Selasa, 14 Juli 2009

TANAH DATA, LUHAK NAN TUO :KEBERADAANYA DARI PERSPEKTIF SEJARAH[1]

Oleh: Herwandi[2]

Pengantar

Pertama sekali ketika mendapat tawaran menjadi pemakalah dalam kegiatann ini, saya merasakan betapa beratnya judul yang diberikan., karena topik ini terasa sangat luas. Bagaimana mungkin melihat keberadaan Luhak Nan Tuo dalam perspektif sejarah. Rentang waktu sejarah Minangkabau yang sudah berjalan panjang semenjak berabad-abad yang lalu, apalagi akan melihat bagaimana keberadaan dan kiprah Luhak Nan Tuo dalam konstelasi kesejarahan Minangkabau semenjak semula jadi sampai saat sekarang ini. Sungguh ini merupakan pekerjaan berat, apalagi hanya ditulis dalam bentuk makalah dalam jumlah yang terbatas. Hal lain terasa sangat menyulitkan adalah masalah sumber kesejarahan yang terbatas dan banyak mengalami kekaburan sehingga kevalidatasannya akan berpengaruh terhadap penulisan sejarah yang ilmiah. Sumber sejarah tradisional (tambo--historiografi tradisional Minangkabau) tidak memadai untuk dijadikan sumber utama dalam pengkajian sejarah tersebut. [3] Namun demikian harapan penyelenggara saya usahakan dalam bentuk yang diinginkannya meskipun terasa tidak begitu memadai. Oleh sebab itu makalah ini hanya sebagai pengantar diskusi.

Luhak Nan Tuo yang didahulukan selangkah

Sulit mendefinisikan secara etimologis apa sesungguh maksud istilah luhak dalam bahasa Minangkabau. Di dalam tulisan Saiydam (2004) dinyatakan bahwa pengertian luhak adalah :

“nama kawasan pemerintahan di Minangkabau zaman dahulu yang kini setara dengan Kabupaten di bawah Keresidenan, tetapi di atas nagari”. [4]

Difinisi ini sangat rancu, karena sulit memahaminya secara kesejarahan. Mungkin ada benarnya bahwa luhak adalah “nama kawasan pemerintahan di Minangkabau zaman dahulu”, tetapi kalimat berikutnya membingungkan. Kalimat “yang kini setara dengan Kabupaten di bawah keresidenan, tetapi di atas nagari” adalah kalimat yang anakronistik, tidak sesuai dengan konteks waktu saat kini. Difinisi ini menjadi lebih membingungkan lagi kalau dikatakan kabupaten itu adalah bagian dari struktur pemerintahan masa kolonial, karena masa kolonial tidak ada istilah kabupaten, yang ada adalah: nagari (Desa), distrik, regenschaap, dan Keresidenan.[5]

Terlepas dari kerancuan tersebut yang jelas luhak dapat diartikan sebagai wilayah etnografi Minangkabau. Secara tradisional, daerah Minangkabau terbagi atas dua wilayah etnografis, yaitu darek dan rantau. Darek adalah daerah yang terletak di pedalaman Minangkabau, sementara daerah rantau adalah kawasan yang berada di luarnya, yang teletak di pesisir barat dan timur. Di dalam Tambo berulangkali dinyatakan bahwa daerah luhak terbagi atas tiga kawasan utama, yang biasa disebut Luhak Nan Tigo, yaitu Luhak Tanah Data, Luhak Agam, Luhak Limopuluah Koto.

Secara tradisional Luhak Tanah Data dianggap sebagai luhak nan tuo.[6] Anggapan ini muncul karena menurut tambo di luhak ini kerajaan dan nagari tertua di Minangkabau pertama kali didirikan. Di dalam tambo dinyatakan bahwa kerajaan pertama (Pasumayam Koto batu)[7] dan nagari tertua dibentuk di nagari Pariangan Padangpanjang,[8] sekaligus sebagi tempat permulaan adat Minangkabau mulai direkonstruksi. Anggapan tersebut didukung oleh cerita-cerita tambo, dan sulit mencarikan sumber kesejarahan yang benar-benar dapat dipercaya. Salah satu sumber yang dapat menjembatani pernyataan tersebut hanya berupa peninggalan kebudayaan material yang terbatas, yaitu dari tinggalan-tinggalan arkeologis.

Berdasarkan tinggalan-tinggalan arkeologis yang dijumpai di Pariangan Padangpanjang, lebih cenderung berorientasi muncul setelah masa Hindu-Budha dan mulainya Islam berpengaruh di Tanah Data. Di Pariangan terdapat kubur panjang yang diyakini sebagai kubur Tantedjo Gurhano, yang dianggap merupakan tokoh yang sama dengan Cati Bilang Pandai (?). Kalau anggapan tersebut ada benarnya, maka dari namanya berkemungkinan tokoh ini adalah seorang yang berasal dari India, dan beragama Budha. Ceti adalah seseorang yang berasal dari kasta Çentri atau centrya, berarti kesatria, orang hebat, perkasa,[9] dan pande adalah orang yang pandai, orang-orang yang sangat mahir, terutama dalam bidang-bidang tertentu, seperti dalam masalah pertukangan dan kerajinan (tokoh ini di Minang dipercayai sebagai arsitek Rumah Gadang), di samping mempunyai kearifan berfikir.[10] Karena keahliannya maka di gelari dengan Cati Bilang Pandai. Kuburan tokoh ini diyakini terdapat di Pariangan dalam ukuran yang cukup panjang (24,7 m), uniknya kuburan ini berorientasi Utara-selatan, tradisi yang biasa dilakukan oleh penganut Islam (terutama di Asia Tenggara) jika menguburkan seseorang. Kalau kubur itu benar sebagai makam Ceti Bilang Pandai maka ada dua kemungkinan yang terjadi: pertama tokoh tersebut sudah beragama Islam; dan yang kedua meskipun belum beragama Islam, ia hidup dalam lingkungan masyarakat yang islami, yang berarti tokoh tersebut telah dikuburkan secara islami. Kedua kemungkinan tersebut muncul hanya dalam masyarakat yang “transisi”, masyarakat di mana Hindu-Budha masih berkembang tetapi Islam sudah mulai memasyarakat di Minangkabau.

