangkan wisata budaya lebih mengandalkan kepada kein-dahan budaya daerah setempat (Ave 1987), yang dapat saja menge-depankan 3 wujud kebudayaan yang ada di setiap daerah (wujud ma-terial, perilaku, dan ideal). Meskipun begitu, selain dari tiga jenis tersebut sebetulnya sudah dikembangkan juga bentuk agro-tourism yaitu suatu kegiatan periwisata yang mengandalkan dan menyuguh-kan tentang kegiatan pertanian, atau wisata bahari yang mengan-dalkan objek-objek wisata kelautan. Sesungguhnya saat ini semua jenis tersebut telah dijalankan di Indonesia.

Hadirin sekalian,
Sumatera adalah kawasan yang sangat potensial untuk pe-ngembangan semua jenis pariwisata itu, karena memiliki modal dasar yang memadai untuk hal tersebut. Alamnya bergunung-gu-nung dan berlembah-lembah, di sana-sini ada danau yang memiliki panorama yang indah menjadi daya pikat untuk dijadikan sebagai daerah wisata alam dan agro-tourism, sebutlah misalnya Gunung Leuser, Brastagi, Danau Toba, Bukittinggi dan Danau Maninjau, Danau Singkarak, danau Diateh dan Dibawah, Kayu Aro, Kerinci dan lain-lain. Kota-kotanya yang nyaman, unik dan khas dapat digu-nakan sebagai tempat dilaksanakan konvensi baik berskala nasional, regional, maupun internasional, seperti Kota Sabang, Banda Aceh, Medan, Toba, Bukittinggi, Padang, Pakan Baru, Jambi, Palembang, Bengkulu dan beberapa kota lain yang tak sempat disebutkan. Ma-sing-masingnya memiliki kekhasan tersediri. Selanjutnya, yang sa-ngat berharga adalah Sumatera memiliki kekayaan budaya yang be-lum begitu “terapungkan” sebagai objek wisata. Kawasan ini secara kulturil memiliki kesaragaman di samping keberagaman. Keseraga-man budaya Sumatera barangkali dapat ditelusuri dari latar belakang sejarah budaya Melayu yang sudah memasuki daerah ini semenjak pra-sejarah yang lalu, sehingga wajar saja kalau saat ini muncul istilah Melayu Aceh, Melayu Deli, Melayu Riau, Melayu Minang (Padang), Melayu Jambi, Melayu Palembang, dan lain-lain, yang sesungguhnya di dalamnya tersirat suatu keseragaman (homogen) yang mampu menjadi elemen perekat antara satu dengan yang lain. Sebaliknya di dalam keseragaman itu ternyata masing-masing dae-rah memiliki keunikan tersendiri. Pendek kata, keindahan alam dan kebudayaan Sumatera adalah modal dasar yang sangat berharga un-tuk dijadikan sebagai objek wisata, saat ini dan akan datang.
Sehubungan dengan itu, khusus untuk wilayah Sumatera Ba-rat, tidak asing lagi bagi kita bahwa alam Minangkabau yang elok ini sudah dikenal oleh wisatawan di penjuru dunia, karena telah di-kunjungi oleh beberapa bangsa dari mancanegara. Tetapi sayangnya Sumatera Barat belum mampu mengoptimalkan diri sebagai kawa-san tujuan wisata. Berdasarkan data tahun 1986 kawasan ini hanya menduduki rangking ke 6 di Indonesia sebagi daerah tujuan wisata (Ave 1987). Perlu juga dicatat bahwa sampai tahun 1994, untuk wi-layah Sumatera, Sumatera Barat masih berada di bawah Sumatera Utara. Pada tahun 1994 Sumatera Utara dikunjungi oleh 206.599 wi-satawan mancanegara, sedangkan Sumatera Barat kurang dari sepa-ruhnya, hanya sebanyak 92.634 orang wisatawan (Sammeng 1996: 38-39).

Hadirin sekalian
Barangkali tak perlu dipungkiri pariwisata Indonesia, teruta-ma kawasan Sumatera (apalagi Sumatera Barat) dapat mengandal-kan sektor pariwisata budaya. Boleh jadi sektor ini dapat dikedepan-kan mengingat Sumatera kaya akan aneka kebudayaannya. Kekaya-an, keindahan dan kualitas budayanya menjadi modal utama untuk memikat wisatawan, sehingga bermuara meningkatnya kunjungan wisatawan ke daerah ini. Untuk mencapai semaksimal mungkin tuju-an tersebut diperlukan tenaga-tenaga yang mampu mengelola secara memadai kegiatan kepariwisataan tersebut, yang selama ini menjadi kendala tersendiri bagi kemajuan kepariwisataan di kawasan ini.