Pernyataan ini diperkuat lagi dengan adanya salah satu dusun di Pariangan bernama Biaro yang menurut tradisi lisan berasal dari biara, yaitu tempat ibadah pemeluk agama Budha, [11] dan tak jauh dari biaro tersebut terdapat sekelompok bangunan surau yang mengelilingi sebuah mesjid tua di Pariangan. Istilah biaro, berasal dari istilah vihara dalam ajaran Hindu-Budha, yang fungsinya adalah sebagai pusat lembaga pendidikan yang mengajarkan ajaran Hindu-Budha. Peran biaro tersebut kemudian dilanjutkan oleh surau-surau dan mesjid yang tak jauh dari lokasi biaro tersebut.[12] Dengan demikian besar kemungkinan Pariangan diretas menjadi nagari mulai semenjak Hindu-Budha. Ketika Islam menjadi agama dominan dalam masyarakat peran biaro digantikan oleh fungsi surau dan mesjid, maka semakin lengkaplah Pariangan menjadi sebuah nagari yang islami, sesuai dengan syarat sebuah nagari, “Babalai bamusajik, balabuah batapian, dst......”.

Secara empiris sangat sulit untuk membenarkannya Luhak Tanah Data sebagai luhak nan tuo, karena berdasarkan bukti-bukti arkeologis di Luhak Tanah Data justru muncul jauh lebih kemudian, jauh setelah periode megalitik-neolitik di Limopuluah Koto, karena berdasarkan bukti-bukti arkeologis dapat dipastikan beberapa unsur-unsur kebudayaan Minangkabau telah disusun di Limopuluah Koto mulai semenjak masa prasejarah, masa neolitik-megalitik. [13] Sementara itu Luhak Tanah Data, lebih cenderung berorientasi muncul setelah masa Hindu-Budha dan mulainya Islam berpe-ngaruh, jauh setelah periode megalitik-neolitik di Lilampuluah Koto.

Berdasarkan hal tersebut, barangkali istilah Luhak Tanah Data sebagai Luhak Nan Tuo, lebih tepat diartikan sebagi Luhak Nan Dituokan, bukanlah Luhak Nan Tuo dalam pengertian empiris. Luhak Nan Tuo adalah luhak yang dituakan, yang dihormati, didulukan salangkah, ditinggikan sarantiang (didahulukan selangkah ditinggikan seranting).[14]

Luhak Tanah data sebagai tempat Formulasi Adat Minangkabau

Luhak Tanah Data, didahulukan selangkah karena beberapa formulasi aturan adat dilakukan di daerah ini. Di bidang adat Luhak Tanah telah mengambil peran menentukan dan telah mencatat dua peristiwa penting: pertama adalah lahirnya formulasi sistem pemerintahan adat Lareh Nan duo; kedua adalah di daerah ini dilaksanakan “perjanjian marapalam” yang berisi formulasi mendasar “Adat Basandi Syarak-syarak basandi Kitabullah”.

Sistem pemerintahan adat yang dikenal dengan Lareh Nan Duo, dicanangkan oleh dua orang tokoh lagendaris Minangkabau yaitu Dt. Parpatih Nan Sabatang dan Datuk Katamanggungan. Meskipun tidak jelas kapan waktu hidupnya Dt. Parpatih Nan Sabatang dan Dt. Ketamanggungan serta sistem lareh nan duo tersebut, namun dua sistem lareh inilah yang kemudian yang menjadi dua aliran sistem pemerintahan di Minangkabau, yang diakui dipakai di alam Minangkabau. Berdasarkan dua aliran sistem pemerintahan adat tersebut menempatkan keberadaan Luhak Tanah Datar menjadi lebih penting bagi daerah lain. Mulainya berlaku sistem pemerintahan tersebut, berarti mulainya pengaruh Luhak Tanah Data menjadi pusat dan poros yang menentukan terhadap perjalanan sejarah Minangkabau masa-masa berikutnya. Permasalahannya adalah tidak dapat diperkirakan secara pasti kapan waktu pencanangannya.

Selanjutnya, diperkirakan formulasi adat “Adat Basandi Syarak-Syarak Basandi Kitabullah” telah diformulasikan melalui sebuah perjanjian yang disebut dengan “Perjajian Bukik Marapalam” diambil dari nama sebuah bukit tempat dilakukan perjanjian tersebut di Dekat Sungayang, Tanah Data, yang diperkirakan dilakukan pada awal abad ke-19. Formulasi adat tersebut sampai saat sekarang masih menjadi tuntunan bagi masyarakat Minangkabau dalam menjalankan kehidupan.

Sebagai Pusat Kerajaan Budha dan Islam

Keberadaan Luhak Tanah Data semakin lebih diperhitungkan pada masa se-lanjutnya. Pada masa berjayanya kerajaan Melayu-Dharmasraya, Luhak Tanah Data sepertinya sudah menjadi perhatian serius bagi penguasa kerajaan tersebut, mulai dari rajanya Tribuana Mauliwarmandewa (1286-1316), dan Akarendrawarman (1316-1347).[15] Terbukti pada masa Akarendrawarman pusat kerajaan tersebut dipindahkan ke suatu tempat bernama Saruaso, di dekat Batusangkar. Akarendrawarman ini kemu-dian digantikan oleh Adityawarman (1347) anak dari Adyawarman. Casparis menya-takan bahwa Akarendrawarman adalah mamak dari Adityawarman.[16] Pada masa pe-merintahan raja-raja inilah agama Budha berkembang pesat di Luhak Tanah Data. Khusus pada masa Adityawarman, ia seringkali melaksanakan upacara keagamaan bersifat magis-tantris. Sepeninggal Adityawarman (diperkirakan wafat 1375) kerajaan yang berpusat di saruaso tersebut diperintahi oleh Ananggawarman, anak Adityawar-man. Namun setelah itu tidak terdengar lagi khabar beritanya.

Dapat dipastikan pada masa tersebut ajaran Islam telah berkembang luas di Luhak nan Tuo, menyaingi keberadaan agama Buha Tantrayana. Agama Islam terse-but berkembang karena propoganda Islam sudah masuk ke Minangkabau sudah mulai semenjak masa-masa sebelumnya, dan mengalami peningkatan pada masa Aditya-warman, meski baru dapat menjangkau nagari-nagari yang berada di sekitar pusat pemerintahan Adityawarman.[17] Sepeninggal Adityawarman dan anaknya Anangga-warman agama Islam dapat merasuk ke kalangan keluarga kerajaan. Pada saat itulah diperkirakan munculnya kerjaan Islam Pagaruyung yang diperintahi oleh seorang perempuan yaitu Bundo Kanduang (diperkirakan lembaga Rajo tigo Selo dan Basa Ampek Balai sudah muncul namun belum berperan penting). Asmaniar Idris memperkirakan pada masa “gelap” inilah tokoh perempuan yang terkenal bergelar Bundo Kanduang mengambil peran penting dalam pemerintahan di Minangkabau. [18]

Berita tentang adanya kerajaan Islam di Luhak Tanah data baru muncul kemu-dian pada abad ke 17 M, dengan adanya seorang raja bernama Sultan Alif (wafat 1680 M). Kerajaan ini adalah sebuah kerajaan Islam karena raja yang memerintah sudah bergelar sultan. Selang antara akhir pemerintahan Ananggawarman dan Sultan Alif tidak diketahui dengan pasti. Berkemungkinan sisa-sisa kekuasaan Anangga-warman masih dilanjutkan oleh keturunannya tetapi tidak ada sumber yang mendu-kungnya, sehingga mengalami kekaburan. Setelah berdirinya kerajaan Islam inilah kemudian diperkirakan sistem pemerintahan Rajo Tigo Selo benar-benar berperan penting di Minangkabau: Rajo Alam, Rajo Adat, dan Rajo Ibadat. Rajo Alam berke-dudukan di Pagaruyung; Rajo Adat di Lintau Buo, dan Rajo Ibadat di Sumpurkudus. Rajo Tigo Selo ini dibantu oleh sebuah lembaga yang disebut dengan Basa Ampek Balai terdiri dari: Datuak Bandaro dari Sungai Tarab bergelar Taun Titah Sungai Tarab; Tuan Kadhi di Padang Gantiang; Tuan Indomo di Saruaso; dan Tuan Mangkhudum di Sumaniak. Konon, pada masa inilah Kerajaan Pagaruyung memiliki pengaruh yang luas terhadap daerah-daerah di pantai Timur Minangkabau, seperti daerah-daerah seperti Kuantan, Ceranti, Baserah, Siak, Indragiri, Jambi, Batanghari.[19]

Setelah wafatnya Sultan Alif pada akhir abad ke-17 M, sejarah Minangkabau kembali mengalami masa “gelap”, tidak jelas perkembangannya. Baru pada tahun 1803, menurut Asmaniar Idris tercatat Sultan Arifin Muning Alamsyah sebagai keturunan terakhir Adityawarman di Pagaruyung[20] Setelah itu, memasuki pertengahan abad ke-19 M, Minangkabau memasuki era kolonial, masa di mana eksistensi kerajaan Pagaruyung tidak terdengar lagi, dan keberadaan Luhak Nan Tuo berada di bawah pengaruh Kolonial Belanda.

Epilog

Permasalahan sejarah Luhak Nan Tuo seperti juga sejarah Minangkabau pada umumnya kalau masih berpijak kepada sumber tradisional tidak akan menghasilkan gambaran kausalitas kesejarahanan yang memadai. Sejarah yang ada hanyalah sebuah karya tambal-sulam yang tak mampu menggambarkan perjalalana sejarah yang lengkap, tak akan mungkin menggambarkan sejarah Luhak Nan Tuo selengkap mungkin. Meskipun begitu pengkajian-pengkajian kesejarahan terhadap Keberadaan Luhak nan Tuo harus tetap dilakukan seintensif mungkin dan disertai dengan melibatkan sumber-sumber yang beragam, agar sejarah Luhak nan Tuo khususnya, dan sejarah Minangkabau pada umunya dapat diungkap lebih terang.

Keberadaan Luhak Nan Tuo sudah dibuktikan dari pengalaman sejarah Minangkabau. Luhak ini dapat dikatakan sebagai luhak nan dituokan, didahulukan selangkah, ditinggikan seranting, karena di Luhak inilah beberapa hal yang men-dasar dalam adat Minangkabau diformulasikan, seperti Lareh Nan Duo, dan filsa-fah adat “Adat Basandi Syarak-Syarak basandi Kitabullah”. Selanjutnya dari segi sejarah pemerintahan di luhak inilah terletaknya pusat kerajaan Adityawarman dan Kerajaan Islam Pagaruyung.

Pada saat sekarang ini, sejarah sudah berlalu, yang tinggal hanya jejak-je-jak sejarah kejayaan masa lalu (itupun tak lengkap). Bicarta sejarah bukan untuk diingat-ingat saja tetapi bagaimana menjadikannya ia sebagai kekuatan dan modal untuk menata masa depan. Oleh sebab itu barangkali perlu dilakukan perenungan bagaimana memanfaatkannya untuk dijadikan sebagai sumber daya guna memper-cepat gerak pembangunan di Luhak Nan Tuo, khususnya Kabupaten Danah Datar pada saat kini dan akan datang. @@@@



[1] Makalah pengantar diskusi dalam Dialog Budaya Sumatera Barat dengan tema “Budaya Luhak Nan Tuo dan Pengembangannya”, yang diselenggarakan oleh Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional, Direktorat Jenderal Nilai Budaya, Seni dan Film, Dep. Kebudayaan dan Pariwisata, tanggal 6-7 Desember 2006, di Hotel Pagaruyung, Batusangkar, Sumatera Barat.

[2] Staf Pengajar, Jur. Sejarah Univ. Andalas, Padang. Memperoleh gelar Dr. (S3) dari Pascasarjana Univ. Indonesia, Jakarta. Tahun 2002.

[3] Selama ini sejarah Minangkabau banyak bersandarkan kepada sumber tambo, penulisan sejarah tradisional Minangkabau yang secara tradisional kebenarannya tidak diragukan lagi, tetapi bagi kalangan sejarahwan sangat sulit untuk mencari pembenaran-pembenarannya secara ilmiah kalau tambo tersebut tidak didukung oleh sumber-sumber yang berisi fakta keras.

[4] Drs. Gouzali Saydam Bc. TT. Kamus Lengkap Bahasa Minangkabau (Minang-Indonesia). Padang: PPIM. 2004. hal. 234.

[5] Lihat, Herwandi. “Munculnya Para Kepala Laras di Minangkabau”, Skripsi, Jur. Sejarah Unand. 1987. hal. 38-39.

[6] Batas-batas wilayah Luhak Nan Tuo tidak begitu jelas, namun begitu batas tersebut dapat diidentikkan dengan wilayah Kabupaten Tanah datar sekarang ditambah dengan Kota Padang Panjang.

[7] Menurut tambo, kerajaan tertua di Pariangan Padang Panjang bernama, Kerajaan Pasuma-yam Koto Batu. Untuk memperkuat pernyataan ini di Pariangan terdapat sebuah batu yang disebut dengan “Lantak Luhak Nan Tigo” yang terdapat di tebing Batang Bengkaweh yang ditulis dalam huruf Sanskerta. Iim Imaduddin, Zusnelli Zubir, Ernatip. Dinamika Kehidupan Surau di Minangkabau (Kasus di Nagari Pariangan, Kabupaten Tanah datar 1960-1990). Padang: Badan Pengembangan Kebudayaan dan Pariwisata & Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional. 2002.hal. 27.