Hadiri yang saya muliakan,
Sebelum melanjutkan ke pembicaran berikutnya izinkanlah saya menceritakan secuil pengalaman saya berwisata budaya ke be-berapa tempat di Sumatera, yang mungkin dapat menggambarkan sedikit kondisi kepariwisataan di daerah ini saat ini.
Berapa kali saya melakukan perjalanan ke daerah-daerah wi-sata di Sumatera, baik sebagai seorang dosen pembimbing kuliah la-pangan, sebagai mahasiswa ataupun dalam kapasitas sebagai wisa-tawan domestik. Pada tahun 1996 saya bersama mahasiswa SKI-Fak. Adab IAIN Imam Bonjol ke Propinsi Aceh. Dalam perjalaan kami sempat singgah di Pulau Samosir, Danau Toba Sumatera Utara. Kemudian semejak akhir 1995 sampai 1998, hampir setiap ta-
hun saya bersama mahasiswa (kadang kala dari Jurusan Sejarah Fak. Sastra UNAND, dan kadang bersama mahasiswa SKI- Fak Adab IAIN) ke berbagai objek wisata Sumatera Barat, seperti di sekitar Padang, Pariaman, Tanah Datar dan Limapuluh Kota. Setidaknya saya telah mengunjungi sejumlah objek wisata (berupa peninggalan sejarah dan purbakala) di daerah-daerah itu. Dari pengalaman terse-but ada beberapa hal yang masih segar dalam ingatan. Di pulau Sa-mosir tepatnya di Tok-Tok kebetulan kami sempat mengunjungi su-atu objek wisata berupa beberapa hasil kebudayaan megalitis, salah satunya adalah kubur batu berbentuk konstruksi rumah adat tradi-sional Batak yang di bagian ujungnya terdapat patung manusia. Di sekitar kubur terdapat patung-patung lain seperti patung sapi dan be-berapa patung manusia, yang semuanya tersusun sedemikan rupa se-akan menggambarkan suatu prosesi ritual keagamaan dan menyirat-kan simbol tertentu. Sedangkan di Aceh sempat juga mengunjungi beberapa objek wisata peninggalan sejarah Islam, bekas peninggalan masa kerajaan Islam Samudera Pasai dan Aceh Darussalam berupa kubur, nisan-nisan yang penuh dengan bungong kalimah (kaligrafi Arab) . Di Limapuluh Kota dan Tanah Datar serta daerah sekitarnya saya telah mengunjungi beberapa peninggalan tradisi megalitik, pra-sasti-prasasti, bangunan-bangunan ibadah tradisional, dan beberapa makam-makam kuno Islam, yang umumnya berada di luar gedung (alam lepas). Di samping mengunjungi objek-objek wisata di luar gedung, kami juga mengunjung beberapa museum, yang di dalam-nya banyak di pajang benda-benda budaya.
Kunjungan-kunjungan seperti itu tetap berlanjut selang bebe-rapa tahun kemudian. Khususnya ke Propinsi Aceh kunjungan kepa-da sebagian objek yang sama berulang kembali pada tahun 2000, ketika melakukan penelitian untuk penulisan disertasi.
Tidak jauh berbeda dengan maksud di atas, saya juga telah menyaksikan beberapa objek wisata budaya di pulau Jawa, mulai da-ri Jawa Barat sampai ke daerah Jawa Timur. Meskipun ada kesan kondisi di pulau jawa agak lebih baik jika dibandingkan dengan di Sumatera namun secara esensial permasalahannya tidak jauh ber-beda.

Hadirin sekalian,
Beberapa pertanyaan telah dilontarkan oleh wisatawan kepa-da peramu wisata dan juru kunci (meminjam istilah yang dijumpai di pulau Jawa untuk orang-orang yang ditunjuk menjaga dan menjelas-kan hal-hal mengenai objek wisata tersebut). Sajauh itu peramu wi-sata dan juru kunci hanya mampu menjawab beberapa hal saja tanpa memuaskan. Hal senada juga dijumpai di setiap tempat, bahkan di sebagian besar tidak ditemukan orang-orang yang dapat memberikan keterangan meskipun secuil.
Yang sangat menyedihkan, umumnya museum-museum di kawasan Sumatera tidak memiliki koleksi yang memadai, sehingga kadang-kala tidak dapat diharapkan untuk mempelajari perkemba-ngan sejarah dan kebudayaan di derah tersebut. Di beberapa muse-um bahkan terkesan hanya menyuguhkan benda pajangan yang se-betulnya tidak layak dijadikan sebagi koleksi museum , sebab secara esensial koleksi museum tersebut adalah benda-benda yang dibuat pada suatu saat pada masa lalu, dan memiliki nilai kesejarahan. Di beberapa museum yang dijumpai malah sebaliknya, objeknya lebih banyak menyuguhkan benda-benda yang sungguhnya tidak memiliki nilai kesejarahan. Sehingga telah merubah hakekat dan fungsi se-sungguhnya museum itu sendiri.
Selanjutnya di beberapa tempat, beberapa objek wisata telah mengalami perubahan sangat menyolok, ada di antaranya yang ditata dan dibuat seindah mungkin tanpa memperhatikan keaslian benda-benda tersebut. Di Banda Aceh saya menemukan beberapa objek wi-sata yang telah diperbaiki, direhabilitasi, tetapi sangat merusak ter-hadap keorisionalan objek wisata, sehingga di antaranya sudah kehi-langan “greget” yang bernilai tinggi bagi penikmatnya. Di daerah ini saya menjumpai beberapa objek wisata yang telah mengalami keru-sakan karena salah urus, sebutlah misalnya makam-makam di Kan-dang XII dan Makam Keumalahayati. Beberapa jirat dan nisan di kompleks Kandang XII (Kompleks pemakaman 12 orang Sultan Ke-rajaan Aceh Darussalam) telah rusak karena diplaster dengan semen secara serampangan, dan nisan di makam Keumalahayati yang dicat sedemikian rupa sehingga menghilangkan beberapa hiasan dan in-skripsi bungong kalimah yang ada di makam tersebut. Salah urus ini juga dijumpai di beberapa objek wisata di Samosir. Konon kha-barnya beberapa benda-benda objek wisata tersebut sengaja dikum-pulkan, sehingga meskipun sebelumnya masih in situ kemudian se-ngaja dicopot dan dipindahkan ketempat yang diinginkan. Salah urus tersebut ternyata juga melanda Sumatera Barat. Batu Malin Kundang di Pantai Air Manis telah didandani seindah mungkin, sehingga me-robah bentuk dan tekstur batu Malin Kundang. Begitu juga Rumah Kampai Nan Panjang di Balimbing (Tanah Datar) yang ternyata su-dah dilengkapi dengan wc (water close) yang sebetulnya secara tra-disional tidak pernah dijumpai di rumah gadang Minangkabau.
Hal demikian hanyalah secuil contoh yang menggambarkan betapa kepariwisataan dikelola dengan tidak baik. Persoalan seperti itu merupakan potret kondisi pariwisata di kawasan yang dikunjungi, dan barangkali tidak jauh berbeda kondisinya di hampir seluruh pelosok Indonesia.

Hadirin sekalian,
Di sisi lain, seiring dengan perkembangan politik secara na-sional telah terjadi perubahan dahsyat di dalam kebijakan pengelo-laan kepariwisataan di Indonesia. Seiring dengan otonomi yang di-serahkan kepada daerah Kabupaten dan Kota, maka setiap Kabupa-ten dan Kota akan mengelola kepariwisataan secara otonom. Hal de-mikian jelas akan terjadi “balapan”, saling berlomba antara Kabupa-ten dan Kota untuk meningkatkan kualitas pengelolaan dan pelaya-nan terhadap objek-objek wisata yang sudah ada, dan berusaha membuat, mendisain, menata, dan menciptakan objek-objek wisata yang baru.
Hal seperti itu, akan memunculkan kondisi yang benar-benar sangat riskan. Tidak terbayangkan apa yang akan terjadi apabila ke-pariwisataan di tingkat Kabupaten dan Kota telah dikelola oleh orang-orang yang sebetulnya memiliki kendala wawasan kepariwi-sataan, kurangnya jam terbang (mengingat juga selama ini proyek pariwisata sering dikelola langsung dari tingkat Propinsi), dan hanya berorientasi proyek dalam mengolah dan mengelola dunia pariwi-sata, apalagi yang sangat penting, tidak faham dengan masalah tek-nis-metodologis yang memenuhi standar keilmiahan. Kondisi seperti itu akan menghancurkan terhadap objek wisata, yang justru lebih ba-ik dibiarkan begitu saja dari pada diasak-usik oleh orang yang tidak mengerti dengan pekerjaan mereka. Dapat diperkirakan pariwisata Indonesia masa datang akan mengalami salah kaprah dan merusak secara lambat laun terhadap objek wisata.
Oleh sebab itu pada gilirannya, setiap Kabupaten dan Kota harus menyediakan “praktisi”, pegawai yang mampu menjadikan Kabupaten dan Kota mereka menjadi daerah tujuan wisata, sekaligus memiliki wawasan tentang kepariwisataan yang tepat guna tanpa merusak kepentingan-kepentingan yang jauh lebih besar dari pa-riwisata tersebut.

Hadirin sekalian,
Apa yang terjadi pada makam-makam di Kandang XII Banda Aceh yang telah diplasteri dengan semen, Batu Malin Kundang di Pantai Air Manis Padang yang telah diparancak dan Rumah Gadang Kampai Nan Panjang di Kabupaten Tanah Datar yang telah dileng-kapi dengan wc di pekarangannya adalah contoh yang sangat tepat untuk menggambarkan kondisi yang dikuatirkan tadi. Di dalam hal tersebut paling tidak telah terjadi perubahan-perubahan bentuk yang sangat merusak terhadap informasi budaya yang terendap pada objek tersebut. Kasus pada makam-makam Kandang XII yang kehilangan beberapa bungong kalimah telah mengurangi keindahan aslinya, dan kehilangan beberapa informasi budaya yang sebetulnya sangat ber-harga bagi wisatawan dan dunia keilmiahan. Batu Malin Kundang yang telah diparancak telah membodohi pengunjung karena yang di-lihatnya bukan lagi benda yang sesungguhnya. Rumah Kampai Nan Panjang yang telah dilengkapi dengan wc, meskipun untuk alasan apapun, telah memberikan gambaran dan informasi yang keliru ke-pada wisatawan yang mengunjunginya, sebab secara tradisional tak satupun rumah gadang yang memiliki wc di sekitar rumah gadang.


Hadirin sekalian yang dimuliakan,
Dari sudut wisatawan paling tidak ada dua fungsi pariwisata yaitu fungsi rekreasi dan edukasi. Fungsi rekreasi menimbulkan rasa kesenangan, kekaguman, kenikmatan bagi wisatawan yang pada gili-rannya menimbulkan dampak pelenturan otot, saraf dan anggota tu-buh. Sedangkan fungsi edukasi akan memberikan pengetahuan-pe-ngetahuan yang selanjutnya bermuara memperluas wawasan wisa-tawan khususnya tentang objek-objek yang dikunjungi. Oleh sebab itu di dalam kegiatannya berpariwisata, wisatawan selalu mengaju-kan pertanyaan-pertanyaan kepada peramu wisata, atau ke pada siapapun yang ada.
Dalam wisata budaya, wisatawan akan berhadapan dengan benda-benda budaya (bukan berarti melupakan budaya selain benda) dan sering pertanyaan-pertanyaan yang muncul dari mereka tentang sejarah, fungsi, kegunaan dan hubungan benda budaya dengan ma-syarakat masa lalu dan sekarang. Pertanyaan-pertanyaan mereka pa-ling tidak mempunyai 3 tiga dimensi yaitu: pertama berdimensi wak-tu (time) seperti, kapan benda itu dibuat, kapan direnovasi, dihancur-kan, dan lain-lain; kedua berdimesi bentuk (form) seperti, bagaima-nakah bentuk benda budaya dan kenapa demikian, kenapa kuburan berbentuk rumah adat tradisional Batak, kenapa batu Malin Kundang mirip kapal: ketiga berdimensi ruang (space) seperti, apakah benda tersebut sudah berada di tempat itu semenjak awal ditemukan, atau apa-kah sudah terjadi pemindahan lokasi, apakah masih ada benda sejenisnya di kawasan lain, atau sampai ke daerah mana persebaran dan distribusi benda budaya tersebut, dan lain-lain sebagainya.
Sebetulnya pertanyaan-pertanyaan di atas tidak jauh berbeda dengan pertanyaaan-pertanyaan yang diapungkan oleh para arkeolog dalam kajian-kajian mereka tentang kebudayaan. Oleh sebab itu per-tanyaan-pertanyaan wisatawan merupakan pertanyaan bernuansa ar-keologis. Dengan demikian kalau wisatawan mengajukan pertanyaan seperti itu maka para peramu wisata harusnya menjawab sebagimana arkeolog mendeskripsikan dan merekonsruksi sejarah kebudayaan. Oleh sebab itu, peramu wisata tersebut harus juga memiliki wawa-san dan pengetahuan tentang kearkeologisan. Dengan demikian juga, pariwisata budaya sangat membutuhkan peramu-peramu wisata yang memiliki wawasan dan cara berfikir arkeolog, paling tidak mereka mempunyai dasar-dasar logika berfikir arkeologis. Barangkali meru-pakan hal yang wajar saja kalau selama ini wisatawan menemui ken-dala di lapangan dan pulang tanpa memuaskan, karena terkesan pe-ramu-peramu wisata yang ada hanya bermodalkan pengetahuan sea-danya, terkesan sebatas pelepas hutang, tanpa wawasan yang cukup mengenai objek wisata tersebut. Mereka muncul begitu saja, tanpa kriteria yang jelas.