[8] Ada beberapa versi tentang asal kata Pariangan. Umumnya penulis tambo mengatakan bahwa Pariangan berasal dari kata riang. Masyarakat riang karena dibangunnya sebuah nagari yang kemudian diberi nama Pariangan. tetapi ada versi yang menyatakan bahwa Pariangan berasal dari kata para hyang yang berarti para dewa.

[9]Edward Jamaris. Tambo Minangkabau: Suntingan Teks Disertai Analisis Struktur. Jakarta: Balai Pustaka. 1991. hal. 60.

[10] Pada masa Jawa Kuno (abad ke-10 M-16M), juga terdapat pemakaian istilah seperti pande gangsa (perunggu) pande mas (emas), pande galuh (kelompok ahli kerajinan emas), pande pirak (perak), dan lain-lain. M. Dwi Cahyono. “Rakitan dan Fungsi Seni Pertunjukan Pada Masyarakat Jawa Kuna Abad Ke-10 Hingga 16 M”. Tesis Magister Arkeologi. Program Studi Arkeologi PPS-UI, Jakarta. Hal 113-114

[11] Iim Imaduddin, Zusnelli Zubir, Ernatip. Dinamika Kehidupan Surau di Minangkabau (Kasus di Nagari Pariangan, Kabupaten Tanah Datar 1960-1990). Padang: Badan Pengembangan Kebudayaan dan Pariwisata & Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional. 2002.hal. 27.

[12] Di Limo Kaum, tepatnya di Kuburajo, di sebelah barat prasasti Kuburajo, sampai saat sekarang terdapat juga sekelompok bangunan surau yang lokasinya masih disebut dengan biaro.

[13] Berapa unsur kebudayaan Minangkabau bahkan cikal bakalnya yang berakar semenjak masa megalitik di Limopuluah Koto antara lain; masyarakat egaliter dan kehidupan demokrasi; bentuk pola hias Minangkabau; matrilinealisme. Lihat Herwandi “Limopuluah Koto Luhak nan Tuo: Menhir, Jejak budaya Minangkabau Membalik Paradigma Tradisional”, dalam Herwandi dan Zaiyardam Zubir (Edt.). Menggugat Minangkabau. Padang: Andalas University Press. Hal 1-12.

[14] Di Minangkabau banyak dipakai istilah nan tuo, istilah tersebut dalam kehidupan bermasyarakat bukan berkonotasi tua dari segi umur, tetapi adalah orang yang secara demokrartis diberi tanggungjawab mengurus dan memimpin. Istilah ini lebih tepatnya sebagai orang yang dituakan, nan dituokan, meskipun dari segi umur orang tersebut jauh lebih muda. Sebagai contoh sebutlah misalnya tuo banda, tuo rimbo, tuo suku (pangulu), tuo taratak, tuo dusun, dll meskipun mereka dari segi umur lebih muda dari yang lain mereka disebut juga dengan tuo banda, tuo rimbo, dan tuo suku (pangulu), tuo taratak,dan tuo dusun, dll.

[15] Daerah Tanah Data merupakan penghasil emas yang cukup banyak. Sepanjang selo, dulu adalah menjadi penghasil emas yang banyak bahkan sampai abad ke-19 masih banyak yang melakukan penambangan. Oleh sebab itu sungai itu pada masa lalu sering doisebut dengan sungai emas.

[16] J.G. de Casparis. Melayu dan Adityawarman” Makalah Seminar Sejarah Melayu Kuno. Jambi 7-8 Desember 1992. hal. 7-9.

[17] Menurut Agus Salim, seperti dikutip oleh Daya, Islam sudah masuk ke Minangkabau abad ke-7 M dibawa oleh pedagang-pedagang Arab dan langsung dari Timur Tengah. Seiring dengan itu Hamka menyatakan bahwa Islam mulai bersentuhan dengan adat Minangkabau semenjak abad ke-7 M, karena beliau menyatakan di daerah Minangkabau sudah ada koloni orang Arab. (Daya :1995: 35) Sedikit berlainan dengan itu, MD. Mansoer, mengidentifikasi bahwa Islam masuk ke Minangkabau semenjak abad ke-8 M. Mansoer (1969, 1970) menyatakan, melalui jalur timur pedagang-pedagang Islam telah memasuki wilayah pinggiran Minnagkabau di Riau Daratan semenjak abad ke-8 M, ketika kerajaan Sriwijaya masih memegang peranan penting di dalam perdaganagan dan menjadi peasing dalam perdagangan di Selat Malaka. Tjandrasasmita mengemukakan seiring dengan semakin meningkatnya perdagangan di Selat Malaka, pada saat itu Selat Malaka berada ditengah jalur perdagangan dunia, antara dua kerajaan Besar, Dinasti Abbasyiah di Timur Tengah dan Dinasti Tang di daratan Cina. (Tjandrasasmita: 1982). Oleh sebab itu Selat Malaka menjadi jalur yang cukup pada dari tahun ke tahun. Kemudian kisaran abad 12 M, perdagangan di pantai timur Sumatera tetap diramaikan oleh pedagang-pedagang Islam. Bersamaan dengan aktivitas perdagangan tersebut proses kontak budaya Islam dengan budaya Minangkabau tetap berlanjut. Kontak budaya tersebut berjalan cukup intensif dengan munculnya kerjaan Kuntu Kampar yang masyarakatnya telah menganut Islam. Proses Islamisasi tersebut abad ke-13 sampai abad ke-15 dilanjutkan dibawah bianaan kerajaan Samudra Pasai di Aceh dan Kerjaan Malaka di Semenjung Melayu. Dengan begitu intensifnya kontak-kontak budaya di Pesisir Timurt Sumatera, maka kemudian banyak pedagang dan santri-sasntri Islam yang sengaja berdatangan ke Pedalaman Minanagkabau. Barangkali dari kegiatan santri-santri itu munculnya istilah “Urang Siak” di Minangkabau kepada orang-orang yang pintar mengaji, mendoa, dan membaca al-Quran serta memiliki laku perangan yang saleh. Mereka-meraka ini yang diperkirakan menjadi penyebar-penyebar Islam dari daerah timur tersebut. Untuk lebih jelasnya baca, Burhanuddin Daya, Gerakan Pembaharuan Pemikiran Islam Kasus SumateraTawalib. Yogyakarta: PT. Tiara Wacana. 1995. hal.35.; Baca juga MD Mansoer.”Masuk dan Berkembangnya Agama Islam di Minangkabau” Makalah Seminar Islam di Minanagkabau. Padanga. 1969.; Baca juga. Uka Tjandrasasmita (edt.). Sejarah nasional Indonesia III. JakartaThesis magister Humaniora pada Program Studio Arkjeologi. PPS-UI. 1994. hal.75-80. Depdikbud. 1982; Herwandi . Nisan-Nisan di Situs Mejan Tinggi, Desa talago Gunung, kabupaten tanah datar, sumatera Barat: kajian kelanjutan Budaya Tradisi megalitik ke Budaya Islam”,

[18]Asmadiar Idris. “Kerajaan Pagarruyung” dalam Menelusuri Sejarah Minangkabau. Padang: Citra Budaya Indonesia & LKAAM Sumatra Barat. 2002. Hal. 66-68.