Hadirin sekalian,
Barangkali bukan merupakan hal yang mengada-ada jika su-dah seharusnya memikirkan untuk memperbanyak lembaga-lembaga pendidikan yang menawarkan kurikulum tentang arkeologi pariwi-sata, semacam Ilmu yang memadukan antara arekologi dan pariwisa-ta, yang diarahkan untuk mendukung kepentingan pariwisata, yang mengajarkan tentang hakekat benda budaya, sebagai benda arkeolo-gis dan sebagai sumber ilmu pengetahuan yang harus dijaga, sekali-gus sebagai objek wisata.

Hadirin yang saya hormati,
Sebelum bicara lebih jauh tentang arkeologi pariwisata ada baiknya terlebih dahulu dijelaskan secara sepintas apa itu arkeologi.
Arkeologi berasal dari istilah Yunani, dari kata archaeos yang berarti kuna dan logos yang berarti ilmu. Secara bebas dapat dikatakan arkeologi adalah ilmu tentang kekunoan, yang pada masa lalu disebut ilmu purbakala, tetapi pada tataran atmosfer akademis Indonesia saat ini, justru lebih populer dengan arkeologi saja.
Joukowsky (1980) menyatakan arkeologi adalah ilmu penge-tahuan yang bergelut dengan tinggalan budaya masa lalu yang dila-kukan secara sistematis dan metodologis untuk mempelajari dan me-rekonstruksi kehidupan manusia pada masa lalu selengkap mungkin. Untuk mempelajari masa lalu tersebut, arkeologi sangat mengandal-kan kepada tinggalan material budayanya, karena ada anggapan bah-wa tinggalan budaya tersebut merupakan fosilized behavior (fosi-lisasi dari prilaku) manusia pendukungnya. Oleh sebab itu, seseder-hana apapun, sekecil apapun benda budaya adalah refleksi dari bu-dayanya, berisikan endapan-endapan budaya masa lalu tersebut, dan sangat fungsional untuk mengkaji manusia pembuatnya, pemakai (pendukung) budaya tersebut.
Sehubungan dengan itu, oleh sebab itu arkeologi sangat tabu sekali untuk memindahkan, merubah bentuk dan ukuran benda pur-bakala, karena tempat ditemukan, bentuk dan ukuran benda tersebut adalah refleksi dari budaya pendukungnya. Di dalamnya terendap cara dan tempat pembuatan, pemakaian, dan pembuangan benda tersebut.
Clark (1960) memberikan definisi bahwa arkeologi adalah sebuah disiplin ilmu yang berusaha mengungkapkan, mengkaji dan menganalisa kekunoan secara sistematis. Baik Joukowsky maupun Taylor sama-sama menekankan bahwa arkeologi pada intinya meru-pakan ilmu yang berusaha untuk mengungkapkan kebudayaan ma-nusia. Dalam tataran ini agaknya mirip dengan ilmu sejarah dan an-tropologi budaya yang sama-sama berusaha mengungkapkan kebu-dayaan manusia. Oleh sebab itu berkemungkinan ada yang menya-takan arkeologi berebut lahan dengan ilmu sejarah dan antropologi. Pada bagian tertentu memang arkeologi agak mirip dengan ilmu se-jarah yang sama-sama mendalami masa lalu manusia, dan sepertinya juga identik dengan antropologi budaya karena juga sama-sama me-ngungkapkan tentang budaya manusia. Pada hal kalau diperhatikan lebih jauh terdapat perbedaan yang menyolok. Dari pernyataan Jou-kowsky jelas bahwa arkeologi lebih menekankan, dan lebih banyak bergelut dengan tinggalan budaya (material) dalam merekonstruksi kebudayaan manusia pada masa lalu tersebut. Untuk keperluan itu arkeologi telah mengembangkan metode khusus yang membeda-kannya dengan ilmu sejarah dan antropologi.
Seperti yang dikemukakan Taylor (1971) bahwa arkeologi adalah suatu disiplin ilmu yang mengembangkan teknik-teknik khu-sus (seperti ekskavasi) untuk mengumpulkan dan menghasilkan in-formasi-informasi budaya. Dalam arkeologi pada intinya berusaha memperoleh benda-benda budaya, mengkonservasi (memelihara dan melestarikan), merehabilitasi (memugar), masa lalu yang nantinya dipergunakan untuk mengungkapkan budaya masa lalu tersebut.
Sejarah munculnya arkeologi sangat erat hubungannya de-ngan kegiatan peminat benda-benda seni (art collectors) di Eropah pada abad ke-17 M. Pada masa itu para peminat seni begitu bernafsu mengumpulkan benda-benda seni, karena ada anggapan semakin ba-nyak koleksi benda seni yang dikumpulkan akan menambah kesena-ngan hidup, ketenaran, bahkan meningkatkan status sosial mereka. Oleh sebab itu art collectors bersedia menyediakan dana untuk me-ngumpulkan benda-benda seni, baik yang berasal dari Eropah sendiri maupun dari wilayah di luarnya, seperti Afrika, Amerika Selatan, dan terutama yang berasal dari Asia Barat, Asia Selatan, Cina, dan wilayah Asia lainnya. Kegiatan itu bahkan dilakukan dalam skala yang besar, sehingga yang muncul adalah penjarahan terhadap ben-da-benda seni tersebut, dan perusakan situs-situs purbakala karena telah dilakukan penggalian-penggalian secara serampangan.
Benda-benda yang diperoleh kemudian mereka pajang di ga-leri-galeri seni, dan bahkan di museum-museum pribadi mereka. Benda-benda yang dipajang tersebut pada awalnya diberi sedikit ke-terangan seperti: wilayah asal tempat ditemukan, bahan, perkiraan umur, dan lain-lain. Pada perkembangannya, akibat tuntutan dari be-berapa art collectors, pengunjung galeri dan museum, kemudian muncul keinginan untuk memberikan keterangan yang memadai tentang benda-benda seni tersebut. Maka, pada abad ke-19 muncul-lah niat dari mereka untuk mengembangkan suatu sistem dan metode ilmiah dalam mencari dan mengumpulkan benda-benda itu. Dapat dikatakan pada abad ke-19 arkeologi sebagai ilmu telah dirintis dan dirancang. Semenjak itu kemudian bermunculanlah para arkeolog yang profesional di bidangnya.
Dapat dikatakan sejarah munculnya arkeologi tidak bisa dile-paskan dari unsur tourism, karena dipersembahkan untuk museum dan galeri seni yang tak lain adalah untuk kepentingan pariwisata. Bahkan sampai saat ini, sebagian hasil-hasil kegiatan arkeolog masih diperuntukan guna memenuhi museum-museum.

Hadirin sekalian,
Di Indonesia telah berdiri beberapa jurusan dan program studi arkeologi seperti: Jurusan Arkeologi Fakultas Ilmu-Ilmu Bu-daya Universitas Indonesia; Jurusan Arkeologi Fakultas Ilmu-Ilmu Budaya Universitas Gajah Mada; Program Studi Arkeologi di Ju-rusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Hasanudin Ujung Pan-dang; dan Jurusan Arkeologi di Fakultas Ilmu-Ilmu Budaya Univer-sitas Udayana Bali. Dari empat universitas tersebut, Jurusan Arkeo-logi di Fakultas Ilmu-Ilmu Budaya Universitas Indonesia dan Gajah Mada, dan Program studi Arkeologi di Fakultas Satra Universitas Hasanudin menekankan terhadap arkeologi murni, hanya program studi arkeologi di Universitas Udayana Bali yang mengkhususkan tentang Arkeologi Pariwisata. Di sisi lain di beberapa kota di Indo-nesia telah berdiri dan bermunculan Perguruan Tinggi Swasta yang bidang keilmuannya khusus tentang Pariwisata yang hampir dipasti-kan belum lagi menyediakan sebuah jurusan dan program studi atau setidaknya sebuah mata kuliah Arkeologi Pariwisata.
Khusus untuk daerah Sumatera, terutama Sumatera Barat sungguh ironis dan ganjil kalau suatu kawasan yang kaya akan te-muan benda purbakala, atau benda arkelogis, dan berpotensi untuk dikembangkan sebagai kawasan wisata budaya tak satupun dijumpai lembaga pendidikan yang menawarkan dan mengajarkan arkeologi pariwisata. Barangkali merupakan suatu yang sangat mendesak, me-ngingat perkembangan arah otonomi daerah yang menekankan kepa-da Kabupaten dan Kota, sehingga akan banyak membutuhkan “prak-tisi” (pegawai) yang mampu mendisain dan “menyulap” daerahnya menjadi tujuan wisata.
Dalam kesempatan ini tidak salah kiranya kalau saya mengu-sulkan agar salah satu perguruan tinggi di Sumatera Barat dapat menjadi pemula (frontir) di Sumatera untuk mendirikan sebuah lembaga studi yang benar-benar mengajarkan dan mengembangkan tentang arkeologi pariwisata.
Ada hal yang sangat penting dalam hal ini, yaitu dengan ada-nya jurusan / program studi arkeologi pariwisata, maka program itu dapat menjadi motor penggerak untuk kajian-kajian budaya dan pa-riwisata untuk kawasan Sumatera, yang selama ini dapat dikatakan tertinggal.














Daftar Pustaka


Ave, Job
1987 “Kebijaksanaan Nasional Dalam Pembinaan dan Pe-
ngembangan Kepariwisataan”, Makalah dalam Semi-
nar Pembinaan dan Pengembangan Pariwisata Me-nuju Tahun 2000 di Propinsi Bali.

Chas, Nasroel
1996 “Pariwisata Sumateara Barat dan Alternatif Pengem-bangannya”, Makalah dalam Seminar Pariwisata Da-lam Rangka Lustrum Ke VIII Universitas Andalas Padang. 9 Oktober 1999.

Clark, Grahame
1960 Archaelogy and Society. London: Methuen & Co Ltd.

Echols, John M,
1976 Kamus Inggris Indonesia. Jakarta: Gramedia

Hasanuddin
2003 “Kesadaran Identitas Kemelayuan Minangkabau da-
lam Gagasan Kepariwisataan Sumatera Barat” dalam
Sastri Yunarti Bakry dan Media Sandra Kasih (edt).
Menelusuri Jejak Melayu Minangkabau. Padang: Ya-
yasan Citra Buadaya Indonesia. hal.213-227.

Herwandi,
1997 “Pariwisata Budaya dan Arkeologi Pariwisata” dalam Harian Singgalang Minggu, 6 Juli 1997.

2000 “Bungong Kalimah”, dalam Penelitian Naskah Nu-santara Dari Sudut Pandang Kebudayaan Nusantara Kumpulan Makalah Simposium Internasiional Ma-syarakat Pernaskahan Nusantara (manassa) V. Pa-dang: Masyarakat Pernaskahan Sumatera Barat.

2002 “Kaligrafi Islam Pada Makam-Makam di Aceh Da-russalam: Telaah Sejarah Seni (abad XVII-XVIII M). Disertasi Pascasarjana UI.