[19] Ibid. Hal. 70.

[20] Ibid. hal. 71

Senin, 09 Juni 2008

Puisi Sufi dalam Kaligrafi Pada Makam di Banda Aceh


Puisi Sufi dalam Kaligrafi pada Makam Raja-Raja Kampung Pande, : Al-mautu kasyun wa kulli an-nas Syaribuh (foto, koleksi: Herwandi)

Kaligrafi Islam Pada Makam Kandang XII, Banda Aceh, Indonesia




Kaligrafi Islam dalam kalimat basamalah dan al-Quran, Surat Yasin
foto: koleksi Herwandi

Senin, 21 April 2008

Menhir & Akar Budaya Pola Hias Minangkabau

MENHIR DAN AKAR BUDAYA POLA HIAS MINANGKABAU



Oleh: Herwandi
Jurusan Sejarah, Fakultas Sastra Universitas Andalas Padang


Abstract
West Sumatra province has many prehistoric archaeological sites. Most of the sites are found at Limapuluh Koto district. The kinds of archaeological finding at those sites are menhir (stone act), and some of them decorated. The decorated menhir at archaeological sites in Limapuluh Koto are decorated with many ornamental design like geometrical and floral design. That prehistoric ornamental design has linked with the Minangkabau traditonal ornamental design that are used at tradisional and modern buildings like house, surau, and mosque.


Kata kunci: menhir berhias, pola hias, akar budaya, Minangkabau.


Pengantar
Provinsi Sumatera Barat, khususnya Kabupaten Limapuluh Koto kaya akan peninggalan kebudayaan prasejarah, terutama peninggalan tradisi megalitik. Peninggalan tersebut ditemukan di permukaan tanah hak milik keluarga, suku, dan ulayat masyarakat, berserakan hampir di seluruh Kecamatan dan Nagari-Nagari (desa tradisional Minangkabau) penting seperti Belubus, Mahat, Koto Tinggi, Guguk, Suliki Gunung Mas, dan lain-lain, (TPTMSB: 1984). Salah satu jenis peninggalan arkeologis di Limapuluh Koto adalah menhir yang diberi hiasan. Apakah ada hubungan kesejarahan antara pola-pola hias yang terdapat di menhir di Limapuluh Koto dengan pola hias tradisional Minangkabau saat ini ?
Tulisan ini mencoba mengidentifikasi pola hias yang dipakai untuk meng-hiasi menhir yang berkembang pada masa megalitik di Limapuluh Koto dan ber-usaha menghubungkannya dengan pola-pola hias tradisional Minangkabau yang berkembang kemudian untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut.
Kajian yang mempergunakan menhir berhias sebagai objek utama bukan-lah sesuatu yang baru sama sekali, karena sebelumnya sudah ada yang melaku-kannya. Husnizon (1996) misalnya, meski mengkaji menhir berhias, tetapi kajian-nya tidak menghubungkan pola hias di menhir tersebut dengan pola hias tradisio-nal yang berkembang di Minangkabau kemudian. Meskipun begitu kajian tersebut telah memberi kontribusi banyak dalam kajian ini.