Joukowski, Martha
1980 A Complete Manual of Field Archaelogy.

Sammeng, Andi Mappi
1996 “Pola Sarana Perhubungan dalam Pengembangan Pa-
riwisata Wilayah Sumateara”, Makalah dalam Semi-nar Nasional Pengembangan Prasarana Perhubu-ngan Wilayah Sumatera dalam Mengahadapi IMS-GT, IMT-GT dan Globalisasi, Prosiding. Padang: Kerjasama Pemda Tk. I Sumatera Barat dengan UNAND.

Sharer , Wendi Asmore,
1980 Fundamentals of Archaeology. London, Amsterdam, Don Mils, Ontario, Sydney: The Benjamun/ Cum-mings Publishing Company, Inc

Taylor,
1971 A Study of Archaeology. London & Amsterdam: Southern Illinois Univ. Press Corbondale and Edward Sville Feffer & Simons Inc.

Senin, 07 Januari 2008

CV Lengkap

Curiculum Vitae


1. Keterangan Pribadi

Nama : DR. Herwandi, M.Hum
Tempat / Tgl Lahir : Balimbing, Batusangkar 13 September 1962
Pekerjaan : Staf Pengajar Fakultas Sastra Universitas Andalas
Agama : Islam
Nama Istri :
Gusti Mulia, SH
Nama anak :
- Suto Guswanda
- Aurora Alifa
Alamat Kantor :
- Pusat Studi Humaniora Universitas Andalas Lt. II Fak.
Sastra Unand
- Fak. Sastra Universitas Andalas, Kampus Baru UNAND, Limau
Manih Padang, Sumatera Barat
Alamat Rumah :
- Komp. Perum. UNAND D III-01-08, Ulu Gadut, Kel. Bandar Buat Kec. Lubuk
Kilangan; Kotamadya Padang, Sumatera Barat –25231
Telp. ( 0751 ) 73378 -- HP. 081363435343
E-mail:

2. Pendidikan

v SDN No. 3 Balimbing, Batusangkar, IJAZAH tahun 1975
v SMPN No. 2 Batusangkar, IJAZAH tahun 1979
v SMAN Batusangkar, IJAZAH tahun 1982
v Sarjana Ilmu Sejarah, Fak. Sastra UNAND, IJAZAH tahun 1987
v Pascasarjana (S2) Program Studi Arkeologi Sejarah, UI, IJAZAH 1994
v Pascasarjana (S3) Program Studi Arkeologi Sejarah, UI, IJAZAH 2000

3. Riwayat Pekerjaan

v 1987 – 1989 Asisten Dosen di Fak. Sastra UNAND;
v 1995 – 1998, 2000 – 2003 Dosen Sejarah Kebudayaan Indonesia dan Manusia dan Kebudayaan Asia Tenggara di Jur. Antropologi FISIP Unand;
v 1989 Dosen Sejarah Minangkabau STKIP Muhammadiyah Padang Panjang
v 1995 – 1998 Dosen Luar Biasa arkeologi Islam Fakultas Adab IAIN Imam Bonjol Padang
v 1995 – 1998 Dosen Luar Biasa Sejarah Kebudayaan Indonesia di STBA-ABA ( Sekolah Tinggi Bahasa Asing ) Prayoga, Padang ;
v 1989 – Sekarang, Dosen tetap Jurusan Sejarah UNAND
v 2006 – sekarang, Dosen Pasca IAIN Imam Bonjol Padang
4. Riwayat Pekerjaan
v Sekteratis Jurusan Sejarah, 1995 – 1997
v Dierktur Pusat Kajian Sejarah, Sosial Budaya, Universitas Andalas 2000
v Kepala Pusat Studi Humaniora, Universitas Andalas, 2003 – 2005

5. Keanggotaan Organisasi Profesi

v Masyarakat Sejarahwan Indonesia ( MSI – sampai sekarang )
v Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia ( IAAI – sampai sekarang )
v Direktur Pusat Studi Sejarah, sosial dan Budaya Fak. Sastra Unand 2002
v Kepala Pusat Studi Humaniora, Universitas Andalas, 2003 – 2005
v Peneliti Pusat Studi Humaniora Univ. Andalas, 2005-sekarang