Menhir Berhias di Limapuluh Koto
Di dalam masyarakat Minangkabau istilah yang dipergunakan untuk menhir adalah batu tagak. Istilah ini tidak jauh berbeda artinya dengan pengertian yang biasanya dipergunakan dalam dunia keilmiahan, terutama bagi arkeolog di Indonesia. Berdasarkan pe¬nelitian terdahulu kata menhir yang berasal dari bahasa Breton --Inggris Utara, berarti batu berdiri (Sukendar 1993, 1). Sedangkan kata batu tagak jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia berarti batu berdiri, seperperti arti yang biasa digunakan dalam dunia keilmiah¬an, para arkeolog di Indonesia (Herwandi: 1993: 1).
Menhir adalah produk tradisi megalitik, tradisi yang telah muncul semen-jak prasejarah yang menggunakan batu-batu besar sebagai materi kebudayaan; mega berarti besar, lithos berarti batu (Kartodirdjo: 1975: 195). Lebih jelasnya menhir termasuk salah satu produk budaya yang terikat erat dengan tradisi batu besar. Sejarah pendirian menhir telah meliputi kurun waktu yang cukup lama, berlangsung semenjak zaman neolitik. Menhir pada awalnya dapat digolongkan ke dalam produk tradisi megalitik tua yang telah muncul semenjak awal tradisi itu, meskipun demikian tradisi pendirian menhir masih berlanjut sampai sekarang ini. Prinsip pendirian menhir berkaitan erat dengan unsur penghormatan dan pengagungan arwah nenek moyang, dan sering dihubungkan dengan kesakralan dan kesaktian lelu¬hur (Sukendar: 1980, 82). Hal ini terjadi karena manusia pendukung tradisi megalitik beranggapan bahwa nenek moyang yang telah meninggal, arwahnya dianggap ma¬sih hidup terus di dunia arwah, dan bersemayam di tempat-tempat yang tinggi (Soejono: 1987). Oleh sebab itu tidak jarang menhir dijadikan seba¬gai benda sakral, didirikan di tempat-tempat yang tinggi, atau dibuat sedemikian rupa menghadap ke tem¬pat-tempat yang dianggap suci.
Di Sumatera Barat menhir banyak terdapat di wilayah Kabupa¬ten Limapu-luh Koto, meskipun dijumpai juga di beberapa kabupaten lain seperti Tanah Datar dan Solok namun dalam jumlah yang tidak banyak. Di Kabupaten Limapuluh Ko-to menhir-menhir tersebut umumnya terletak di atas bukit yang berketinggian an-tara 210-540 meter di atas permukaan laut. Berdasarkan penelitian terdahulu men-hir-menhir di Kabupaten Limapuluh Ko¬to telah muncul pertama kali ±1500 th yang lalu, sekitar awal-awal abad pertama masehi (TPTMSB: 1984: 37). Pada menhir-menhir di Kabupaten Limapuluh Koto, unsur penghormatan dan pengagungan arwah nenek moyang kelihatan jelas sekali. Menhir yang cenderung didirikan di atas bukit-bukit dan arah hadap dominan ke satu arah, ke Gunung Sago merefleksikan adanya kepercayaan tersebut. Adanya kecenderungan keletakan menhir di atas bukit merefleksikan adanya penghargaan tertentu dari masyarakat untuk menghormati tempat-tempat yang tinggi. Sedangkan arah hadap menhir yang cenderung ke gunung Sago mereflek¬sikan gunung tersebut merupakan tempat yang dianggap suci. Hal demikian seiring pula dengan arti kata gunung Sago yang berkonotasi mensucikan gunung itu: Sago berasal dari kata saugo yang dapat diartikan dengan Surga (Sudibyo: 1984: 28).
Menurut Sukendar (1993: 92-108) di dalam khasanah penemuan arkeologis di Indonesia menhir berfungsi sebagai monumen tanda peringatan terhadap keagungan arwah para leluhur. Sukendar juga menjelaskan bahwa menhir dapat berfungsi sebagai batas (patok) anta¬ra suatu lokasi yang dianggap sakral dengan yang tidak, dan dapat sebagai tanda kubur (Sukendar: 1983). Meskipun begitu khu-sus pada menhir-menhir yang dijumpai di Kabupaten Limapuluh Koto berfungsi sebagai tanda kubur dan lebih cenderung merupakan bagian dari sistem pengubur-an. Hal ini dapat dibuktikan berdasarkan hasil ekskavasi yang dilakukan di kawa-san tersebut. Dalam ekskavasi yang dilakukan terhadap 12 menhir di situs Ronah, Bawah Parit, Belubus Limapuluh Koto, ternyata 10 menhir buah berisi kerangka manusia (Sukendar: 1993, 468).
Mehir-menhir di Kabupaten Limapuluh Kota diperkirakan berjumlah ribu buah yang tersebar di puluhan situs, terdiri dari berbagai ukuran dan bentuk, baik yang masih sederhana maupun telah dikerjakan dengan halus serta dihiasi. Secara garis besar bentuk-bentuk menhir yang muncul di Limapuluh Koto adalah: menhir tipe pedang; tipe tanduk; tipe kepala binatang; tipe phalus; dan tipe tonggak persegi --tipe pedang merupakan bentuk yang popular (Herwandi: 1994).
Dari puluhan situs di Kabupaten Limapuluh Koto, tercatat 11 situs yang mempunyai menhir berhias. Situs-situs terse¬but adalah situs Kubang, Belubus, Balai Adat, Guguk Nunang, Ampang Gadang, P. Batung, Balai Batu, Ateh Sudu, Ronah, Bawah Parit, dan Koto Tangah, tersebar di dua kecamatan di Limapuluh Koto: Kecamatan Guguk dan Suliki Gunung Mas. Menurut Husnizon di 11 situs tersebut dijumpai 38 buah menhir berhias (Husnizon 1989, 59), tetapi penulis ha-nya menemukan 37 buah. Di antara situs-situs tersebut yang paling banyak mem-punyai tinggalan menhir berhias adalah situs Bawah Parit yang mempunyai ting-galan sebanyak 13 buah menhir berhias, kemudian disusul oleh situs Ateh Sudu dan Belubus yang mempunyai masing-masing 5 buah, dan situs Balai Batu seba-nyak 3 buah.

Teknik Pengerjaan dan Klassifikasi Pola Hias Pada Menhir
Teknis pengerjaan hiasan-hiasan yang terdapat pada menhir-menhir di Kabupaten Limapuluh Koto dapat digolong atas dua cara: pertama adalah dengan menggoreskan, kedua dengan hiasan timbul. Di bawah ini dapat dilihat teknik pengerjaan hiasan tersebut:



Hubungan Pola Hias Tradisional Minangkabau dengan Hiasan Pada Menhir di Situs-Situs Megalitik Limopuluh Koto