6. Karya Tulis dan Penelitian yang dilakukan, antara lain

v ”Talempong Pacik: Suatu Bentuk Seni Tradisional Minangkabau”, dalam Harian Singgalang ( 1984 );
v ” Selawat Dulang: Suatu Bentuk Kesenian Tradisional Minangkabau dan Kaitannya dengan ajaran Tasawuf ” Juara III, Lomba Karya Inovatif Produktif Mahasiswa Tk. Nasional ( Diselenggarakan Dikti-Depdikbud ) 1986 ;
v ” Munculnya Kepala Laras di Minangkabau Pada abad ke- 19”, Skripsi (S1) Jurusan sejarah Fak. Sastra UNAND (1987);
v ” Gaya Berpakaian Angku Lareh ” Laporan Penelitian, dibiayai Puslit UNAND ( 1989 );
v ” Dari Elite Penghulu ke Penghulu Kapalo” Laporan Penelitian, dibiayai Puslit UNAND ( 1989 );
v ” Elite Pedesaan dalam Gerakan Sosial di Minagkabau pada abad ke-20 Laporan Penelitian, dibiayai Puslit UNAND ( 1990 );
v ” Koto Baru: Dinamika Masyarakat Desa Frontier 1970-1995” Laporan Penelitian, dibiayai Puslit UNAND ( 1997 );
v ” Temuan Arkeologi Baru: Ratusan Menhir di Talago Gunung ” dalam Harian Singgalang 1984;
v ” Nisan – Nisan di situs mejan tinggi desa Talago Gunung Kabupaten Tanah Datar Sumatera Barat: Kajian tentang transformasi budaya tradisi megalitik ke budaya islam” Tesis Magister Humaniora di Pascasarjana UI. 1994;
v ” Pariwisata Budaya dan Arkeologi Pariwisata ” dalam Singgalang Minggu 1997;
v ” Seni dan Dinamika Masyarakat: Kajian tentang kaligrafi islam masa kerajaan – kerajaan melayu di Asia Tenggara abad XIII-XVI” Laporan Penelitian dibiayai oleh Puslit UNAND, 1997;
v ” Kaligrafi Islam di alam Melayu: Refleksi akulturasi ( Abad ke -13-16M)” Makalah Seminar Regional Indentitas Budaya Melayu dalam Perspektif Humaniora Lustrum III Fak. Sastra UNAND di Limau Manih Padang 4-5 Agustus 1997;
v ” Fungsi Seni dalam masyarakat: Kajian tentang Kaligrafi Islam masa kerajaan – kerajaan melayu islam Abad XIII-XVI M” Makalah Seminar Regional Pengkajian Budaya Melayu dalam Era Globalisasi Abad 21 di FKIP UNJA, Jambi, 19 – 20 September 1997
v ” Memahami Batu Kariman: arca menhir bertulisan arab melayu ” laporan Penelitian, dibiayai Puslit UNAND ( 1998 )
v ” Pola hias masa megalitik di Lima Puluh Koto: Menggali akar budaya pola hias minangkabau”.Laporan penelitian, dibiayai Puslit UNAND, 1998;
v ” Boengong – boengong Kulimah: Tasawuf Islam Masa Kerajaan Aceh Darussalam”, dalam buku Manassa Sumatera Barat. Penelitian Naskah Nusantara dari sudut pandang kebudayaan nusantara kumpulan makalah simposium inrenasional masyarakat pernaskahan nusantara ( Manassa ) V, Padang 2001 ;
v ” Kaligrafi Islam pada makam – makam di aceh Darussalam: Telaah sejarah seni ( abad XVI – XVIII )” Disertasi Doktor di Program Arkeologi Pascasarjana Universitas Indonesia. 2003, dengan yudisium Cum Laude
v ” Lima puluah Koto Luhak nan Tuo: Menhir membalik paradigma tradisional “ Makalah dalam peluncuran buku “ Menelusuri jejak melayu minangkabau” ( Edt. Dr. Media sandrakasih, dkk). Di Taman Budaya Padang 18 desember 2002;
v ” Pariwisata Budaya dan Arkeologi Pariwisata di Sumatera”, Orasi Ilmiah dalam Diesnatalis fakultas sastra, pada tanggal 7 maret 2003 di Gedung E UNAND;
v ” Keberpihakan dan Konsistensi seorang intelektual”, Makalah dalam bedah buku karya Dr. Zayardam Zubir, M.Hum berjudul ” Radikalisme kaum pinggiran: Studi tentang ideologi, Isu, strategi, dan dampak gerakan ” di FKIP-UNRI Riau, Pakanbaru 28 juni 2003;
v ” Limapuluah Koto Luhak nan Tuo: Menhir Jejak budaya minangkabau membalik paradigma tradisional “ dalam jurnal penelitian Universitas Andalas, september 2003;
v Laporan penelitian ” Sejarah Mandeh Rubiah: Antara Mitos dan Realitas”, (bekerjasama dengan Museum Adityawarman Padang dan dinas parsenibud Sumbar) 2003;
v ” Fosil Gajah Purba di desa Parik Gadang di ateh Kabupaten Solok (Sebuah catatan awal)” dalam Buletin BKNST ( Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional ) Padang suluah media komunikasi kesejarahan, kemasyarakatan dan kebudayaan volum 3, No. 4 Agustus 2003.

7. Menulis Buku
v Buku Kebijakan Setengah Hati dan Kerisauan Tentang Degradasi Kebudayaan Minangkabau. Padang: Pusast Studi Humaniora & Fak. Sastra Unand Padang. 2007.
v Buku Menggugat Minangkabau, Padang : UNAND Press 2006
v Buku Membangkik Batang Tarandam: Kumpulan makalah seminar Internasional Kebudayaan Minangkabau, Padang : Panitia seminar internasional minangkabau 2004;
v Buku Bungong Kalimah : Kaligrafi Islam dalam Balutan Tasawuf Aceh (Abad ke- 16 – 18 M) Padang : Unand Press 2003;
v Buku, Rakena Mandeh Rubiha Penerus Kebesaran Bundo Kanduang dalam penggerogotan tradisi, Padang : Pusat Studi Humaniora ( PSH) UNAND, Museum Adityawarman dan Parsenibud Sumbar ( dicetak di RESIST Yogyakarta ) 2004;
v Penulis salah satu bagian dalam buku Manassa Sumatera Barat. Penelitian Naskah Nusantara dari Sudut Pandang Kebudayaan Nusantara Kumpulan Makalah Simposium Internasional Masyarakat Pernaskahan Nusantara ( Manassa ) V, Padang 2001 berjudul ” Boengong – boengong Kulimah: Tasawuf Islam Masa Kerajaan Aceh Darussalam”,
v Konsultan penulisan buku Andi Asoka dkk. Sawahlunto Kini esok, dan Akan Datang. Padang: Pemda Sawahlunto & Pusat Studi Humaniora UNAND. 2004.

8. Jurnal
v Menhir dan Akar Budayua Pola Hias Minangkabau" dalam Jurnal Terakreditasi DINAMIKA KABUDAYAANPusat Penelitian Udayana Bali. 2007
v Peran Ilmu-Ilmu Budya dalam StrategiPembangunan Nasional" dalam Jurnal Terakreditasi HUMANIORA UGM Yogyakarta. 2007.