a. Pola Hias Tradisional Minangkabau
Bentuk dasar ragam hias tradisional Minangkabau sebetulnya beranjak da¬ri garis melingkar dan persegi. Barangkali prototipenya berasal dari garis meleng-kung dan lurus. A.A. Navis mengatakan bahwa pola hias Minangkabau bersifat ti-dak konfiguratif, tidak melukiskan lambang-lambang, simbol-simbol. Lebih ba-nyak motifnya diangkat dari tumbuh-tumbuhan; akar, daun ranting, buah, bunga, dan lain-lain. Lebih jauh Navis mengatakan pada dasarnya variasi-variasi pola hi-as tersebut diberi nama berdasarkan garis dominan seperti ;
1) Lingkaran yang berjajar dinamakan ular gerang (Ular Garang) karena lingkaran itu menimbulkan asosiasi pada bentuk ular yang melingkar.
2) Lingkaran yang berkaitan dinamakan saluak (seluk) karena bentuknya yang berseluk atau berhubungan satu sama lain.
3) Lingkaran berjalin dinamakan jalo (jala) atau tangguak tangguk) atau jarek (jerat) karena menyerupai jalinan benang pada jala penangkap ikan.
4) Lingkaran sambung-bersambung disebut aka (akar), karena bentuknya merambat. Akar ganda yang paralel dina¬makan kambang (kembang).
5) Lingkaran bercabang atau beranting terputus disebut kaluak (keluk).
6) Lingkaran yang bertingkat dinamakan salompek (selompat).
Di samping itu masih ada motif geometris, bentuk dasar segi tiga, empat, dan gen-jang (Navis: 1986, 184).
Dari uraian tersebut kelihatan dengan jelas betapa bentuk melingkar men-jadi sesuatu yang utama dan mendominasi bentuk pola hias tradisional Minangka-bau. Meskipun begitu keberadaan dari motif geometris masih mendapat tempat di dalam khasanah ragam hias Minangkabau.
Pada dasarnya pola hias tradisional Minangkabau bersumber kepada ling-kungan dan alam sekitarnya, sesuai dengan dasar filsafah adat Mi¬nangkabau, alam takambang jadi guru (alam terkembang jadi guru). Sehingga motif yang muncul selalu berlandaskan dari lingkungan dan alam seki¬tarnya. Beberapa motif yang muncul dari bentuk dasar dedaunan, bu¬nga, dan akar-akaran seperti; aka cino sa-gagang (akar Cina satu gagang), aka cino duo gagang (akar Cina dua gagang), aka cino tangah duo gagang (akar Cina satu setengah gagang), sikambang manih (si kembang manis), siriah gadang (sirih besar), siku-siku badaun (siku-siku ber-daun), pucuak rabuang (pucuk rebung), sitaba (daun sitaba). Motif yang muncul dari nama binatang seperti; kumbang papo (kumbang papa), sikumbang janti (si kumbang janti), kuciang lalok (kucing tidur), sipatung tabang (si capung terbang), bada mudiak (ikan kecil-kecil ke mudik), cincadu bararak (cancadu bararak), itiak pulang patang (itik pulang petang), cincadu manyasok (cancadu menghisap bunga), dan lain-lain. Sedangkan dari motif la¬in yang diambil dari nama alat per-kakas seperti; jarek takambang (jerat terkembang), tangguak lamah (tangguk lemah). Umumnya nama motif yang telah disebutkan mempu¬nyai prototipe garis melingkar (lengkung), Sedangkan nama-nama yang mempunyai prototipe garis lu-rus adalah seperti; wajik (jajaran genjang), dan motif campuran seperti; siku-siku badaun (siku-siku berdaun), siku-siku baragi (siku-siku berenda), siku-siku babu-ngo (siku-siku berbunga), saik galamai (potong gelamai), sikambang perak (si kembang perak) (Navis: 1986, XXXIX-L). Untuk lebih jelasnya lihat tabel berikut.
Tabel. 4. Motif dan Pola Dasar Hiasan Minangkabau
Motif Pola Dasar
Flora Fauna Geometris Alat Gabungan
Aka cino sagagang X - - - -
Aka cino tangah duo gagang X - - - -
Aka cino duo gagang X - - - -
Aka cino bakaluak _ - - - -
Aka barayun X - - - -
Aka baduyun X - - - -
Aka basau X - - - -
Lumuik hanyuik X - - - -
Sikambang manih X - - - -
Siriah gadang X - - - -
Kambang papo X - - - -
Sitampuak manggih X - - - -
Tangguak lamah X - - - -
Jarek takambang X - - - -
Rajo tigo selo X - - -
Siku kalalawa bagayuik - - X - X
Saik galamai X - X - X
Wajik - - X - -
Siku-siku badaun X - X - X
Siku babungo X - X - X
Siku-siku baragi X - X - X
Sikambang perak X - X - X
Pucuak rabuang salompek gunuang X - X - X
Pucuak rabuang bajari - - X - -
Pucuak Rabuang basisiak - - X - -
Pucuak Rabuang baselo - - X - -
Salompek X - - - -
Kuciang lalok X X - - -
Sikumbang Janti X X - - -
Sipatuang tabang - X - - -
Bada mudiak - X - - -
Cancadu Bararak - X - - -
Itiak pulang patang a . - X - - -
Itiak pulang patang b - - X - -
Cancadu manyasok Bungo X X - - X
Karih pusako - - - X -
Bugih batali - - - X -
Sumber: diolah dari A.A. Navis (1984), dan observasi lapangan
Penggunaan pola hias tradisional Minangkabau masih dapat diobservasi dari ben-da-benda budaya. Di Minangkabau umumnya benda budaya yang mempunyai fungsi sosial dan budaya banyak yang diberi ukiran atau hiasan, sebutlah misalnya mesjid (musajik), surau (langgar), rumah gadang (rumah tradisional Minangka-bau) tak terkecuali juga rumah biasa, bahkan beberapa atribut kuburan seperti ni-san dan cungkub.
Di antaranya benda-benda budaya tersebut ada yang dihiasi sangat raya sekali tetapi ada pula yang hanya pada bagaian-bagian tertentu saja. Dari benda-benda budaya itu akan kelihatan pola-pola hias yang sering dipergunakan, yang mendominasi, atau pola hias yang hanya sebagai pelengkap, dan hanya muncul pada bagian-bagian tertentu saja. Seperti yang dijumpai di ustano basa Pagaru-yung, rumah ga¬dang Dt. Cumano Ikua Koto di Nagari Balimbing, Mesjid Raya Rao-Rao, Mesjid Saadah di Gurun di Kabupaten Tanah Datar, dan Mesjid Asasi di Kota Padang Panjang, Mesjid Raya Batang di Pariaman, Surau Atap Ijuk di Sicincin Kab Padang Pariaman, Surau Lubuk Bauk di Batipuh Kabupaten Tanah Datar raya dengan ukiran terutama yang bermotif floral, yang diselingi oleh motif geometris (lihat juga Sugiharta: 2005). Sedangkan pada atribut kuburan beberapa motif tersebut tak jarang juga dijumpai, yang kadang-kadang diselingi oleh motif lain seperti hiasan senjata pedang atau keris, seperti yang dijumpai di beberapa makam kuno Is¬lam sekitar Pagarruyung, Saruaso, dan Talago Gunung di Kabupa-ten Tanah Datar (Herwandi: 1994).

b. Mencari Akar Budaya.
Kalau diperhatikan lebih jauh, pola hias tradisional Minangkabau yang berkembang sekarang jelas sekali mempunyai hubungan yang erat de¬ngan pola hias yang muncul di situs-situs megalitik Kabupaten Li¬mapuluh Koto. Hal ini dapat menjelaskan bahwa sejarah asal muasal pola hias Minangkabau berasal dari masa prasejarah, terutama masa megalitik. Dari pola hias masa megalitik itulah pola hias tradisional Minang¬kabau yang berkembang sekarang berawal. Artinya cikal bakal pola hias Minangkabau telah muncul semenjak zaman megalitik, kira-kira 1500 th yang lalu. Pola hias masa megalitik tersebut jelas telah melalui perjalan panjang seiring dengan perkembangan sejarah Mi¬nangkabau pada masa berikut, masa Hindu-Budha dan masa Islam. Meskipun telah melalui beberapa periodisasi namun masih dapat ditelusuri bentuk-bentuk pola dasarnya.
Oleh sebab itu pola hias di situs situs megalitk Limapuluh Koto dikatakan sebagai akar pola hias Minangkabau. Bentuk dasar guratan lurus dan geometris yang telah muncul semenjak masa megalitik kemudian berkembang lebih jauh ke dalam pola hias tradisional Minangkabau seperti berbentuk; wajik, saik galamai, siku kalalawa bagayuik, siku-siku badaun, siku-siku baragi, siku-siku babungo, pucuak rabuang, pucuak rabuang salompek gunuang, pucuak rabuang bajari, pu-cuak rabuang basisik, sisik batang pinang, kaluak balingka, kalauak rantai, kalu-ak babungo, bugih batali, itiak pulang patang, bungo sitaba, dan lain-lain. Se-dangkan bentuk dasar pucuk pakis dan guratan dasar garis melengkung kemudian berkembang ke dalam motif seperti; aka cino, aka cino tangah duo gagang, aka cino duo gagang, lumuik hanyuik, aka baduyun, aka basau, tangguak lamah, si-kambang manih, jarek takambang, rajo tigo selo, siku kalalawa bagayuik, siku badaun, siku baragi, salompek, siriah gadang, pucuak rabuang salompek gu¬nu-ang, sikumbang janti, kuciang lalok, kambang papo, sitampuak manggih, aka ba-sau, saik galamai, sikambang perak, sipatuang, cancadu manyasok bungo, dan beberapa motif lain. Di dalam motif hiasan Minangkabau juga diberi nama dari lingkungan fauna, namun sebetulnya masih mengembangkan prototipe pucuk pa-kis dan guratan dasar garis melengkung seperti pola hias; sikumbang janti, sipatu-ang, can¬cadu bararak, bada mudiak, cancadu manyasok bungo (Untuk lebih je-lasnya lihat bagan bergambar di lampiran).

EPILOG
Pola hias Minangkabau sebetulnya sudah berusia sangat tua karena asal muasal sudah muncul semenjak zaman prasejarah, masa tradisi megalitik ber-kembang di kawasan Minangkabau. Kalau dipakai pertanggalan usia tinggalan-tinggalan arkeologis pada si¬tus-situs megalitik di Kabupaten Limapuluh Koto ma-ka dapat diperkirakan usia pola hias Minangkabau sudah muncul kira-kira 1500 tahun yang lalu. Hal ini dijadikan patokan karena banyak dijumpai tinggalan tra-disi megalitik di Kabupaten Limapuluh Koto yang sarat dimuati dengan pola-pola hias, terutama sekali menhir.
Pada dasarnya prototipe pola hias yang berkembang pada men¬hir-menhir di Kabupaten Limapuluh Koto adalah guratan garis lurus membentuk pola hias geometris seperti segi tiga, segi empat, jajaran genjang, serta guratan garis leng-kung membentuk pola hias berkeluk seperti pucuk pakis sehingga berkembang menjadi motif akar dan dedaunan. Dari pola hias tersebutlah munculnya akar pola hias Minangkabau masa sekarang. Oleh sebab itu dapat dikatakan bahwa pola hias masa megalitik di situs-situs megalitik Kabupaten Limapuluh Koto adalah cikal bakal pola hias tradisional Minangkabau.
Pola hias yang berkembang di situs-situs megalitik Kabupaten Limapuluh Koto merefleksikan betapa besarnya pengaruh alam terhadap hiasan-hiasan yang muncul, seperti hiasan berupa kepala binatang, muka manusia, dan beberapa motif hiasan lain seperti pu¬cuk pakis dan geometris. Hal ini menandakan bahwa masya-rakat pendukung kebudayaan megalitis pada masa prasejarah di kawasan ter¬sebut telah mampu beradaptasi dan belajar dari alam sekitarnya. Prinsip belajar dari alam barangkali merupakan dasar pemikiran adat-istiadat Minangkabau yang ber-kembang saat ini yaitu, alam takambang jadi guru.
Oleh sebab itu kajian tentang pola hias ini juga memberikan semacam pe-tunjuk bahwa dasar-dasar pembentukan sendi adat dan rekonstruksi awal adat Mi-nangkabau dapat dirunut jauh ke masa-masa prasejarah. Isyarat ini juga menjung-kir balikkan paradigma pemikiran tradisional yang tertuang dalam tambo (historiografi tradisional Minangkabau) bahwa adat Minangkabau itu disusun pertama kali di nagari tua, Pariangan Padang Panjang, di Kabupaten Tanah Datar. Sesungguhnya adat dan budaya Minangkabau sudah mulai disusun semenjak masa neolitik-megalitik di kawasan Limapuluh Koto (lihat peta).


Catatan: Artikel aslinya mempunyai tabel yuang lengkap, peta, dan bentuk pola hias tradisional Minangkabau, oleh sebab itu lihat artikel aslinya
































DAFTAR PUSTAKA


Brandes, J. 1889 "Een Jayapattra of Aote van Eene Rechterlijke-Uitspraak van
caka 849", dalam Tijschrift voor Indische Taal-, en Volkenkude, XXXII. Batavias Gravenhage: Martinus Nijhoff.

Herwandi . 1994. "Nisan-Nisan di Situs Mejan Tinggi, Desa Talago Gunung,
Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat: Kajian tentang Kelanjutan Buda-
ya Tradisi Megalitik ke Budaya Islam". Tesis Magister. Jakarta: Univ. Indonesia. 1994.

Kartodirdjo, Sartono 1975. Sejarah Nasional Indonesia I. Jakarta: Depdikbud.

Navis, A.A. 1986 Alam Terkembang Jadi Guru: Adat dan Kebudayaan Minang-
kabau. Jakarta: Grafiti Press.

Nizar, Husnison 1986. "Menhir Berhias dari Situs Megalitik Limapuluh Ko¬to
Sumatera Barat". Skripsi. Jakarta: Universitas Indonesia.

Sedyawati, Edi & Djoko Damono, Sapardi (edts.) 1982. Beberapa Masalah Per-
kembangan Kesenian Indonesia Deuasa ini Untuk Matakuliah Perkembangan Masyarakat dan Kesenian Indonesia. Jakarta: Fak. Sastra UI.

Soejono, R.P. 1987 "Sistem-Sistem Penguburan pada akhir masa Praseja¬rah di
Bali". Disertasi. Jakarta: Universitas UI.

Sugiharta, Sri. 2005.Masjid-Masjid Kuna di Sumatera Barat, Riau, dan kepulauan
Riau Batusangkar: BP3.

Sukendar, Haris. 1980. "Tradisi Megalitik di Indonesia", dalam Analisis Kebuda-
yaan. Jakarta.

Sukendar, Haris. 1993."Peranan Menhir dalam Masyarakat Prasejarah Indo¬nesia",
Makalah PIA-III. Ciloto 23-28 Mei. 1993 "Arca Menhir di Indonesia: Fungsinya dalam Peribadatan", Disertasi. Jakarta: UI.

Sudibyo, Yuwono. 1983. Mahat dengan Peninggalan Sejarahnya. Padang: PPSP
Sumatera Barat.
Sudibyo, Yuwono. 1983. Menhir di Kawasan Limapuluh Koto, Sebuah Pengan-
tar. Padang: PPSP.

Tim Peneliti Tradisi Megalitik Sumatera Barat (TPTMSB). 1984. Laporan
Penelitian Tradisi Megalitik di Kabupaten Limapuluh Koto Propinsi Sumatera Barat. Jakarta: Puslit-Arkenas.

Lampiran