9. Keikutsertaan dalam seminar / lokakarya dan kepanitiaan

v Pemakalah dalam Lomba Karya Inovatif Produktif Mahasiswa ( LKIP ) Tk. Nasional di DIKTI, Jakarta 1986; (berhasil sebagai juara III nasional)
v Panitia Penyelenggaran International Seminar On Impacts of Development Fak. Sastra UNAND di Bukittinggi 1984
v Peserta seminar Sumpah Satie Bukit Marapalam dan Perpaduan Adat dengan Agama di Minangkabau, di Fak. Sastra UNAND, Padang 1991
v Peserta Lokakarya dan Rekonstruksi Mata Kuliah Prog. Applied Approach ( Akta V ) di UNAND, Padang 1994
v Pemakalah dalam Seminar Hasil Penelitian Dosen Unand, 1995
v Pemakalah dalam Seminar Hasil Penelitian Dosen Unand, 1995
v Pemakalah dalam Seminar Hasil Penelitian Dosen Unand, 1997
v Pemakalah dalam Seminar Hasil Penelitian Dosen Unand, 1998
v Pemakalah dalam Seminar Regional Identitas Budaya Melayu dalam Perspektif Humaniora Lustrum III Fak. Sastra UNAND, Padang 1997
v Pemakalah dalam Seminar Regional Pengkajian Budaya Melayu dalam Era Globalisasi Abad 21, FKIP-UNJA. Jambi, 1997
v Peserta Seminar Peninjauan Kembali Sejarah PRRI Demi Pembangunan dan Masa Depan Bangsa, UNAND Padang 2000
v Peserta seminar dalam rangka Revisi UU No. 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya, Padang 2001
v Pemakalah dalam Simposium Internasional Masyarakat Pernaskahan Nusantara ( Manassa ) V, Fak. Sastra UNAND Padang 2001
v Pemakalah dalam bedah buku ” Menelusuri Jejak Melayu Minangkabau” (Edt. Dr. Media Sandrakasih, dkk) di Taman Budaya Padang 18 Desember 2002 dengan judul ” Limopuluh Kota Luhak Nan Tuo: Menhir Membalik Paradigma Tradisional”
v Orator Ilmiah dalam Dies Natalis Fakultas Sastra UNAND dengan judul ”Pariwisata Budaya dan Arkeologi Pariwisata di Sumatera”, pada tanggal 7 maret 2003 di Gedung UNAND
v Pemakalah dalam bedah buku ” Radikalisme Kaum Pinggiran: Studi tentang ideologi, Isu, Strategi, dan dampak gerakan ” ( karya Drs. Zaiyardam Zubir, M.Hum) dengan judul Keberpihakan dan Konsistensi Seorang Intelektual: Sorotan Terhadap Buku Radikalisme Kaum pinggiran”, di FKIP UNRI-RIAU, Pekanbaru 28 Juni 2003
v Pemakalah dalam Seminar Internasional Kebudayaan Minangkabau dengan judul malakah ” Menghadiahkan Gala atau Manjua Adat ” bertempat di Hotel Inna Muara Padang, Agustus 2004
v Pemakalah dalam Seminar Lokakarya BKS – PTN wilayah barat Indonesia dengan judul ” Peran Ilmu Budaya dalam Strategi Pengembangan Kebudayaan Nasional ” yang diselenggarakan oleh FISIP UNRI di Hotel Pangeran Pekanbaru ( 19 – 21 Juli 2004 )
v Pemakalah dalam Seminar Internasional Kebudayaan Minangkabau dengan judul makalah ” Dari Batu Barobono ke Tombo Rueh Buku: Tinjauan awal Tentang Tulisan Minangkabau ”. Bertempat di Hotel Bumi Minang Padang tanggal 22 – 23 November 2004
v Ketua ( II ) Penyelenggara Seminar Regional Identitas Budaya Melayu dalam Perspektif Humaniora Lustrum III Fak. Sastra UNAND, Padang 1997
v Panitia penyelenggara ( Anggota ) Konggres Kebudayaan Indonesia V, 19-23 Oktober 2003 di Bukittinggi
v Ketua Penyelenggara Seminar Internasional Kebudayaan Minangkabau dalam Festival Minangkabau 22 – 23 November 2004 di Hotel Bumi Minang
v dll

Selasa, 01 Januari 2008

MENGGUGAT MINANGKABAU

Judul Buku : Menggugat Minangkabau
Penulis : Herwandi dkk

Editor : Herwandi dan Zaiyyardam
Penerbit : Pusat Studi Humaniora, fak. Sastra Unand Padang
Kota/th terbit : Padang, 2005Sinopsis : Buku ini berangkat dari keprihatinan intelektual muda Minang (tergabung dalam “Pusat Studi Humaniora” Fak. Sastra Unand), terhadap kondisi ril masyarakat Minangkabau saat kini. Buku ini ibarat Orang Minang menggugat keminangan orang Minang saat ini. Oleh sebab itu buku ini merupakan kumpulan tulisan yang menghantam paradigma sosial dan budaya Minangkabau.

KEBIJAKAN SETENGAH HATI DAN KERISAUAN TENTANG DEGRADASI KEBUDAYAAN MINANGKABAU


Judul Buku : Kebijakan Setengah Hati dan Kerisauan Tentang Degredasi Kebudayaan Minangkabau
Penerbit : Pusat Studi Humaniora fak. Sastra Unand, Padang
Kota /tahun : Padang/ 2007
Editor : Herwandi
Penulis : Syafri Sairin dkk
Sinopsis : Buku ini merupakan kumpulan makalah Seminar Internasional Kebudayaan Minangkabau dari tanggal 22-24 November 2004 di Hotel Bumi Minang, Padang Sumatera Barat. Sejumlah penulisnya seakan sepakat bahwa orang Minang sedang gelisah tentang terjadinya degradasi kebudayaan Minangkabau. Sementara itu, kalangan pemerintah daerah Sumatera Barat yang bertanggung jawab melahirkan kebijakan-kebijakan yang sesungguhnya tidak berpihak kepada kebudayaan Minangkabau itu sendiri. Pemerintah justru cenderung menjadikan budaya Minangkabau sebagai komoditas, asset bernilai ekonomi, khususnya untuk kepentingan pariwisata, yang akhirnya bermuara menjadi boomerang untuk merusak dan menghancurkan budaya Minangkabau sendiri.